Warna-warni sorot lampu yang di pasang di banyak tempat membuat panggung menjadi megah gemerlapan, terus berpendar-pendar, berputar-putar, bergantian menyorot. Panggung itu tentu di desain agar mampu menampung banyak orang yang berjingkrak-jingkrak di atasnya. Dan suara yang keluar dari perangkat sound system, pasti tak pernah peduli berapa angka desibel maksimal yang aman bagi gendang telinga. Di sini area kegembiraan, berpusat di panggung. Yang nggak setuju, minggir menjauh tak perlu menghimbau, tak perlu khawatir tentang moral dsb. Musik, lampu, asap, alkohol, teriakan-teriakan dan gerakan-gerakan menari menjadi satu, membubung ke langit. Entah langit menerima atau tidak.
Musik di situ sangat dinamis, dari pop, dangdut, rock,
koplo, etnik, country, music
yang tak mengiringi suara menyanyi, musik di situ mengiringi orang-orang
berjoget meliuk-liukan tubuh, bersahutan dengan vokal senggakan menuntun gerak pinggul, gerak leher, gerak tangan, gerak
kaki, gerak hati, mengarah pada satu titik; menciptakan bahagia bersama-sama.
Dan lihatlah, bagaimana wanita-wanita cantik itu bergantian menari menggumbar
tubuh memancing birahi lelaki. Semakin berani, semakin riuh penikmat dan
semakin bersemangat ia menari (apa yang itu disebut menari), dan uang sawer
terus berpindah tangan. Kemudian, lewat youtube melalanglah kegembiraan lokal
ke dunia tanpa batas, tersimpan di langit maya yang siap ditonton kapan pun.
“Pernah nggak kamu merasa malu melihat video kita?”
Berbincang
dua orang kawan.
“Memang kenapa? Kita butuh uang. Kita butuh ketenaran.
Ketenaran akan mendatangkan banyak uang. Lagi pula itu kan seni. Mungkin ada
banyak orang yang tak memahami seni kita. Kita tak bisa memaksakan orang untuk
memahaminya.”
“Kau yakin ini murni seni? Kau merasa bisa melakukan ini
agak lama?”
“Itu urusan nanti. Yang penting sekarang kita happy, bersenang-senang. Nyatanya banyak
orang yang ikut bergembira dengan kita, dan saya dapat uang.”
“Kau menikmatinya sepanjang pertunjukan? Setelah kau
turun panggung, setelah di rumah?”
“Ini duniaku sekarang. Aku tak bisa menikmati dunia nanti
yang belum aku alami. Kau sudah mulai jenuh?”
“Saya kadang berpikir, normalkah duniaku? Pernah kau
berpikir seperti itu?”
“Pernah. Tapi segera saya buang jauh-jauh. Saya, kamu,
punya tubuh yang bagus, dengan ini kita bisa membuat orang di bawah panggung
menjadi tergila-gila. Kita dapat uang dari pertunjukkan ini. Dari memyanyi,
dari menari, dari berjoget, dari bergoyang, kita dapat uang. Uang. Dengan uang yang
banyak saya bisa beli yang saya mau.”
Hingar bingar musik menenggelamkan suara mereka. Meliuk-liuk
kembali di atas panggung, berteriak-teriak seperti bernyanyi, kadang juga bernyanyi
agak benar. Jika lagu itu bukan lagu terkenal, tak ada orang yang tahu.
Berganti hari, berganti panggung, berganti teriakan.
Keringat yang melumuri tubuh, mengkilap, menebarkan bau. Penonton menikmatinya.
“Aku penguasa di
duniaku ini....!” Alam merekam dan menyimpannya begitu saja di langit dengan kata kunci
yang mudah untuk di akses.
Pulang ke rumah menjelang pagi. Kabut telah tebal dan
berdiam di dedauanan yang menggigil. Membuka pintu dengan kunci yang disimpan
di dalam tas berbaur dengan bedak, lipstik, minyak wangi dan charger HP. Sang ibu
bangun, berjalan terhuyung menahan kantuk, menyambutnya. “Kamu baru pulang nak.
Ibu tak bisa tidur menunggumu pulang.”
“Iya Bu. Ibu tidur saja, saya juga mau tidur.”
“Mau ibu bikinkan teh hangat?”
“Nggak usah Bu, sudah minum tadi. Hanya pengin tidur saja.”
“Kenapa kamu sering pulang pagi?”
Sang Ibu mengikutinya ke kamar. Membiarkan anak
perempunnya menata tidur. Sebelum beranjak pergi, Ia sempatkan membetulkan
selimut yang tak sempurna menutupi. “Kamu nggak capai nak?” Si anak hanya diam,
tangan kanannya menarik ujung selimut menutupi seluruh muka.
Setengah dua belas siang, Maira baru bangun. Tak langsung
pergi mandi, Ia sempatkan membuka HP, memincingkan mata, membacanya sebentar
dan menaruhnya agak seperti di banting di kasur. Di meja makan, ibunya sudah
menyiapkan nasi dan sayur bening kesukaanya.
Selesai makan, sang Ibu mendekat, “Kamu sudah berumur,
Maira. Kapan kamu nikah?”
“Maaf Ibu, jangan tanya itu lagi. Saya mohon Bu..”
“Tapi, umur kamu?”
“Apa ada orang baik-baik yang mau nikahi saya bu? Apa ibu
mau punya menantu bukan orang baik-baik?”
“Kamu kan anak baik, jika kamu baik pasti dapat suami
yang baik.”
Maira terdiam. Di reguknya teh hangat sampai setengah
gelas. “Ayah orang baik-baik bukan Bu?” pertanyaan itu meluncur mengagetkan
sendiri. Ia tahu, Ibu akan tidak suka dengan pertanyaan itu tetapi kadang
muncul tak terkendali. Akan muncul wajah sedih dengan tatapan mata kosong
sampai lama. Ia buru-buru meralat, “Maaf bu, Maira lupa itu. Maaf.”
Sang Ibu memandangi garis-garis ubin yang tak sebatas
berujung di batas tembok. Garis-garis yang menjadi benang penghubung waktu yang
ingin sekali di buang jauh-jauh agar tak lagi terbaca.
“Ibu harus menjawab pertanyaanmu, agar kau tak lagi
bertanya. Ayahmu orang yang baik, tapi sayang, kamu tak sempat merasakan
kebaikan yang tulus darinya. Ia keburu pergi sebelum pagi benar-benar terang.”
“Kenapa Bu?”
“Ibu juga tidak tahu. Ibu tak pernah berkesempatan
mengetahuinya.”
“Boleh saya melihat wajah ayah Bu? Barang kali Ibu punya
fotonya. Atau kalau tidak, Ibu bisa bandingkan dengan orang yang sosoknya sama
di sekitar kita.”
Sang Ibu terdiam. Batuk kecil disengaja untuk membuang
perhatian. Tatap mata Maira tetap menunggu jawaban yang memaksanya menjawab,
“Saya tak ingin mengingatnya lagi nak.”
“Apa ayah punya saudara kandung Bu?”
“Ia seorang pengembara yang tak ingin terikat apapun. Ibu
tak tahu apakah ia punya saudara kandung atau tidak.” Kebingungan melanda, sang
Ibu ingin sekali menyudahi percakapan yang tak tahu jawaban terbaik agar tak
kontradiktif jika ditanya lagi. Sosok ayah bagi anaknya, tak pernah yakin. Tak
hanya satu dua orang yang menebar benih seingatnya jika ditarik waktu sembilan
bulan sebelum kelahiaran Maira. Semua kemudian pergi menjauhi meja bekas pesta
yang masih berantakan si tengah ruang luas dengan tembok bergambar warna-warni.
Tak ada yang peduli ketika kesusahan mendera setelah itu. Mereka pindah ke meja
lain untuk berpesta, membicarakan yang lain. Dan, tangis penyesalan hanya jadi
pemberat untuk terus bertahan. “Ibu sendirian merawat dan membesarkanmu nak,
dari sejak masih di kandungan.”
“Ibu nggak punya keluarga?”
“Punya. Tapi Ibu malu untuk pulang.”
“Kenapa Bu?”
“Ibu merasa malu, malu.” Sang Ibu terisak. Pundaknya
berguncang-guncang, sebentar terhenti. Maira menghentikan pertanyaannya,
mengambil handuk sambil melangkah ke kamar mandi. Mungkin untuk mandi atau mungkin
juga untuk melepas tangis di tengah suara gerojokan kran yang sengaja di buka
tak sempurna. Rumah dengan dua kamar tidur itu menjadi terpenuhi suara air
melepas dari kran. Di luar, hujan yang turun tiba-tiba bersama angin yang
menderu, ikut menjadi musik pengiring kecapaian hati.
Kehidupan yang sekarang dibencinya, kini muncul seperti pada
layar bioskop di depannya dengan musik yang volumenya turun naik bergelombang,
membimbing gelora gejolak penyesalan yang terus menerus datang
bergulung-gulung. Ribuan panggung tempatnya beraksi memamerkan tubuh berbalut
kain mini, muncul teratur per-slide seperti
tayangan presentasi sebuah produk pada calon konsumen yang terus
mengerumininya. Ia kadang menjadi seperti gila. Menelan obat tidur menjadi
pilihan untuk melepas tontonan yang tak mau hilang. ‘Kenapa aku tak bisa melepaskan
anakku dari dunia itu yang ingin aku hapus sekarang.’ Ia ingin menghapusnya,
tapi anak satu-satunya telah melarut di dalamnya. Uang dan kegembiraan telah
membiusnya, ‘seperti aku dulu.’
Di luar, hujan sedikit reda setelah lebih dari satu jam
sibuk mengguyur bumi dibantu tenaga angin menanggalkan daun-daun rapuh pada
tangkai yang tak sanggup lagi mempertahankan. Di ruang tengah Maira mendatangi
Ibunya yang sedang membersihkan bunga plastik warna merah.
“Kemarin malam, seseorang mendatangai saya, seumuran Ibu.
Ia memanggil saya ‘nak’. Awalnya saya cuekin,
tapi setelah tiga kali memanggil, saya merasa suara panggilannya bukan
sekedar ‘nak’. Seperti panggilan seseorang ayah pada ananknya. Aku merasa
seperti itu, Bu.”
“Kau harus hati-hati pada laki-laki yang bersikap baik
tak wajar.”
“Dia sepertinya tulus Bu, saya dapat merasakan dari suara
dan sorot matanya. Orangnya sedang, tak terlalu tinggi tak terlalu rendah.
Kumisnya rapi, jenggotnya dicukur habis. Tidak tampan, tapi tak juga jelek.
Setiap geraknya tenang, seperti tak buru-buru, meyakinkan. Ibu kenal dia?”
“Sepertinya tidak, atau mungkin Ibu sudah lupa.” Meski
banyak lelaki yang dulu sering bersamanya, sebenarnya Ia bisa menduga, tapi Ia
memilih untuk membahasnya.
“Ia minta nomer HP saya, saya tak ngasih, tapi ia bisa
dapat nomerku, mungkin dari temanku. Ia hanya tanya kabar dan titip salam buat
Ibu. Ini foto DP-nya bu.” Maira
menyorongkan layar HP ke de depan ibunya, sang Ibu melihat dengan biasa-biasa
saja karena sudah menduga. Seorang yang dekat, tapi sakit hati karena tak bisa
memiliki seutuhnya.
“Sepertinya Ibu nggak kenal, mungkin karena sudah lama
dan wajahnya berubah.”
“Ia ingin datang ke rumah bu. Saya nggak ngasih alamat.
Jika ia sampai ke sini, mungkin karena membuntutiku. Tadi ia mengirim ini.”
Maira menggeser layar HP-nya dengan jempol. “Ini foto Ibu kan? Foto Ibu dulu?
Tatto-nya sama dengan tatto ibu di pangkal paha.”
Sang Ibu kaget, badannya tegang, nafasnya terhenti, bola
matanya berhenti bergerak dan bertatap kosong. Tatto naga kecil dengan ujung
buntutnya mawar merah yang selama ini sangat disembunyikan, ternyata telah di
ketahui.
“Ia juga mengirimi ini, Bu.” Maira mebuka video
pertunjukan musik hingar bingar di panggung. “Yang bernyanyi teriak-teriak
sambil terus joget, Ibu kan?” Maira melanjutkan menononton video meski ibunya
tak suka. “Ternyata goyangan saya, masih kalah sama ibu.”
“Ibu mohon, buang itu semua Maira. Ibu mohon.” Suaranya
berat dan serak. Ia tak menangis karena sudah tak bisa menangis. “Dan kamu,
berhentilah..! Jangan seperti Ibu. Berhentilah nak.”
“Kita masih perlu uang, Bu. Bulan depan kita harus bayar
kontrakan rumah.”
“Berhentilah nak, berhenti.”
“Maaf Bu, Maira harus berangkat. Sebentar lagi ada yang
njemput.”
Maira bergegas masuk ke kamar mengambil segala perlengkapan yang sudah di
siapkan di tas.
“Sudahlah nak, kamu nggak usah berangkat.”
Maira berhenti sejenak di hadapan ibunya, menarik tangan menyalami sang Ibu
dengan memaksa. “Maira pamit Bu.”
Sang Ibu memandanginya, tak mengantar sampai pintu. Di
luar gerimis basah.
23:45.08.05.2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar