Pulau kecil yang terapung itu jika malam tampak gelap tanpa sinar listrik. Tak ada suara musik, radio ataupun tivi. Sunyi. Semua suara adalah suara alamiah. Tak ada lalu lalang mobil atau motor, tak ada rumah gedung menjulang. Sepi, tak ada kesibukan dunia modern yang berlari berpacu dengan waktu, saling mendahului dan oportunis. Manusia yang tinggal di situ pun, tak bertempat di rumah-rumah yang layak. Sekedar tempat berlindung dari dinginnya angin malam dan berteduh saat hujan datang. Ada yang tinggal di bawah tebing dengan cekungan kecil semacam goa, ada yang tinggal di bawah sisa reruntuhan bangunan, ada yang bikin gubug sederhana tanpa bilik.
Dataran tinggi di bibir pantai itu
terpisah dari induk pulau setelah gempa dahsyat 7,8 skala Richter di kedalaman
sepuluh kilometer di dasar laut, tujuh ratus
meter dari bibir pantai diikuti Tsunami dahsyat yang menggulung seluruh hasil
peradaban manusia sejauh jangkauan air laut pada sebuah tempat yang sangat strategis
untuk menikmati seluruh keindahan laut sepanjang waktu. Di situ fasilitas untuk
menikmati keindahan dan kesenangan tersedia dengan berbagai macam bentuk,
warna-warni simbol imajinasi manusia yang tak terbatas waktu. Sekarang menjadi
sebuah pulau kecil terapung di tengah samudra tanpa bisa melihat bibir pantai
pulau lain. Sejauh mata memandang, hanya hamparan air laut yang terus menerus
menggulung ombak sepanjang waktu. Tak ada fasilitas komunikasi. Tak ada fasilitas
kebutuhan manusia modern yang bisa dipakai. Semua telah rusak dan tak
bermanfaat. Pulau kecil itu menjadi tempat manusia yang selamat dari gulungan
ombak Tsunami. Ada tigaribuan orang di sana. Dari anak-anak sampai manula.
Setiap hari ada saja orang yang
mati. Tak ada obat-obatan, praktis hanya menggunakan dedaunan dan buah-buahan
yang dianggap bisa mengobati orang sakit. Pemandangan yang lumrah melihat
orang sekarat tanpa perawatan atau pertolongan medis. Ketika pohon-pohon mulai
tumbuh bersemi, orang-orang penghuni pulau itu semakin menyusut jumlahnya, satu
persatu mati. Tak ada upacara penguburan dalam suasana duka haru biru. Hanya
sekedar dikubur tak begitu dalam hasil dari menggali lubang dengan
ranting-ranting pohon yang dipatahkan. Hewan-hewan sudah jarang sekali bisa
ditemui. Mereka diburu dan dimakan. Hanya beberapa hewan saja yang sementara
bisa menyelamatkan diri dan masih bisa bersembunyi sambil menunggu kapan
saatnya tertangkap manusia yang memangsa semua yang ditemui saat lapar. Burung-burung
kadang hinggap sementara di pohon untuk kemudian terbang lagi entah ke langit
yang mana.
Tak ada pemimpin diantara mereka
yang diakui. Tak ada ide dan pendapat yang dapat mempengaruhi pikiran orang
lain. Semua saling mencari selamat, saling mencari celah untuk bertahan hidup. Kekuatan
fisik menjadi senjata utama untuk mempengaruhi orang lain. Tak ada batasan antara kecurangan dan
ketidakcurangan. Bertahan untuk selalu survive
dilakukan dengan berbagai cara, melupakan pertemanan atau persaudaraan yang
pernah terjalin. Ini pulau barbar. Banyak lelaki yang tampak gagah perkasa yang
mati lebih duluan karena lengah dan disingkirkan pesaingnya dan hanya wanita-wanita yang kuat
dan pandai baca situasi yang masih bisa bertahan. Saat para lelaki atau
wanita-wanita naik libidonya dan memuncak keinginan menumpahkan kebutuhan
biologisnya, akan menjadi hal yang unik bagi siapapun yang berkesempatan dan
dengan keadaan tak ada orang lain yang menggangu. Kesempatan itu sangat sulit
karena semua saling mengintai dan saling ingin mengagalkan. Perselisihan kecil
sering menjadi baku hantam yang berujung pembunuhan. Sering bangkai orang yang
tewas ditinggalkan begitu saja atau kadang dibuang ke sungai atau ke laut.
Hanya bau busuk yang membuat berpikir untuk menyingkirkan atau mengubur
bangkai, karena kemanusiaan telah tererosi begitu cepat.
Ketika hidung sudah terbiasa dengan
bau busuk bangkai dan mata telah terbiasa dengan bangkai-bangkai, pembiaran
mulai terjadi. Ketika umbi-umbian dan daun-daun sudah tak ada lagi tersisa dan
binatang tak ada lagi yang bisa diburu, pola makan menjadi berubah.
Ketidakbiasaan mulai terjadi. Tak ada pembiaran pada apapun yang bisa dimakan.
Orang yang sedang sekarat menjelang maut, ditunggu kematiannya. Dagingnya akan
diolah untuk dimakan. Entah siapa yang memulai. Juga memang sudah tak terpikir masing-masing
punya nama atau tidak, tegur sapa sekedar hai, hoi, oi, tak jelas apa
maksudnya. Tatanan hidup orang modern telah hilang dan rusak sama sekali.
Mereka begitu cepat jadi primitif. Satu dua orang yang mencoba bertahan
berpikiran seperti sebelum mereka terapung di sebuah pulau kecil yang
terisolasi. Rasa kebersamaan sebagai manusia berubah seratus delapan puluh
derajat dan lebih menakutkan dibanding dengan binatang. Mereka membuat api dari
kayu atau bambu kering yang digosok-gosokan satu sama lain untuk penghangat
badan saat malam terasa dingin dan untuk sekedar membakar daging atau
umbi-umbian yang ditemukan.
Tertolong oleh beberapa orang yang
meyakinkan kalau makan daging manusia adalah perbuatan yang akan menyiksa diri
kita sendiri, perburuan sesama manusia untuk dimakan dagingnya segera cepat
berakhir. Bahkan kemudian mereka mengkeramatkan bangkai manusia pada satu
tempat yang tinggi dan diyakini akan selalu menjaga orang-orang yang masih
hidup, melindungi dari kekuatan ghaib jahat yang kapan saja bisa menyerang. Ada
upacara sederhana untuk mengantarkan jenazah ke puncak bukit. Mereka bernyanyi
dengan nada yang sedih dan mengharukan, diselingi ucapan penghormatan dan
permohonan agar si jenazah menjadi pelindung dan penjaga yang setia. Kadang
suaranya meninggi, kemudian datar merendah meratapi kepergian, silih berganti.
Burung-burung menjadi datang berkumpul, bernyanyi mengiringi. Setelah selesai
semuanya, burung-burung itu terbang lagi entah ke langit yang mana.
Perempuan-perempuan berkumpul pada
sebuah tempat yang terpisah dari kaum lelaki. Mereka merasa nyaman berkumpul
karena akan jadi rebutan jika berpasangan dengan seorang lelaki. Dan itu pasti
jadi perkelahian. Tak jarang perempuannya yang jadi korban. Nafsu biologis
mereka masih normal, tapi, sepertinya tak ada seorangpun yang rela melihat
sepasang laki-laki dan perempuan dapat leluasa menikmatinya. Nafsu sex ini yang
sering menjadikan awal dari perkelahian dan tak jarang berakhir dengan pembunuhan.
Perempuan-perempuan itu sepakat
untuk tidak melayani nafsu biologis para lelaki, apapun resikonya. Mereka
membentengi diri dengan selalu berkumpul dan saling menjaga dari sergapan
lelaki yang setiap saat siap menyeret dan menyergap salah satu dari mereka.
Mereka terus bertahan. Suatu keputusan yang sebenarnya menyiksa juga bagi
mereka. Berbulan-bulan mereka terus begitu dan membuat kaum lelaki semakin buas
dan semakin tertantang. Tapi kemudian nyatanya tak semua perempuan mampu
menahan keinginan biologisnya. Satu dua melanggar kesepakatan itu,
sembunyi-sembunyi mencari celah dan waktu untuk bertemu dengan lelaki yang juga
begitu. Tak hanya satu dua, pelanggaran kesepakatan para perempuan pun semakin
tak terjaga. Para penjaga kesepakatan yang setia, satu persatu berguguran.
Pengkhianatan menjadi hal lumrah setelah beberapa bulan dijaga mati-matian.
Mereka, para perempuan dan para lelaki, berlari dan bersembunyi, menikmati
kesempatan yang sempit. Berkelakar melepas hajat, bersantai sejenak untuk
bersiap berburu lagi. Berburu makan, yang lelaki berburu perempuan, yang
perempuan menikmati sebagai obyek perburuan. . Bersembunyi-sembunyi menikmati
sebuah kesempatan bisa bersembunyi. Terus dan terus sampai kemudian
sembunyi-sembunyi itu menjadi hal biasa dan tak lagi terasa menyenangkan. Berburu makan,
berburu perempuan, bersembunyi-sembunyi, bernyanyi-nyanyi dalam kesembunyian.
Tak ada yang mau diatur, hanya jika
ada keperluan yang berbarengan saja mereka mau sepakat. Para perempuan sadar
mereka jadi obyek perburuan bagi kaum lelaki
yang semakin lama semakin meremehkan dan melecehkan.
Mereka segera sadar, atur strategi dan berkumpul. Dan, semua usul, semua berpendapat,
semua bersuara keras, semua bersuara lantang. Riuh rendah, tak ada yang mau
kalah, semua harus menang dan semua memaksa harus idenya sendiri yang dipakai.
Keributan segera terjadi sampai reda sendiri karena kelelahan. Pada sebuah gua
yang mulutnya diberi atap dari rumput ilalang yang dianyam, mereka melepas
kelelahan bersandar pada dinding
gua. Bercerita sekenanya tanpa disadari kapan memulai dan bicara tentang apa.
Terdengar ketawa-ketiwi genit, ada yang cekakan, ada yang berteriak-teriak.
Bernyanyi tanpa syair yang jelas.
Seorang perempuan lincah bertubuh
ramping, kuat, cekatan, berrambut tebal lurus sebahu, bermata jalang dan tajam
berdiri pada sebuah batu tertinggi dan berteriak dengan keras.
“Dengar... Dengarkan saya.” Suara
membehana mengisi seluruh ruang, “Hey... Kau mau dengar aku tidak....!!! Jika
tidak, kau harus tau akibatnya.”
Ia pun segera melompat dan
menghampiri empat orang yang terus ngobrol tanpa memperhatikan ucapnnya sedikitpun.
Ia segera menggapai rambut salah satu dari mereka dan memaksanya berdiri.
Merasa jadi korban, ia melawan tapi keburu dipaksa untuk takluk oleh perempuan
perkasa itu. “Jika kau mau melawan aku, kau rasakan ini!” sambil dengan sangat
cepat tangannya memelintir kepala si korban dan dihempaskan ke tanah berkerikil tajam.
Perempuan itu terjengkang dan meringis menahan sakit. Tiga temannya merasa tak
rela, langsung menyerangnya dan segera saja perempuan perkasa itu berkelebat
menendang dan meninju. Tiga orang itu terkapar, terjerembab mencium tanah.
“Mau kalian-kalian sepertia dia?”
tanganya menunjuk lurus pada empat orang korban pertamanya.
Semua terdiam.
Di hati mereka bergumam, ‘harus tak ada yang berkuasa di antara kita, ia harus
segera disingkirkan jika mau jadi pemimpin kita’.
“Saya tak akan
jadi ratu diantara kalian,” Ia berteriak keras, “Tapi, kalian ingat. Kita telah
menjadi obyek perburuan para lelaki tengik itu. Kita harus pintar dan jeli agar
mereka tak sembarangan menguasai kita.” Mereka tersadar. Terdiam.
“Jadi, kita
harus bagaimana?” seorang perempuan lembut berambut hitam sedikit ikal
menimpali dengan penuh kekhawatiran.
“Santai aja.
Tinggal kita turuti kemauan para lelaki itu pasti mereka tak akan menyakiti
kita. Betul nggak? Toh, kita juga butuh.. Ya, nggak kawan-kawan.”
“Tidak!!” Teriak
perempuan yang masih berdiri di atas batu. “Kita harus kuasai mereka sebelum mereka merasa bisa
menguasai kita. Kita harus kuat dan sejajar dengan kaum
lelaki. Kita harus memulai dari sekarang.” Maka demi sebuah kesepakatan dan
janji tak ada pengkhianatan, mereka kompak.
Dan benarlah,
setelah bersepakat dengan bersusah payah, mereka mengatur strategi. Hanya ada
seorang perempuan yang keluar dari persembunyian dalam satu hari. Yang lain
berkumpul dalam satu gua untuk bertahan dan siap menyerang jika ada lelaki
datang.
Seorang
perempuan cantik di tengah belantara alam dengan berdandan seadanya, tentu
menjadi sesuatu yang sangat menarik bagi lelaki yang haus perempuan. Dan perempuan itu melenggang ke sungai, ke
hutan, ke semak-semak sendirian tanpa rasa canggung dan takut. Dalam sekejap,
para lelaki bersembunyi-sembunyi mengintip untuk mencari sempat mendekapnya.
Ketika seorang dengan cekatan
menangkap si perempuan, ia tak berontak dan tak juga tak membiarkan dirinya di
dekap. Di bawanya si perempuan ke balik semak yang berumput tebal. Ia tak
berontak dengan kasar, sedikit menolak tapi menurut mengikuti langkah lelaki
yang penuh birahi dengan sedikit diseret kedua kakinya. Rambutnya terurai oleh
angin yang melewat di setiap sela-sela pepohonan dan semak. Rumput, semak dan
ranting yang terlewati bergerak-gerak menyapa menyampaikan salam.
Seribu pasang mata lelaki yang lain
mengintai, matanya memerah menahan hasrat, menelan ludah sampai jakunnya
bergerak-gerak turun naik. Kepalanya menjadi segera pusing menampung seluruh
imajinasi yang datang begitu banyak, begitu cepat. Gerigi mereka gemeretak
beradu dan nafasnya mendengus-dengus. Keluarlah suara-suara lenguhan dari
seribu lelaki yang menahan konak. Lenguhan itu mengeras menyeruak di atas
pepohonan dan semak-semak, seperti segerombolan binatang buas yang lari diburu
manusia bersenapan.
Ketika seseorang melompat dari
persembunyian dan berlari menyerobot menggapai lengan perempuan yang sedang
dirayu, lelaki yang lain serentak mengikuti takut ketinggalan kesempatan.
Mereka bertubrukan. Saling sikut, saling tendang, saling menyingkirkan. Seperti
ikan dalam kolam dikasih pakan setelah berhari-hari kelaparan. Berteriak-teriak
penuh nafsu dan amarah. Yang terkulai dan terkapar, terinjak-injak. Semak
belukar dan rerumputan sebentar telah rata menjadi lapangan. Perkelahian terus
berlanjut. Tak jelas siapa lawan siapa, yang dalam jangkaun serangan, mereka
saling pukul dan tendang.
Perempuan cantik itu menjadi
terbiarkan dan pulang ke gua dengan tenang sesekali menongok ke belakang
melihat para lelaki yang masih terus bertarung meluapkan amarah. Darah nampak
mulai tercecer di rerumputan. Pertarungan terus berlanjut, merembet ke
lelaki-lelaki lain menjadi ikut bertarung membantu orang-orang yang dianggap
temannya. Tapi, tidak jelas apakah membantu teman atau memanfaatkan kesempatan
untuk membunuh lawan. Yang terjadi, bukan pertarungan antar dua kubu, tapi
pertarungan pada siapa saja yang dalam jangkaun serangan. Sekumpulan lelaki
yang sedang ngamuk satu sama lain, entah memperebutkan apa. Burung-burung
berbulu gelap berbondong hinggap di dahan-dahan pohon di sekitar mereka,
memandangi dengan mata jalang dan paruh tajam terhunus. Suara-suaranya serak
menanti bangkai yang mulai bergelimpangan.
Langit berangsur menggelap. Sinar
matahari hanya menyisakan sedikit semburat di balik bukit yang menurun.
Lelaki-lelaki yang masih bertahan untuk bertarung masih terus menunjukkan
kekutannya untuk melumpuhkan lawan.
Seorang perempuan lincah bertubuh
ramping, kuat, cekatan, berrambut tebal lurus sebahu, bermata jalang dan tajam
berdiri pada sebuah batu tertinggi dan berteriak dengan keras.
“Apa yang kalian perebutkan?!”
teriak perempuan itu lantang menengadah langit. “Apakah kalian hanya akan
meyisakan satu pemenang?”
Tak ada jawaban. Para lelaki sudah
tak ada lagi yang berdiri. Semua terkapar menggelepar. Burung-burung berbulu
hitam berparuh tajam mulai turun mengerubuti lelaki-lelaki yang terkulai
berdarah-darah. Bau anyir
darah menguap ke langit yang telah gelap. Tak ada bulan atau bintang menyambut
malam. Gerimis rintik kecil turun menyamping bersama angin yang sesekali
berhembus menyentak. Anak-anak
burung pipit beringsut masuk sarang menghangatkan tubuh diketiak induknya.
April
2013
kotah canggih men geneng yoh yim
BalasHapus