Adakalanya kita berada dalam posisi ingin mengomentari sesuatu atas kejadian, pendapat, ungkapan yang kita sendiri mendengar atau melihatnya langsung. Atau kadang juga terbaca pada media sosial yang begitu labil terus menerus bergerak atau pada tayangan chanel youtube. Banyak sekali tulisan atau video yang diunggah dengan rasa bangga tanpa merasa bersalah, tapi unggahan tersebut tidak benar, bersifat hoax, asal-asalan, fitnah, memutarbalik fakta yang menggelitik hati ingin segera berkomentar.
Berkomentar lahir dari alam pengetahuan seseorang. Komentar yang keluar dari orang per orang berbeda-beda sesuai dengan wawasan dan pengalaman si komentator. Dari komentar kita bisa mengira-ira seberapa dalam pengetahuan seseorang terhdap apa yang dikomentari. Juga kita bisa tahu watak dan karakternya. ‘Kepedulian’ seseorang terhadap sesuatu yang dikomentari juga bisa sebagai alat ukur rasa keinginan untuk ikut campur pada masalah orang lain yang sebenarnya tak berpengaruh pada person yang dikomentari.
Menahan komentar menjadi salah satu pilihan supaya kita menjadi orang yang seperti tidak mengikuti tindakan atau kelakuan orang lain yang sebenarnya tak perlu juga ikut campur dengan berkomentar. Rasa ingin berkomentar muncul karena ada semacam kepuasan jika ikut nimbrung pada masalah tertentu. Ada keinginan yang tersalurkan dan menjadi kesenangan tersendiri. Ada kepuasan tersendiri jika komentarnya seperti menyerang dan yang diserang merasa tersakiti. Sepertinya jahat, karena memang tujuan berbuat jahat supaya yang dijahati merasa tersakiti. Adakalanya menahan berkomentar memerlukan energi yang besar dan perlu memupuk jiwa besar yang terkadang tergoyang.
Menahan diri untuk tidak ikut berkomentar sambil membaca atau mendengar komentar orang lain adalah penyusuran kolom waktu yang mengasyikan dan menggemaskan. Muncul letupan-letupan kegeraman jika ada komentar-komentar yang terasa aneh, kreatif dan mengejutkan. Banyak ide-ide kreatif yang lahir seperti tak sengaja dan membuka jendela baru. Meski tak jarang ide komentari kreatif itu Sesutu yang menjengkelkan. Dan menhana diri untuk tidak berkomentar pada komentar yang menjengkelkan pun, punya keasyikan tersendiri. Jadi, ada sisi kesenangan pada sebuah komentar, tidak berkomentar dan mencermati komentar. Menahan diri tidak berkomentar dan menikmati yang dikomentari dan mencermati komentar, bisa menjadi pilihan agar tidak terjebak pada su’udzon dan fitnah.
15:52 01062022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar