CERPEN.
Lengger Asih itu lengger hebat. Ia bisa menjadi pembicaraan sampai
berjam-jam bagi para penggemar lengger. Ia memang lengger yang punya daya tarik
khas. Setiap pentas Ia selalu membuat penontonnya enggan pulang –terutama
penonton lelaki- dan jika pulang mereka membawa segudang rasa penasaran. Mereka
bisa terus tertawa-tawa, mentertawai
kata-katanya sendiri, sambil membayangkan seluruh lekuk tubuh lengger Asih
sambil menikmati kopi di warung Mbok Imah dengan rokok Djarum Coklat menjadi
teman istimewa karena jika di rumah mereka cukup rokok lintingan dengan aroma
kemenyannya yang khas. Setiap
orang selalu berlomba mencari kalimat baru yang segar yang membawa orang ke
ruang khayal tentang lengger Asih dan tentu supaya timbul tawa baru.
“Kalau lengger Asih jadi istri saya, semua orang yang berani
mendekatinya, saya bunuh!”
“Kalau saya sih tak perlu ia jadi istri saya asal setiap saya butuh ia
ada dan siap.”
“Enak aja, emang lengger Asih barang dagangan. Ia hanya pantas untuk
lelaki yang perkasa dan hebat. Siapa yang paling kuat dia yang berhak
memilikinya. Kita adakan sayembara, pertarungan.”
“Nggak usah pakai sayembara pertarungan, kalau saya, saya dikasih
kesempatan berasyik mesra semalaman dengan lengger Asih terus besok paginya
ditembak mati, saya mau.”
“Saya tak pernah lupa bagaiamana Ia menggoyangkan bokongnya. Andai saja
bisa, saya ingin mengambil bokongnya untuk dipasang di meja kamar, cukup
bokongnya saja, nggak apa-apa.”
“Kalau istrimu ngamuk?”
“Suruh dia bikin bokongnya seperti bokong lengger Asih.”
“Ha ha ha.”
“Ha ha ha.”
Besok malam di rumah Pak Sasmito, Lengger Asih mau ditanggap. Hampir tak
ada yang terlupakan untuk dibicarakan semua tentang Lengger Asih. Bibirnya yang
basah, suaranya yang merdu, pinggulnya yang nawon kemit, lehernya yang
jenjang, lengannya yang panjang, matanya yang tajam, jari lentiknya dengan kuku
yang terpelihara rapi, alisnya yang tebal bak lebah beriring, bahunya yang
rata, cara menarinya yang membikin geregetan dan cara menanggapi kata-kata
nakal dari para lelaki dengan senyumnya membikin mereka malu mengulangi, semua
jadi bahan pembicaraan yang tak pernah membosankan.
Jika mereka tak ingin mengakhiri
obrolannya tentang lengger Asih, lain bagi seorang pemuda bernama
Purwanto. Ia tak ingin lengger Asih menjadi bahan tertawaan dengan benak penuh
khayalan seronok. Purwanto, lengkapnya Eko Purwanto, ingin menghentikan canda
jorok mereka dengan cara apapun meski setiap kali niat itu dibatalkan. Karena
Ia juga harus sadar, itu hak mereka untuk bersendau gurau, pelepas lelah
sehabis seharian kerja di ladang atau sawah, lagi pula lengger Asih sudah
menjadi milik para penggemarnya, milik para fans setia yang setiap pentas
selalu bertambah deret hitungnya.
Purwanto jadi ingat tentang ronggeng Srintil (dari Dukuh Paruk), seorang
bocah yang jadi incaran orang tua bajul buntung bau tanah busuk hanya karena Ia
jadi seorang Ronggeng. Dan sekarang, di hadapan Purwanto, orang-orang tua
tertawa terbahak membicarakan lengger Asih, ronggeng Asih, sampai gigi-gigi
gerahamnya yang paling hanya seminggu sekali disikat terlihat semua dengan bau
bangkai dan baju yang menabur aroma sengar rokok klembak menyan dan keringat
basi.
Keyakinannya dengan cinta yang mampu memepengaruhi Asih telah dicoba.
Berkali-kali.
“Mas Pur kan kenal saya setelah saya jadi ronggeng, jadi lengger, dan itu
berarti Mas Pur sudah mengerti bagaimana resiko punya pacar seorang lengger.
Kalau Mas Pur percaya sama saya, semua akan baik-baik. Dan saya bukan lengger
seperti yang mereka bicarakan; gampangan!”
“Tapi, cap tentang lengger yang
itu gampangan, bisa diajak tidur, telah melekat di pikiran mereka.”
“Saya akan buktikan anggapan mereka salah!”
“Tak gampang merubah anggapan yang telah melekat turun temurun.”
“Itu salah mereka, bukan salah saya kan? Mereka yang gampangan memvonis.”
Purwanto diam, karena Ia tahu Asih masih mampu menjaga kehormatannya
sebagai wanita meskipun predikat lengger tenar melekat padanya. Sama seperti
yang sudah-sudah, telah berbagai cara untuk membujuk Asih berhenti jadi lengger
tak sedikitpun ada tanda-tanda Asih tersentuh hati. Asih yang lulusan sekolah
menengah karawitan, selalu bisa membawa arah pembicaraan ke hal lain yang lebih
mengasyikan. Dan Purwanto terbawa arus obrolan Asih, asyik masyuk sampai malam
menebar hawa dingin. Sampai jarum jam terlalu cepat berjalan dan sampai enggan
pulang.
Tujuh setengah bulan berpacaran, mereka sudah merasa cukup untuk saling
percaya, saling menjaga cinta untuk tetap bersama. Kadang juga mereka bicara
masalah rumah tangga bahagia yang mereka akan bina dalam ruang khayal yang
mereka cipta; keindahan romantisme cinta!
Meski Purwanto bisa mengambil kesimpulan, Asih akan menurutinya jika
telah berstatus suami, membujuk Asih untuk berhenti jadi lengger adalah
tantangan yang harus bisa dilewati. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan
menikahi Asih jika Asih telah berhenti jadi lengger, jadi Ia akan menikah bukan
dengan lengger, tetapi telah benar-benar bukan lengger. Suara olok-olok seronok
tentang lengger Asih disimpannya dalam hati, Ia anggap ujian untuk membuktikan
cintanya pada Asih. Dan Ia tak tahu kapan Asih akan berhenti jadi lengger
karena setiap membujuk dan mempengaruhinya belum ada tanda-tanda akan berhasil.
Sampai kapan? Sebuah pertanyaan yang selalu mengganggui pikirannya.
Ia juga pernah mencoba menemui orang tua Asih agar
mau ikut membantunya dan hasilnya sama saja. Meski orang tua Asih menyukai
kesenian lengger, mereka tak ingin anaknya menjadi lengger dan mereka gagal
menghentikan langkah Asih. “Kalau saya tahu akhirnya Ia jadi lengger, saya tak
akan menyekolahkannya di lanjutan, cukup di SD atau SMP saja.”
Menurut orang-orang tua di desa itu, Asih telah ketiban indang lengger
Mbah Kesih yang meninggal sepuluh tahun lalu. Mbah Kesih seorang lengger yang
sangat terkenal ketika masa revolusi. Ketenarannya meluas sampai ke beberapa
kabupaten di sekitarnya. Mbah Kesih dan Mbah Parjo (Tukang kendang yang juga
suaminya) menjadi orang yang paling ditunggu di setiap pementasannya.
* * *
Pentas lengger Asih waktu perayaan perkawinan putri bungsu Pak Sasmito
berakhir dengan keributan. Pementasan yang sedianya dua malam, harus dibubarkan
ketika pertunjukan baru berjalan setengah waktu. Ketika malam mulai menebar
angin dingin dan anak-anak yang sudah ngantuk mengajak ibunya pulang, para
lelaki berebut joged di depan lengger Asih yang ditemani lengger Inah. Mereka
sudaha tak tahan jika hanya sekedar terus memelototi jogedan lengger Asih atau
juga karena juga mereka tak lagi malu dan risih pada anak-anak mereka yang
telah pulang bersama ibunya. Mereka juga ikut bernyanyi senggakan seperti koor
dengan penuh semangat meski dengan begitu suara lengger asih yang merdu mendayu
harus tertimbun. Setiap hentakan bokong lengger Asih ke samping kanan atau ke
samping kiri mengikuti ketukan suara kendang, suara mereka secara bersama-sama
penuh semangat berteriak; domak ting ting joss, domak ting ting joss! Joss!
Bermula berebut tempat jogedan di depan muka lengger Asih berlanjut
menjadi saling sikut dan mendorong. Semua berebut, yang muda tak kalah, yang
tua tak mau keduluan. Tamu undangan kondangan yang sedang menikmati sajian
hajatan sambil menonton, satu persatu mulai pulang benci melihat keributan.
Tiga orang Hansip tak mampu meredam suasana yang terus merambat panas. Lengger
Asih turun panggung diikuti lengger Inah. Saat telapak kaki lengger Asih
menuruni anak tangga, Purwanto segera menjemput, menuntun tangannya bermaksud
mengajaknya ke dalam rumah agar aman dari orang nakal yang iseng. Tapi rupanya ada
yang tak setuju dengan maksud Purwanto.
“Hei. Tahu diri kamu! Anak kemarin sore mau nyalip. Saya dulu, baru kamu
boleh bawa dia.”
Purwanto mendelik, bangsat! pikirnya, dasar tua-tua keparat tak tahu
adat!
Ia terus menyeret lengger Asih dari tengah keributan ke rumah Pak Marjo,
tetangga sebelah Pak Sasmito, sebelum tangan-tangan jahil berebut menggerayangi
tubuh Asih. Mereka menggerumut seperti sekawanan lebah menyerang mangsanya.
Biasanya jika terjadi sedikit keributan, selang beberapa waktu setelah lengger
Asih turun panggung, mereka berusaha untuk tenang, saling mengendalikan diri
agar lengger Asih mau naik panggung lagi atau pertunjukan harus berakhir jika
tak juga kunjung tenang. Tetapi kali ini tidak. Ada saja orang yang berganti
ganti terus membikin dan menyambung keributan. Sepertinya mereka tak mau
suasana ribut dan kacau berakhir. Ada saja yang mereka pertengkarkan.
“Saya yang sawernya gede, masa kamu yang di depannya. Pakai jowal-jawil
lagi! Goblok! Dasar kere!”
“Enak aja, saya yang sawernya gede. Paling kamu cuma
sawer seribu perak.”
“Bangsat kamu. Ngece! Kamu nggak pantas di depan lengger Asih.
Nanti dia ketularan jeleknya. Kamu itu biar duitnya segunung tetap saja jelek!”
Merasa tak bisa mengendalikan suasana, seorang hansip menghadap ke Pak
Sasmito yang juga menjabat Carik di desanya.
“Maaf Pak, mungkin kita harus segera minta bantuan polisi. Mereka terus
berebut untuk mendekati lengger Asih. Tak ada yang mau mengalah.”
“Siapa saja mereka?”
“Maaf Pak, saya kurang paham. Mereka bukan orang dari desa kita. Seingat
saya mereka penayagan lengger Ratmi dari desa sebelah. Mungkin merasa tersaingi
dan tersisih. Ada lebih dari sepuluh orang Pak.”
Keributan masih terus tak mereda. Panggung seluas lima kali lima meter
berantakan. Para penayagan menyelamatkan alat-alat dari kemungkinan
terinjak-injak. Puluhan penonton asing itu menyerobot masuk ke rumah Pak Marjo
tempat Purwanto mengamankan Asih. Tak ada satupun yang mau mengalah untuk
belakangan masuk, tak rela orang lain lebih dulu mendapatkan lengger Asih.
Pintu berdaun dua rumah Pak Marjo yang hanya dibuka satu, jebol dan menjadikan
ruang masuk bertambah lebar. Layaknya sebuah perburuan yang tak ingin mangsanya
lari menjauh untuk lepas begitu saja.
Purwanto menyeret lengger Asih ke ruang tengah. Kaki lengger Asih yang
dibalut kain membikinnya harus susah payah menyeret langkah. Selendang merah
muda yang lepas dari leher dibiarkan terjatuh tanpa sempat dipungut. Segera
pintu dikunci.
Ternyata di ruang tengah Purwanto dan lengger Asih tak mendapatkan
keamanan. Mereka menggedor-gedor pintu sambil berteriak, “Buka! Cepat buka!
Kalau tidak saya dobrak pintunya. Buka cepaaat...!”
Purwanto panik. Asih menggigil, kakinya gemetaran menyangga beban badan
yang ketakutan.
“Mas Pur, kita hadapi saja mereka. Paling mereka hanya ingin ketemu saya. Saya akan hadapi
secara baik-baik.”
“Tidak! Saya sudah tahu maksud mereka. Mereka ingin menghancurkan kamu.
Ingin membikin aib padamu, ingin mengotori citramu. Setelah itu mereka akan
menyebar berita kalau kamu sama juga dengan lengger lainnya yang gampangan dan lenjeh.
Saya tahu tanpa sengaja dari mereka tadi, sewaktu kamu pentas.”
Lewat pintu belakang Purwanto menyeret Asih untuk menghindar dari kejaran
orang-orang yang sudah kerasukan setan. Di rerimbunan kebun pisang yang gelap
Purwanto terus berusaha berlari dengan tangannya yang tak lepas menggenggam
tangan kanan Asih. Purwanto dan Asih sama sekali tak menduga –karena sebelumnya
tak pernah terjadi- orang-orang itu terus memburu. Kaki Asih yang dibebat kain
membuatnya tak bisa berlari. Gelap malam sedikit membantu mereka bersembunyi
untuk beristirahat sejenak.
Seperti memburu maling, orang-orang itu terus memburu sampai terdengar
seseorang berteriak, “Ini dia, ketemu!”
“Maaf, kalian mau apa?” ucap lengger Asih pelan ramah.
“Hahaha! Jangan pura-pura kamu. Sok suci.”
“Maaf, maksud bapak apa?”
“Malam-malam dalam kegelapan berdua di kebun pisang begini, tentu asyik.
Dan saya mau itu. Berasyik mesra dengan kamu. Gantian nggak apa-apa, maklum
teman saya banyak. Antri biar nggak ribut.”
“Maaf, saya tidak bisa......”
“Nggak perlu jual mahal. Kami sudah tahu semua.”
Amarah Purwanto menggelegak. Darahnya mendidih naik ke ubun-ubun.
“Saya pilih mati daripada melayani keinginanmu!” kata lengger Asih
setengah teriak.
* *
*
Pagi hari, di kebun pisang di belakang rumah Pak Marjo sunyi, tak ada
kicau burung prenjak sambil berlompatan atraktif di cabang pohon krinyu dengan
bunga berserabut putih di setiap ujung rantingnya. Tak ada angin yang berani
bertiup. Di setiap tepi daun pisang berleleran embun jatuh membasahi rumput di
bawahnya. Di dekat rumpunan pohon pisang yang lebat, di rerumputan yang
membisu, berceceran darah setengah membeku. Darah yang menetes dari luka tubuh
Purwanto dan Asih yang jasadnya sudah dibawa pulang menjelang subuh. ***
Agustus
2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar