Kalimat pembunuhan sudah sangat sering di dengar. Pembunuhan itu membuat
sesuatu menjadi mati. Membunuh itu melakukan kegiatan pembunuhan yang
menjadikan obyek yang dibunuh mati. Menghabisi nyawa secara sengaja. Membunuh
biasanya diterapkan pada makhluk hidup yang bergerak. Jika diterapkan pada
makhluk hidup yang tidak bergerak menjadi janggal atau dirasa tidak pas.
Membunuh pohon, misalnya, ini akan terasa janggal meskipun jika diperdebatkan
bisa saja diterapkan. Mematikan pohon, di tebang atau di teres, terasa lebih
enak dirasa dibandingkan dengan membunuh pohon.
Pembunuhan karakter itu usaha secara sengaja membunuh karakter seseorang
dengan menghabisi atau mengikis karakter yang dipunyai seseorang supaya karakternya
mati atau berubah, sesuai dengan keinginan si pembunuh. Ada karakter korban yang
tidak disukai oleh si pembunuh. Suka atau tidak suka itu subyektif, jadi kenapa
si pelaku melakukan pembunuhan itu, alasannya bersumber dari persepsi yang
subyektif dan untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya supaya hegemoninya
selalu terjaga dan terus semakin perkasa dimana pun.
Karakter seseorang yang kuat, berpengaruh dan punya daya untuk mempengaruhi
publik, bisa membahayakan orang atau sekelompok orang yang berseberangan dengan
pendapat dan pemikirannya. Untuk menghentikan pengaruh itu, sedini mungkin
karakternya dibuat sedemikian rupa sehingga apa yang ungkapkannya menjadi
seperti salah, tidak berguna dan membahayakan bagi kebanyakan orang.
Ada senjata ampuh di setiap masa untuk membunuh karakter seseorang jika ada
yang berpikiran tidak sependapat dengan penguasa. Di masa Orde Baru dengan
pemimpin besar Soeharto yang begitu digdaya selama 32 tahun, tuduhan ‘komunis’
bagi siapa saja yang berseberangan dengannya, akan membuat si tertuduh menjadi
tidak laku di pemerintahan, terabaikan di birokrasi, terkucilkan di segala
organisasi resmi dan dipinggirkan dari pergaulan sosial keagamaan. Men-cap
komunis menjadi begitu ampuh dan menakutkan sehingga semua orang berusaha
menghindar dari tuduhan itu. Ia akan serta merta nurut sama segala program
pemerintah meskipun dirugikan karena resikonya akan lebih berat jika tak nurut
dan dicap komunis.
Ketika kejayaan Orde Baru tumbang dan tutup kebebasan berpendapat terbuka
lebar, semua orang bisa bebas bersuara, bebas menulis, bebas berpendapat.
Saking bebasnya bersuara, caci maki sebuah hal yang lumrah menjadi konsumsi
setiap hari. Semua orang bebas berpendapat dan berargumen sesuai
kepentingannya. Sehingga sampai orang menjadi muak terhadap caci maki, argumen
dan pendapat yang saling menyerang. Dari sinilah kemudian timbul rasa empati
pada orang yang diserang. Semakin seseorang, terutama tokoh publik, diserang
dan dicaci maki dan Ia menerima dengan sabar, Ia akan mendapat berkah empati sehingga
mendapat banyak dukungan di panggung politik. SBY mendapat berkah di era ini
karena mendapat cemoohan seorang tokoh besar. Kemudian beliau memanfaatkan
kekecewaan publik yang tidak juga segera lebih baik dari Orde Baru dan
berhasil.
Caci maki dan argumen yang meyerang itu juga sebuah upaya pembunuhan
karakter. Upaya agar lawannya tidak lagi mampu untuk menghalangi jalannya. Tuduhan
nyinyir menjadi senjata baru bagi yang menyampaikan pendapat tidak sesuai arus
penguasa. Jika yang beragama islam, tuduhan kilafah menjadi kata yang serangan
yang membuat si tertuduh nggak nyaman
dan memilih diam.
Saling serang di media massa, terutama di media sosial, sangat mempengaruhi
opini publik. Kelompok yang mampu mengarahkan alur pemikiran rakyat bisa
mendapat dukungan sehingga bisa mempertahankan hegemoni untuk dimanfaatkan,
juga membuka kesempatan baru. Pengalihan berita yang menjadi trending topik
sesuai dengan keinginan si pembuat berita, menjadi sebuah ajang perang kalimat
di dunia maya. Semakin banyak sebuah topik terus menerus dibahas dan
dimunculkan dalam waktu tertentu yang dibutuhkan, akan semakin menggiring opini
kebanyakan orang pada berita atau kabar yang menang ‘perang’. Buzer berpengaruh
penting dalam penggiringan opini, baik buzzer yang terorganisir maupun buzzer
yang muncul karena merasa harus ikut medukung dan membantu sebuah opini lain. Perang
opini tak menimbulkan korban fisik, tapi akan terus berlanjut dengan bahasan
lain.
Keberagaman dengan kekuatan egoistis yang menyebabkan orang saling ‘membunuh’.
Dengan merasa menjadi penguasa adalah kenikmatan yang harus dipertahankan
dengan berbagai cara, maka perebutan untuk berkuasa menimbulkan korban. Sampai kemudian
semua orang sadar, menyingkir orang lain, akan menumbuhkan perlawanan baru yang
berpotensi menyingkirkan balik. Sebuah ‘sadar’ yang mustahil.
21:33_26042020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar