“Kau akan tetap berangkat, nak?”
“Maaf Ayah, saya nggak enak sama teman-teman saya. Nanti dikira tidak punya prinsip, tak idealis.”
“Kamu lebih merasa tidak enak pada temanmu dibanding dengan ayahmu?”
“Tidak begitu, Yah… “
“Terus, apa pertimbanganmu?”
“Ini demi kita semua, Ayah. Demi rakyat, demi negara tercinta ini, demi bangsa dan negara.”
“Hebat kau nak. Rakyat yang mana yang kau maksud?”
“Rakyat yang rugi jika ini dibiarkan.”
“Kau yakin semua rakyat akan merugi jika ini benar-benar diundangkan?”
“Mungkin tidak semua, Yah. Kami berpikiran akan lebih banyak rakyat, lingkungan hidup dan negara yang dirugikan.”
“Undangg-undang ini justru akan memakmurkan rakyat, nak. Rakyat Indonesia. Indonesia akan menjadi makmur, sejahtera dan maju seperti negara-negara lainnya.”
“Hak-hak buruh banyak yang diamputasi, pengusaha punya dasar hukum untuk itu. Hutan, lingkungan hidup akan rusak. Ini jelas bukan kearah yang lebih baik, Yah.”
“Kau salah memahami nak. Kau pahami dan cermati.”
“Kami sudah melakukan itu, Ayah tau proses yang kami lakukan.”
“Para pengusaha, para investor juga harus dilindungi nak.”
“Kami tahu, tapi bukan memberi kebebasan seperti itu dan membuat buruh terjepit.”
Agak bingung juga aku harus berkata apa lagi. Ia tak akan begitu saja nurut perkataan dari luar jika tak sesuai prinsipnya. Kokoh dan kuat pada pendirian, seperti aku dulu ketika seusianya. Dan, kata-katanya seperti apa yang aku katakan pada ayahku dulu. “Mari nak, kita diskusi sebentar.”
“Pasti akan jadi perdebatan Yah, aku nggak mau itu.”
“Mari nak, duduk sebentar. Ayah akan bercerita sesuatu.”
“Maaf Yah, jika cerita itu untuk membujukku, aku nggak mau.”
“Ini untuk kamu, nak.”
“Untuk aku apa untuk Ayah.”
Mencegahnya dengan membujuk rupanya akan sia-sia dan aku pada posisi tak berkeputusan. Diam dan memasang wajah memelas mengharap. Anak lelakiku tahu itu dan tak menatap wajahku. Ia melanjutkan bicara:
“Seperti Ayah dulu, dua puluh dua tahun yang lalu, berselisih pendapat dengan kakek dan ayah tetap bersikukuh dengan prinsip Ayah, saya tahu itu Ayah. Berdirilah di posisiku Ayah, lihat dan rasakan. Atau, Ayah lupa karena sudah nyaman duduk di kursi yang memahami posisi duduk dan tulang belakang.”
Aku masih terdiam. Tak tega melukai hati dan merusak pikirannya. Sama seperti ayahku pada aku dulu, sama seperti kakekku pada ayahku dulu. “Sudahlah nak, kau bilang tadi nggak mau berdebat dengan Ayah. Ayah mau istirahat dan baca buku.” Ia menghampiriku, memungut telapak tanganku, menjabat dan menciumnya.
“Do’akan saya Ayah. Do’akan saya diberi jalan terbaik olehNya.”
Segala perlengkapan Ia bawa dalam satu tas gendong dan satu tas kecil yang diikatkan di paha kanan. Matanya menatap mantap dan cerdas. Melangkah gagah tanpa ragu, membuka pintu dan menutupnya dengan tangan kanan yang sigap. Rambutnya bergerai ditiup angin yang menyelinap di sela-sela pepohonan halaman. Motor yang sudah disiapkan di dekat pintu gerbang segera membawa pergi. Seketika, warna hijau dedaunan berubah menjadi merah coklat tua. Jalan di depan mulut gang menjadi terdengar sangat bising. Teh hangat di meja sebelah kanan tak lagi menarik. Setiap suara menjadi mengagetkan. Sebuah buku tebal yang sedianya mau diselesaikan di akhir pekan, tak lagi menarik. Sebuah do’a lahir tak sengaja, “Ya Alloh, jagalah anakku.”
Aku tak tahu apakah cara berpikir anakku atau aku yang benar di kemudian hari. Masa depan itu sebuah gambling. Pertaruhan untuk bertahan hidup lebih baik atau malah sebaliknya. Bila menang dan berkuasa di kemudian hari disebut pahlawan dan jika kalah akan tercap sebagai pemberontak, disingkirkan dan persulit segala gerak-geriknya atau bahkan dilenyapkan tanpa jejak. Tak ada keputusan tanpa resiko. Aku berharap ini akan menjadi baik bagiku dan anakku. Anak yang saya ajari untuk berani bersikap, jujur, berargumen dengan baik, berpikir terbuka, banyak membaca dan skeptis, telah tertanam dalam benaknya ta mungkin dengan seketika aku meralat atau mencabutnya darinya.
Aku ke ruang belakang, membikin kopi dengan takaran kesukaanku, menyeduhnya dengan putaran adukan yang kuhitung. Di samping kolam ikan kecil dengan air yang dibuat mengalir dari celah-celah bebatuan, ku intip twitter dan youtube. Keramian di jalan-jalan protokol di kota-kota besar yang pada hari biasa berseliweran mobil, kini penuh dengan massa yang terus bergerak berteriak-teriak, memaki, mengelebatkan bendera organisasi, memamerkan tuntutan, mengeluarkan pendapat. Berhadap-hadapan dengan aparat dan tumpahlah kerusuhan. Asap membubung ke langit biru yang seketika menjadi hitam pekat. Gas air mata muntah di segala penjuru, water canon meluncur deras ke arah demonstran. Dulu, aku ada didalamnya. (Atau, apa ini kejadian dulukah?) Tanpa takut, tanpa peduli, terus bergerak dan bersuara. Sampai kami menang. Rezim Orba yang kami goyang tumbang. Kami bersorak sorai, berpesta merayakan kemenangan. Menangisi teman-teman yang hilang dan mati, berdo’a dengan ritual haru biru, mencatat namanya dalam lembaran sejarah yang terselip lupa di mana menyimpannya. Kemudian kami berebut kue kemenangan itu. Mencari tempat singgah, mencari dan membuat kursi dengan semboyan lantang demi kesejahteraan rakyat; karena aku juga rakyat.
Dulu aku lupa kekhawatiran ayah padaku. Aku tak sempat bertanya karena tak terbersit sedikit pun tentang ada rasa khawatir itu pada ayah. Kemenangan telah melupakan segalanya. Dengan segera mengambil langkah untuk menikmatinya. Saling sikut dan saling kedip mata menguras energi dan pikiran. Siapa yang mampu bertahan dan adaptif, ia yang akan menikmati kue kemenangan. Jiwa idealis kabur makna masuk pada ruang nyaman masing-masing. Romantisme kemenangan terus digaungkan agar tak dilupakan sebagai pahlawan yang ikut menumbangkan rezim.
Dan kini, anakku ada di sana. Berteriak minta didengar, minta dituruti. Demi rakyat katanya. Rakyat yang mana? Karena kau juga rakyat nak. Semangat itu terus menggelora seperti tak bisa dibendung. Pada arena itu akan lahir; menjadi pahlawan atau menjadi pecundang yang akan terus diburu dan diganggu tidurnya. Dan jika orang-orang tahu kau anakku, itu akan mengganggu tidurku dan mengganggu aku menikmati kopi di saat pagi dan disaat rehat malam. Dan sekarang, kopi yang sama di meja sudah berubah rasa tak seperti biasa.
Mengapa pikirannya beda dengan aku? Kenapa dia mau merubah zona nyaman ini? Zona aman? Zonanya siapa? Bukankah anakku sudah nyaman dengan fasilitas yang saya berikan. Ah, ingin cari apa dia? Jika di kemudian hari ingin kursi jabatan dan uang, aku masih bisa mengusahakannya sekarang. Atau, Ia sudah membaca kelompok mana yang akan berkuasa pada eranya nanti?
Hiruk pikuk mengumbar suara di jalan telah beberapa minggu hilang. Mungkin sudah capai, lelah dan merasa tak berguna. Tinggal berseliweran cerita-cerita, pendapat dan diskusi yang sudah tak terminati, hambar dan kurang viewer.
Saat anakku pulang jam delapan empat lima malam, aku jemput dia di depan pintu dan aku memintanya untuk mandi dan makan malam yang telah disediakan oleh ibunya. Selesai makan, saya ajak Ia ke ruang tengah dan berbincang.
“Apa yang kau cari nak?”
“Apakah Ayah dulu juga di tanya seperti itu oleh kakek?”
“Kamu jawab dulu pertanyaan Ayah.”
“Jalan Ayah dan jalanku tentu berbeda, dan saya akan menemukan jalan itu seperti Ayah dulu. Dengan masa yang berbeda, jalan yang saya jalani akan berbeda atau bisa saja sama.”
“Ayah lihat, demo yang besar itu sudah lewat. Para demonstran lelah, capai dan lapar kemudian pulang. Tidur. Esoknya Kembali pulang dan cari uang untuk makan.”
“Saya hanya jadi penggembira di demo besar itu Yah, saya tahu di situ saya akan tenggelam. Tak tampak. Kalau yang saya suarakan akan membuat banyak orang terkejut dan teringat. Mereka akan mencatat nama saya pada ruang yang berbeda.”
“Apa yang kau suarakan nak?”
“Ayah akan tahu nanti.”
“Kau tahu posisi Ayah sekarang?”
“Tahu Yah, dan saya tahu apa yang harus saya lakukan di kemudian hari nanti. Karena di kemudian hari nanti tidak seperti sekarang ini. Saya persiapkan untuk itu Ayah.”
“Kau yakin?”
“Yakin.”
Ia pamit tidur. Aku merenung sejenak sambil merubah posisi kaki agar nyaman. Istriku datang menemani, “Anak kita seperti Ayah dulu. Besok kita bicarakan lagi bersama. Semua ada solusinya.”
“Saya khawatir Ia sudah melangkah terlalu jauh, Bu.”
“Ia anak cerdas Yah, Ia tahu batasan mana jalan yang terakhir harus ditempuh. Ia mengalir dari kran yang dulu dibuka Ayah. Lahir dari rahim dan dibidani Ayah. Apa Ayah tega mau mengkerdilkannya lagi? Ayah tega?”
Aku diam. Banyak sekali pertimbangan berseliweran di kepala, datang silih berganti, sampai tak tahu berapa lama. Setelah berdiam tak ada pembicaraan kami beranjak tidur. Sebuah pesan telegram saya kirimkan pada seseorang.
“Pesan apa yang Ayah kirim tadi?”
“Pesan..?”
“Iya.”
“Waduh. Ayah lupa tadi.”
“Ayah tega?!”
Aku terdiam. Tega? Tega pada “aku” atau tega pada anakku?
Aku terdiam. Merebah, menutup mata tidak tidur dan gelisah. Sebuah kendaraan dengan suara misterius lewat menembus malam yang dingin.
21:15.10.12.20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar