Label

Sabtu, 26 April 2025

DI LEMBAH LESTANA DAWA

 


Tak ada kelus kesah, setiap orang yang berangkat kerja seperti mau ke wisata baru dan indah.

Tiang-tiang listrik dengan kabel yang masih tersambung, terlilit tumbuhan rambat berdaun-daun hijau, di beberapa tempat dengan bunga warna-warni, juga menara besi bekas tower BTS yang menjadi tempat sarang burung. Menjadi monumen, dan bukan sesuatu yang penting untuk diingat.

“Saya mohon maaf atas kedatangan kami.”

“Kami maafkan. Tapi, tolong jangan ganggu kami.”

“Kami hanya mau minta tolong, tuan.”

“Kami juga mau minta tolong. Tolong janggu ganggu kami,”  diam sejenak sambil bergerak berdiri, “Maaf, saya ada keperluan lain.”

Mbah Gagak membiarkan tamunya di sebuah rumah besar tanpa dinding. Sudah ratusan tamu mendatanginya, memohon dan jawabannya selalu sama meski dengan berbagai rayuan.

Dengan baju kotak-kotak agak gelap, calana jean biru bersepatu kets, tamu itu beranjak pergi. Seperti bingung. Bertemu dengan seorang yang sedang memikul buah segar dan sayuran, “Maaf pak, bisa saya minta tolong untuk membeli buah dan sayuran ini?”

“Nggak usah beli pak, ambil saja secukupnya untuk bapak.”

“Bukan untuk saya saja pak, saya butuh banyak. Jika bapak mau, kami akan bawakan uang yang banyak untuk membeli ini semua.”

“Kami nggak perlu uang pak. Coba cari ditempat lain saja yang butuh uang.”

“Kami sudah keliling banyak tempat, dan kami tidak menemukan buah dan sayur yang banyak seperti di sini. Penduduk di sini akan dapat banyak uang jika mau menjualnya. Dengan uang bapak bisa membeli apa saja yang diinginkan. Dengan uang, bapak akan kaya.”

“Kami di sini sudah kaya raya. Semua keinginan kami sudah ada di sini. Mohon maaf, saya harus segera pergi.” Petani itu bergegas berjalan menyusuri jalan setapak menuju perkampungan di sebuah lembah dengan rimbun pepohonan. Tak ada asap knalpot dan bising suaranya.

Lelaki itu bergeming sendirian. Harapannya untuk bisa membeli padi, buah dan sayuran, menipis, hitungan-hitungan laba yang telah dicatat hilang. Tapi, Ia bukan tipe orang yang gampang menyerah. Pada sebuah batu di bawah pohon Ia duduk melepas lelah dan haus. “Kenapa mereka tidak butuh uang?” pikirnya.

Penduduk di lembah itu bukan orang-orang primitif. Mereka telah melewati masa gegap gempita dunia yang tidak perlu. Semua yang di situ berbahagia, damai, bersahabat dengan alam. Air bening yang mengalir di sela-sela rumah, selalu ramah bergemericik menghidupi ikan-ikan yang berlarian di sela-sela bebatuan berlumut. Mereka melepaskan diri dari penjajahan uang. Mereka tak lagi direpotkan mencari kebahagian di tempat lain.

Dan, bukan hanya di lembah itu. Petani di lokasi lain, pun sudah mulai seperti itu.

“Tuan, apakah tuan tidak kasihan kepada kami. Jika tuan-tuan semua tidak mau menjual makanan kepada kami, kami akan kelaparan dan mati.”

“Kami nggak butuh uang pak. Itu nggak bisa dimakan. Hanya akan menjadi sampah di tempat kami. Kami kasih bibit dan biji-bijian untuk ditanam. Seluruh tanah alam ini akan menghasilkan makanan jika  mau menanam dan merawat. Tinggal ditanam, dirawat dan dipelihara, tak perlu pakai toeri-teori yang njlimet dan harus bayar mahal. Itu akan cukup jika tak serakah.”

Ketika siang yang sejuk, orang-orang kota datang ke lembah Lestana Dawa. Ada banyak truk dan mobil-mobil bagus mengkilap datang beriringan, diparkir di tepi bekas jalan dan lapangan tempat ternak merumput. Wajah-wajah beringas dan otot yang kekar mereka pertontonkan. Mbah Gagak datang menemui.

“Ada yang bisa saya bantu tuan-tuan?”

“Kami akan membeli paksa makanan di sini.” Orang dengan kaos hitam ketat dan celana jean biru langsung menyalak.

“Maaf, kami nggak punya simpanan bahan makanan. Yang kami cari siang ini hanya cukup untuk dimakan sore dan pagi hari.”

“Tapi hari ini, kami harus dapat!”

“Itu kalau ada, kalau nggak ada?”

“Kami akan datangi setiap rumah.”

“Silahkan. Tapi, tak ada orang di rumah. Mereka sedang berada di kebun. Tak ada rumah yang dikunci. Jika ada kerusakan atau kehilangan, saya pastikan kalian tidak bisa pulang. Ini peringatan, bukan mengancam.”

Jalan ke lembah itu tak bisa dilewati kendaraan. Hanya jalan setapak yang banyak terpotong oleh aliran sungai kecil dengan air yang bening dan ikan-ikan berseliweran. Sejauh satu kilometer untuk sampai ke tepian kampung. Mereka berbaris sempoyongan di tepi-tepi jalan. Rasa lapar makin mencekam. Hanya ada air di aliran sungai yang bisa di minum. Niat jahat mereka timbul menyemangati rasa kesal. “akan saya bawa semua makanan yang ada di sana.”

Ketika penghuni lembah berdatangan untuk menyambut, Mbah Gagak menahan, “Kalian kerja saja. Mereka datang tidak dengan niat baik.”

Ada banyak yang tidak sampai ke perkampungan. Mereka masuk ke rumah-rumah yang tidak terkunci. Tak mendapati apa-apa di sana. Hanya bilik tempat tidur, meja kursi tempat minum dan alat masak sederhana. “Penglihatanmu tertutup oleh hatimu, kau tak akan melihat apa-apa,” Mbah Gagak menyampaikan pada seorang yang terus menerus menyemangati rombongannya.

Ketika menjelang sore dan tak bisa menahan lapar, mereka berusaha pulang. Penduduk lembah itu memberi ubi bakar atau ubi rebus dan air yang tersedia dibanyak aliran. Uang yang mereka bawa tak bisa ditukar apapun pada para petani. Kemewahan yang mereka tawarkan sama sekali tak menarik. Kebahagiaan yang mereka tawarkan yang bisa dibeli dengan uang, ditertawakan. “Kami sudah melewati itu, jika kalian mau, mari bahagia dengan cara kami.”

“Tapi, dengan cara hidup seperti ini, kalian tidak bisa melihat tempat lain yang indah dan menakjubkan.” Orang dengan kaos hitam ketat dan celana jean biru masih berusaha meyakinkan.

“Di sini lebih indah dan lebih menakjubkan dari tempat lain dimana pun. Kami tak ingin pergi jauh hanya untuk disuguhi kerusakan-kerusakan dan sampah karena kegiatan manusia berebut uang. Dan, disini kami juga tak bisa makan uang, seperti juga kalian.”

“Kalian tidak ingin menikmati kemewahan? Dengan uang, kita bisa membeli apa saja.”

“Semua yang kami butuhkan, ada di sini. Tak perlu harus pergi jauh berkendaraan.”

Mereka terpaksa pulang, pelan dan kecewa. Segala umpatan keluar dari mulut yang mulai pahit. Di sekitar truk dan mobil diparkir mereka duduk dan tiduran berserakan. Wajah-wajah putus asa masih berusaha ditutupi. Orang dengan kaos hitam ketat dan celana jean biru, berdiri berkeliling berteriak, “Tengah malam nanti, kita ke kampung itu lagi. Kita porak-porandakan, biar mereka tidak tahu dan tidak menyembunyikan bahan makanan yang ada.”

“Tapi kita sudah capai dan lapar boss.”

“Jika kita tetap disini pun, kita akan tambah lapar dan perlahan mati.”

“Kita pulang saja boss.”

“Mobil-mobil kita sudah menipis bahan bakarnya. Tak sampai setengah perjalanan pulang akan habis di tengah belantara. Kita akan habis dimakan binatang buas yang lapar. Lapar seperti kita.”

Pertengahan malam, ketika malam telah sunyi, suara kerik jangrik sudah tak lagi kencang dan burung hantu mulai bersahutan, mereka mengendap-endap menuju lembah Lestana Dawa. Suara derap kaki seperti disembunyikan. Seperti sekawanan hewan yang pindah tempat di malam hari, bergerak perlahan beriringan. Kadang ada bisikan obrolan, mungkin perintah dari pemimpin mereka. Sinar dian dari rumah yang bertebaran tampak bercecer, terpisahkan gelap dibawah langit dengan sedikit bintang.

Sudah sekitar satu jam mereka terus berjalan, bergerak di selimuti kabut yang mulai turun membawa hawa dingin. Sinar dari lobang-lobang rumah tak juga dekat. Jarak itu seperti tetap terjaga. Semakin didatangi, jarak kerlap-kerlip sinar dian tak tampak mendekat. Gelap malam menjadi semakin terbiasa, kaki dan mata sudah mulai terbiasa mencari jejak jalan setapak yang bisa dilewati. Pucuk-pucuk pohon di atasnya yang tak rimbun menjadi pertanda ruang di bawahnya sebagai tempat yang bisa dilewati. Mereka terus berjalan, tertatih-tatih, melambat sampai kemudian berada di tepi sungai dengan air bening yang mengalir gemercik menyapa dengan senyuman sambil berkata, “jangan kotori kami.”

Berhentilah mereka. Duduk istirahat di batu-batu berserakan pada tempat yang tepat seperti sudah dipersiapkan. Kabut masih cukup tebal, membaluri daun dan rumput membekas menjadi embun yang perlahan menetes ikhlas. Semua terdiam, merendamkan kaki dan air membuat mereka segar, bertenaga kembali. Ketika lelah sudah mulai mereda, sinar matahari mulai menembus sela-sela daun menyentuh kabut yang beringsut. Wajah-wajah lelah sudah mulai kembali cerah sedikit memerah. Kicau burung satu persatu mulai bersahutan. Aliran air di sungai seperti bertambah deras berlari-lari, seiring pagi yang semakin cerah. Dari arah jalan yang dilewati semalam, seseorang berjalan datang dari balik rerimbunan. Mendatangi mereka, dan menyapa, “Ikuti saya, jika ingin hidup bahagia.”

Setelah orang terakhir berjingkat dari air tepian sungai, di depan mereka berdiri rerimbunan tanaman rambat dan pohon-pohon yang menempel di dinding gedung. Di dominasi warna hijau dedaunan. Banyak mekar bunga dengan berbagai corak warna. Burung-burung begitu ceria melompat dan beterbangan bolak-balik. Ada banyak kambing, kerbau dan sapi merumput tenang dengan anak-anaknya yang masih centil melompat-lompat girang.

“Di sini banyak yang bisa kita nikmati. Ada umbi-umbian dan buah-buahan yang akan memenuhi kebutuhan makan kita. tak perlu uang. Buang saja uang yang kalian bawa. Tak ada yang butuh di sini.”

Berangkat dari rumah-rumah yang sederhana, penduduk di situ mulai menyambut pagi dengan  bermain-main dengan tanah, bercocok tanam, membasuh muka dengan air jernih dan istirahat di bawah pohon rindang yang daunnya tumbuh hijau sempurna.

“Di sini kita mendapatkan kebahagiaan. Kerakusan yang membuat kebahagiaan kemudian menghilang.”

“Tapi, kita jadi nggak bisa pergi jauh.”

“Untuk apa pergi jauh jika sudah cukup. Jika terus mencari kemudian ketemu, akan ada lagi harus di cari. Dan, akan lagi.”

Matahari sudah meninggi. Kesejukan masih menaungi. Semua berjalan teratur, “kami akan meneruskan perjalanan.”

“Kalian akan kembali lagi di sini.”

Tekad yang kuat membuat lelah dan lapar tak menjadi halangan. Mereka terus berjalan. Bertatih-tatih. Semakin melambat, berhenti beristirahat sejenak, beringsut berjalan lagi, tertatih-tatih, melambat sampai kemudian berada di tepi sungai dengan air bening yang mengalir gemercik menyapa dengan senyuman sambil berkata, “jangan kotori kami.” Mereka duduk istirahat di batu-batu berserakan pada tempat yang tepat seperti sudah dipersiapkan. Dirasa cukup, mereka berjalan lagi. Setelah orang terakhir berjingkat dari air tepian sungai, di depan mereka berdiri rerimbunan tanaman rambat dan pohon-pohon yang menempel di dinding gedung.

Maret 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar