Meski kita sadar pada akhirnya semua manusia, bahkan semua makhluk hidup
akan mati, tapi kita diberi rasa takut tentang kematian. Berbagai cara
dilakukan untuk mempertahankann hidup dan menghindari kematian. Sepertinya umur
dan waktu mati kita yang menentukan, sesuai dengan kesiapan dan keinginan,
sesuai dengan schedule yang telah
diatur sesuai selera pelaku hidup. Mayoritas manusia sadar, tak mengerti kapan
dan dimana saat tiba waktunya mati. Sadar nggak bisa nawar dan nggak bisa sesuai
permintaan, kecuali jika dengan cara bunuh diri. Tapi, mempertahankan diri dari
kematian adalah sebuah keharusan, setidaknya mempertahankan diri sebelum
waktunya tiba yang bisa tidak lagi bisa mengelak. Mempertahankan diri untuk
tetap hidup adalah sebuah perjuangan terus menerus sampai pada titik waktu ‘kekalahan’
dan menerimanya.
Begitu berharganya hidup sampai kadang lupa cara kita bertahan untuk hidup
bersinggungan dengan orang lain yang juga sedang bertahan hidup. Tak jarang cara
bertahan untuk hidup, dilakukan dengan sadar, tidak
sadar atau dengan tidak sengaja apa yang dilakukan nya, bisa berakibat fatal pada
orang lain atau bisa menyinggung perasaan orang lain. Keegoisannya muncul saat
bertahan, ‘aku harus belakangan matinya sesuai dengan keinginan’, saat sudah
tak bisa lagi nawar.
Maka, ketika sebuah pandemi viru Corona yang menggemparkan dunia muncul, sebagian
besar orang berupaya keras agar tubuhnya tak tersentuh virus tersebut dan
selamat dari kematian. Semua hal yang menurutnya bisa membuatnya terserang
virus dan menjadikannya kalah, disingkirkan jauh-jauh dan tak ada tawar menawar
untuk hal sekecil apapun yang bisa membuat penularan. Paranoid itu muncul dan
melepaskan sebuah rasa empati. Maka ketika seorang yang mati karena korban virus
Corona, pemakamannya pun banyak yang menolak. Tak ingat jika semua orang tak
ada yang mau menjadi korban. Tak seorang pun yang mau salah satu anggota
keluarganya mati karena serangan virus itu.
Ketakutan itu telah membutakan dan menganggap menolak pemakaman jenazah
korban virus Corona di wilayahnya adalah sebuah upaya dan perjuangan untuk
tetap bertahan hidup. Melupakan bagaimana perasaan pedih dan sedihnya keluarga
korban ditinggal mati dengan cara tragis dan ‘belum saatnya’ ditambah lagi
dengan penolakan pemakaman dengan emosional. Mereka lupa sendainya pada posisi
menjadi pesakitan. Hidup dan kelangsungan hidupnya lebih berharga dari hidup dan
perasaan orang lain. Orang lain bukan
urusanku, karena hidupku harus terus berlanjut. Empati yang ( dirasa ) membuat terancam
hidupnya, adalah romantisme cengeng yang harus dibuang.
00:08.02042020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar