Karena perbedaan keyakinan dan cara yang tidak bisa disatukan menjadi satu ruang yang sama dalam memahami dan menjalani, muncullah ruang rasa penghubung yang disebut toleransi. Bahasa gampangnya, silahkan kamu begitu yang penting jangan mengganggu aku. Berbeda, perbedaan, itu manusiawi, dan berkeinginan untuk mengarahkan yang berbeda supaya sama dengan apa yang diinginkan oleh ‘aku’ juga manusiawi. Pada taraf tertentu orang merasa bahwa segala apa yang diyakini dan dilakukan oleh ‘aku’ adalah yang paling ideal, nyaman dan membahagiakan. ‘Aku’nya kemudian tak sadar tumbuh pada ruang egois yang memutuskan; yang tidak seperti ‘aku’ harusnya berubah ke arah seperti ‘aku’. Karena masing-masing berkeinginan menciptakan suasana seperti yang ‘aku’ inginkan, lahirlah ruang-ruang perkelompokan yang mempunyai rasa sama atau seridaknya mirip. Ruang-ruang perkelompokan itu tak bisa sama identik dengan perkelompokan yang lain. Dan kembali lagi, rasa egois telah dan akan terus menerus menimbulkan ‘tak bisa sama identik’ dengan semua yang di luar dirinya.
Rasa toleransi sebagai perekat perbedaan, tak juga bisa dimaknai sama antar sesama ‘aku’. Tetap saja akan lahir perasaan merasa paling toleran dan yang diluar ‘aku’ dan kelomopoknya tidak sebaik apa yang dilakukannya. Memaklumi bahwa, perbedaan itu manusiawi, itulah pokok awal tidak memungkinkan memaksakan semua perasaan dan pemikiran menjadi sama dan identik satu sama lain. Dari sini pula lahir rasa ingin lebih dominan dari kelompok lain. Supaya dominasi itu terwujud dan terus bisa bertahan mendominasi, dilakukan berbagai upaya seperti berkampanye meyakinkan pada kelompok lain, berargumen dengan disertai dasar dan alasan tentang segala yang dilakukannya. Dan, ketika lebih dari dua kelompok saling melakukan hal yang sama untuk merasa lebih dominan dari yang lain, perdebatan dan pergesekan tak terhindarkan.
Dari awal yang baik, bertujuan untuk saling bertoleran, bisa muncul pergesekan yang bisa memunculkan percik api jika tak rapi menjaga hati dan tindakan. Para “aku’ yang merasa anggota kelompoknya yang se’aku’ lebih banyak dari yang lain di sekitarnya, cenderung lupa bahwa ada yang lain yang tidak se’aku’ merasa terganggu. Ke-merasa-an terganggu ini muncul sedikit semacam benih dendam dan berusaha untuk mencari teman yang se’aku’.
Di setiap tempat, harus selalu ada permufakatan tentang bertindak dan berkelakuan toleransi yang bisa saling menjaga dengan tidak merasa paling toleran. Karena merasa paling toleran itu sendiri merupakan benih dari intoleran.
10122012 17:02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar