Tak ada kelus kesah, setiap orang yang berangkat kerja seperti mau ke wisata baru dan indah.
Tiang-tiang listrik dengan kabel yang masih
tersambung, terlilit tumbuhan rambat berdaun-daun hijau, di beberapa tempat dengan
bunga warna-warni, juga menara besi bekas tower BTS yang menjadi tempat sarang
burung. Menjadi monumen, dan bukan sesuatu yang penting untuk diingat.
“Saya mohon maaf atas kedatangan kami.”
“Kami maafkan. Tapi, tolong jangan ganggu kami.”
“Kami hanya mau minta tolong, tuan.”
“Kami juga mau minta tolong. Tolong janggu ganggu
kami,” diam sejenak sambil bergerak
berdiri, “Maaf, saya ada keperluan lain.”
Mbah Gagak membiarkan tamunya di sebuah rumah besar
tanpa dinding. Sudah ratusan tamu mendatanginya, memohon dan jawabannya selalu
sama meski dengan berbagai rayuan.
Dengan baju kotak-kotak agak gelap, calana jean biru
bersepatu kets, tamu itu beranjak pergi. Seperti bingung. Bertemu dengan
seorang yang sedang memikul buah segar dan sayuran, “Maaf pak, bisa saya minta
tolong untuk membeli buah dan sayuran ini?”
“Nggak usah beli pak, ambil saja secukupnya untuk
bapak.”
“Bukan untuk saya saja pak, saya butuh banyak. Jika
bapak mau, kami akan bawakan uang yang banyak untuk membeli ini semua.”
“Kami nggak perlu uang pak. Coba cari ditempat lain
saja yang butuh uang.”
“Kami sudah keliling banyak tempat, dan kami tidak
menemukan buah dan sayur yang banyak seperti di sini. Penduduk di sini akan
dapat banyak uang jika mau menjualnya. Dengan uang bapak bisa membeli apa saja
yang diinginkan. Dengan uang, bapak akan kaya.”
“Kami di sini sudah kaya raya. Semua keinginan kami
sudah ada di sini. Mohon maaf, saya harus segera pergi.” Petani itu bergegas
berjalan menyusuri jalan setapak menuju perkampungan di sebuah lembah dengan
rimbun pepohonan. Tak ada asap knalpot dan bising suaranya.
Lelaki itu bergeming sendirian. Harapannya untuk bisa
membeli padi, buah dan sayuran, menipis, hitungan-hitungan laba yang telah
dicatat hilang. Tapi, Ia bukan tipe orang yang gampang menyerah. Pada sebuah
batu di bawah pohon Ia duduk melepas lelah dan haus. “Kenapa mereka tidak butuh
uang?” pikirnya.
Penduduk di lembah itu bukan orang-orang primitif.
Mereka telah melewati masa gegap gempita dunia yang tidak perlu. Semua yang di
situ berbahagia, damai, bersahabat dengan alam. Air bening yang mengalir di
sela-sela rumah, selalu ramah bergemericik menghidupi ikan-ikan yang berlarian
di sela-sela bebatuan berlumut. Mereka melepaskan diri dari penjajahan uang. Mereka
tak lagi direpotkan mencari kebahagian di tempat lain.
Dan, bukan hanya di lembah itu. Petani di lokasi lain,
pun sudah mulai seperti itu.
“Tuan, apakah tuan tidak kasihan kepada kami. Jika
tuan-tuan semua tidak mau menjual makanan kepada kami, kami akan kelaparan dan
mati.”
“Kami nggak butuh uang pak. Itu nggak bisa dimakan.
Hanya akan menjadi sampah di tempat kami. Kami kasih bibit dan biji-bijian
untuk ditanam. Seluruh tanah alam ini akan menghasilkan makanan jika mau menanam dan merawat. Tinggal ditanam,
dirawat dan dipelihara, tak perlu pakai toeri-teori yang njlimet dan harus
bayar mahal. Itu akan cukup jika tak serakah.”
Ketika siang yang sejuk, orang-orang kota datang ke
lembah Lestana Dawa. Ada banyak truk dan mobil-mobil bagus mengkilap datang
beriringan, diparkir di tepi bekas jalan dan lapangan tempat ternak merumput.
Wajah-wajah beringas dan otot yang kekar mereka pertontonkan. Mbah Gagak datang
menemui.
“Ada yang bisa saya bantu tuan-tuan?”
“Kami akan membeli paksa makanan di sini.” Orang
dengan kaos hitam ketat dan celana jean biru langsung menyalak.
“Maaf, kami nggak punya simpanan bahan makanan. Yang
kami cari siang ini hanya cukup untuk dimakan sore dan pagi hari.”
“Tapi hari ini, kami harus dapat!”
“Itu kalau ada, kalau nggak ada?”
“Kami akan datangi setiap rumah.”
“Silahkan. Tapi, tak ada orang di rumah. Mereka
sedang berada di kebun. Tak ada rumah yang dikunci. Jika ada kerusakan atau
kehilangan, saya pastikan kalian tidak bisa pulang. Ini peringatan, bukan
mengancam.”
Jalan ke lembah itu tak bisa dilewati kendaraan.
Hanya jalan setapak yang banyak terpotong oleh aliran sungai kecil dengan air
yang bening dan ikan-ikan berseliweran. Sejauh satu kilometer untuk sampai ke
tepian kampung. Mereka berbaris sempoyongan di tepi-tepi jalan. Rasa lapar
makin mencekam. Hanya ada air di aliran sungai yang bisa di minum. Niat jahat
mereka timbul menyemangati rasa kesal. “akan saya bawa semua makanan yang ada
di sana.”
Ketika penghuni lembah berdatangan untuk menyambut,
Mbah Gagak menahan, “Kalian kerja saja. Mereka datang tidak dengan niat baik.”
Ada banyak yang tidak sampai ke perkampungan. Mereka
masuk ke rumah-rumah yang tidak terkunci. Tak mendapati apa-apa di sana. Hanya
bilik tempat tidur, meja kursi tempat minum dan alat masak sederhana.
“Penglihatanmu tertutup oleh hatimu, kau tak akan melihat apa-apa,” Mbah Gagak
menyampaikan pada seorang yang terus menerus menyemangati rombongannya.
Ketika menjelang sore dan tak bisa menahan lapar,
mereka berusaha pulang. Penduduk lembah itu memberi ubi bakar atau ubi rebus
dan air yang tersedia dibanyak aliran. Uang yang mereka bawa tak bisa ditukar
apapun pada para petani. Kemewahan yang mereka tawarkan sama sekali tak
menarik. Kebahagiaan yang mereka tawarkan yang bisa dibeli dengan uang,
ditertawakan. “Kami sudah melewati itu, jika kalian mau, mari bahagia dengan
cara kami.”
“Tapi, dengan cara hidup seperti ini, kalian tidak
bisa melihat tempat lain yang indah dan menakjubkan.” Orang dengan kaos hitam
ketat dan celana jean biru masih berusaha meyakinkan.
“Di sini lebih indah dan lebih menakjubkan dari
tempat lain dimana pun. Kami tak ingin pergi jauh hanya untuk disuguhi
kerusakan-kerusakan dan sampah karena kegiatan manusia berebut uang. Dan,
disini kami juga tak bisa makan uang, seperti juga kalian.”
“Kalian tidak ingin menikmati kemewahan? Dengan uang,
kita bisa membeli apa saja.”
“Semua yang kami butuhkan, ada di sini. Tak perlu
harus pergi jauh berkendaraan.”
Mereka terpaksa pulang, pelan dan kecewa. Segala
umpatan keluar dari mulut yang mulai pahit. Di sekitar truk dan mobil diparkir
mereka duduk dan tiduran berserakan. Wajah-wajah putus asa masih berusaha
ditutupi. Orang dengan kaos hitam ketat dan celana jean biru, berdiri
berkeliling berteriak, “Tengah malam nanti, kita ke kampung itu lagi. Kita
porak-porandakan, biar mereka tidak tahu dan tidak menyembunyikan bahan makanan
yang ada.”
“Tapi kita sudah capai dan lapar boss.”
“Jika kita tetap disini pun, kita akan tambah lapar
dan perlahan mati.”
“Kita pulang saja boss.”
“Mobil-mobil kita sudah menipis bahan bakarnya. Tak
sampai setengah perjalanan pulang akan habis di tengah belantara. Kita akan
habis dimakan binatang buas yang lapar. Lapar seperti kita.”
Pertengahan malam, ketika malam telah sunyi, suara
kerik jangrik sudah tak lagi kencang dan burung hantu mulai bersahutan, mereka
mengendap-endap menuju lembah Lestana Dawa. Suara derap kaki seperti
disembunyikan. Seperti sekawanan hewan yang pindah tempat di malam hari,
bergerak perlahan beriringan. Kadang ada bisikan obrolan, mungkin perintah dari
pemimpin mereka. Sinar dian dari rumah yang bertebaran tampak bercecer, terpisahkan
gelap dibawah langit dengan sedikit bintang.
Sudah sekitar satu jam mereka terus berjalan,
bergerak di selimuti kabut yang mulai turun membawa hawa dingin. Sinar dari
lobang-lobang rumah tak juga dekat. Jarak itu seperti tetap terjaga. Semakin
didatangi, jarak kerlap-kerlip sinar dian tak tampak mendekat. Gelap malam
menjadi semakin terbiasa, kaki dan mata sudah mulai terbiasa mencari jejak
jalan setapak yang bisa dilewati. Pucuk-pucuk pohon di atasnya yang tak rimbun menjadi
pertanda ruang di bawahnya sebagai tempat yang bisa dilewati. Mereka terus berjalan,
tertatih-tatih, melambat sampai kemudian berada di tepi sungai dengan air
bening yang mengalir gemercik menyapa dengan senyuman sambil berkata, “jangan
kotori kami.”
Berhentilah mereka. Duduk istirahat di batu-batu
berserakan pada tempat yang tepat seperti sudah dipersiapkan. Kabut masih cukup
tebal, membaluri daun dan rumput membekas menjadi embun yang perlahan menetes
ikhlas. Semua terdiam, merendamkan kaki dan air membuat mereka segar, bertenaga
kembali. Ketika lelah sudah mulai mereda, sinar matahari mulai menembus
sela-sela daun menyentuh kabut yang beringsut. Wajah-wajah lelah sudah mulai
kembali cerah sedikit memerah. Kicau burung satu persatu mulai bersahutan. Aliran
air di sungai seperti bertambah deras berlari-lari, seiring pagi yang semakin
cerah. Dari arah jalan yang dilewati semalam, seseorang berjalan datang dari
balik rerimbunan. Mendatangi mereka, dan menyapa, “Ikuti saya, jika ingin hidup
bahagia.”
Setelah orang terakhir berjingkat dari air tepian
sungai, di depan mereka berdiri rerimbunan tanaman rambat dan pohon-pohon yang
menempel di dinding gedung. Di dominasi warna hijau dedaunan. Banyak mekar
bunga dengan berbagai corak warna. Burung-burung begitu ceria melompat dan
beterbangan bolak-balik. Ada banyak kambing, kerbau dan sapi merumput tenang
dengan anak-anaknya yang masih centil melompat-lompat girang.
“Di sini banyak yang bisa kita nikmati. Ada
umbi-umbian dan buah-buahan yang akan memenuhi kebutuhan makan kita. tak perlu
uang. Buang saja uang yang kalian bawa. Tak ada yang butuh di sini.”
Berangkat dari rumah-rumah yang sederhana, penduduk
di situ mulai menyambut pagi dengan
bermain-main dengan tanah, bercocok tanam, membasuh muka dengan air
jernih dan istirahat di bawah pohon rindang yang daunnya tumbuh hijau sempurna.
“Di sini kita mendapatkan kebahagiaan. Kerakusan yang
membuat kebahagiaan kemudian menghilang.”
“Tapi, kita jadi nggak bisa pergi jauh.”
“Untuk apa pergi jauh jika sudah cukup. Jika terus
mencari kemudian ketemu, akan ada lagi harus di cari. Dan, akan lagi.”
Matahari sudah meninggi. Kesejukan masih menaungi.
Semua berjalan teratur, “kami akan meneruskan perjalanan.”
“Kalian akan kembali lagi di sini.”
Tekad yang kuat membuat lelah dan lapar tak menjadi
halangan. Mereka terus berjalan. Bertatih-tatih. Semakin melambat, berhenti
beristirahat sejenak, beringsut berjalan lagi, tertatih-tatih, melambat sampai
kemudian berada di tepi sungai dengan air bening yang mengalir gemercik menyapa
dengan senyuman sambil berkata, “jangan kotori kami.” Mereka duduk istirahat di
batu-batu berserakan pada tempat yang tepat seperti sudah dipersiapkan. Dirasa
cukup, mereka berjalan lagi. Setelah orang terakhir berjingkat dari air tepian
sungai, di depan mereka berdiri rerimbunan tanaman rambat dan pohon-pohon yang
menempel di dinding gedung.
Maret 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar