Memilih seseorang dalam politik itu subyektif. Se-obyektif apapun, bagi yang tidak sama pilihannya, akan disebut tidak obyektif, tak berdasar dan pasti dituduh subyektif. Dalam memilih atau dukung mendukung semua punya argumen yang diyakininya sangat tepat dan yang membantah argumennya dianggap tidak tepat, dianggap tidak fair dan dianggap tidak mengakui fakta yang ada atau fakta yang disuguhkan.
Pada pemilu tahun 2024, calon presiden pasti memilih calon wakilnya dengan banyak pertimbangan untuk mendongkrak suaranya. Banyak pembantunya dimintai pertimbangan dengan berbagai kriteria dengan tujuan bisa menambah suara dari sudut-sudut yang tak bisa dijamah capres. Pertimbangan politik bisa membuat pilihan calon wakil presiden menjadi lebih sempit pemilihannya. Faktor kehendak partai lain dalam koalisi tidak bisa serta merta ditolak sang capres meski Ia merasa kurang cocok dan punya pilihan lain yang dirasanya lebih pas. Partai lain dalam lingkaran koalisi punya pertimbangan lain untuk memuluskan jalan politiknya yang terus dirawat dan dibangun supaya kekuasaan selalu tak lepas dari tangannya.
Pernah saya baca tentang calon wakil presiden, Gibran, yang mendongkrak elektabilitas Prabowo sehingga menjadi semakin kuat dan meyakinkan. Saya tidak menelisik latar belakang orang yang menyatakan begitu. Apakah untuk meyakinkan pendukung Prabowo yang malah menjadi ragu karena berpasangan dengan Gibran, atau itu sebuah hal yang obyektif di lapangan. Jika benar mendongkrak suara, ada sesuatu ‘alat’ lain untuk meraup suara. Alat yang dipegang oleh yang punya penguasa.
Beberapa orang yang sempat saya dengar ngobrol ngalor ngidul tentang pilpres, tidak sedikit yang kecewa karena Prabowo memilih Gibran sebagai calon wakil presiden-nya. Rasanya seperti tidak ada pilihan lain jika beralasan memilih dari kelompok orang muda yang berpotensi. Menyodorkannya seperti melukai pikiran dan angan-angan tentang Indonesia. Gaya komunikasi Gibran dan cara menjawab pertanyaan, membuat banyak orang menjadi tidak yakin bisa menjabat sebuah jabatan nomor dua di negara besar Indonesia. Banyak anak muda berpotensi dan berprestasi yang lebih meyakinkan, tetapi tidak punya akses masuk untuk disodorkan sebagai calon yang bisa dipilih dalam konstelasi politik. Akses itu dibatasi oleh orang yang berhak menentukan dalam kesepakatan-kesepakatan untuk menguntungkan kelompoknya. Akses yang dibuka itu, lewat putusan MK, seperti dikhususkan untuk Gibran dan pendukung Prabowo-Gibran pasti tidak setuju dengan sebutan itu.
Hal mudah sebenarnya jika kita tidak cocok dengan pasangan Capres dan Cawapres yang disodorkan untuk dipilih oleh koalisi partai. Jangan dipilih. Dan, tidak perlu khawatir jika calon yang kita tidak suka ternyata memenangkan pemilihan. Karena pasangan yang menang pasti pemilihnya lebih banyak dari yang kalah, kecuali jika ada cara-cara curang untuk memenangkan pasangan tertentu. Kekhawatiran itu yang membuat seolah jika yang kita tidak suka ternyata jadi, negara menjadi amburadul. Negara dengan pemerintahannya akan tetap berjalan dan tidak bisa dibandingkan jika yang terpilih pasangan lain, karena tidak bisa sebuah perbandingan pemerintahan pada waktu yang berbeda.
Seseorang yang duduk di kursi kekuasaan, akan didatangi dan dikerumuni oleh orang-oramg pintar mengharap jadi pembantunya. Pemegang kekuasaan tinggal memilih para pembantunya dengan pertimbangan politis, pertimbangan perkawanan, pertimbangan dukungan dan pertimbangan loyalitas untuk mempertahankan kekuasaanya. Para penasehat berdatangan membisiki kebijakan-kebijakan, keputusan-keputusan dan langkah-langkah memanfaatkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan.
Kemudian rakyat sibuk mencari makan dan uang.
Djayim, 22:57 05.12.2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar