Saya membayangkan Mahfud MD menjadi cawapresnya Prabowo, karena ada keinginan Prabowo yang sudah satu kali me-ncawapres dan dua kali nyapres selalu kalah, kali ini mendapat suara yang signifikan dan setidaknya masuk babak kedua jika dua putaran. Ada semacam rasa kasihan juga, disamping Ia lebih baik dari yang satunya. Anis menurut saya lebih bagus dari penyampaian ide-ide dan cara bicaranya yang runtut, cerdas membius. Jika karena Mahfud sudah terlebih dahulu digaet Ganjar, ada Ridwan Kamil yang menjual. Tapi, ternyata dua-duanya tak dipilih oleh Prabowo dengan pertimbangan dan berharap nama besar Jokowi bisa meraup suara lewat Gibran yang disandingkan dengan berbagai cara.
Dari ketiga Cawapres, Mahfud MD paling mendapat perhatian dan paling layak menjadi pejabat nomor dua se-Indonesia. Bukan merendahkan yang lain, jika kita harus merangking dan rangkingnya tidak boleh sama, pasti ada nomor satu sampai tiga. Mahfud ikut mendongkrak suara Ganjar dalam kontestasi Pilpres 2024. Ganjar tidak lebih besar dari PDIP, dan Mahfud akan menambah suara PDIP yang pada pemilu tahun 2019, PDIP memperoleh suara 19,33%. Lumbung suara Mahfud di Jawa Timur, berkurang oleh loyalis PKB yang bergerak memilih dan mengusung Muhaimin Iskandar. Mahmud MD punya fans tersendiri bagi rakyat Indonesia hasil dari keberaniannya membuka kasus-kasus besar yang terkesan ditutupi oleh kepentingan politis. Keputusan kubu Ganjar memilih Mahfud pasti dengan perhitungan akan menyumbang suara yang banyak untuk menopang pendukung Ganjar yang tidak lebih besar dari Jokowi.
Suatu keheranan ketika Gibran disodorkan dan diterima oleh Prabowo untuk menjadi Cawapresnya. Elektabilitas Gibran kalau tanpa cawe-cawe bapaknya sangat rendah. Kalau kubu Prabowo memilihnya untuk menjadi cawapresnya, karena ada celah lain atau ada alat untuk dimanfaatkan supaya bisa meraup suara untuk memenangkan pemilu. Apakah “alat” yang akan digunakan, baik secara etika politik atau tidak, kemenangan dalam pemilu adalah segalanya dan melupakan cara-cara baik atau etika baik dalam bermain. Beretika politik baik dalam pemilu, kalau kalah tetap saja tidak bisa memegang tampuk kekuasaan.
Ketika ada survey politik yang hasilnya Gibran menyumbang suara paling banyak diantara cawpres yang lain, menjadi sebuah keheranan yang memunculkan rasa ketidakakuratan survey tersebut. Apakah survey itu juga salah satu alat untuk mendulang suara agar mendukung alat lain yang terus bergerak saling melengkapi. Mereka menyusunnya supaya ada keterkaitan antar komponen mesin pendulang suara.
Pola pikir rakyat yang punya hak pilih di tahun 2024 dengan pemilih di pemilu 2019 sudah bergeser sedikit. Para loyalis partai yang tutup mata tutup telinga terhadap masukan lain sudah berkurang. Para pemilih obyektif bertambah. Kita akan lihat bagaimana para kontestan pemilu memanfaatkan semua potensi yang ada untuk memperoleh kekuasaan, memanfaatkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan.
Betapa nikmatnya kekuasaan, dan begitu banyak berebut.
Djayim, 01:41 10.12.2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar