Cerpen.
Jono menjadi nama yang paling sering dibicarakan di
kampungnya dan di kampung sebelah. Berita tentang kasus korupsi penyelewengan
dana milyaran triliyunan Rupiah di tivi kalah ramai. Kampung-kampung lain di
sekitarnya pun segera menyerap dan segera mengekspos berita tentang Jono.
Orang-orang sering dan
biasa memanggilnya Kopral Jono. Entah karena Ia selalu berpotong rambut model
tentara atau karena ada judul film, Kopral Jono. Jono tak mempermasalahkan dan
asik-asik saja.
Ia menjadi bahan pembicaraan yang laris karena ulahnya
memartil jempol Hasim sampai gepeng dan cacat. Bermula ketika mereka sedang
sama-sama gotong royong mendirikan rumah Pak Marga. Ketika tangan kanan Hasim
sedang memegang sebuah balok dan jempolnya tergolek, tiba-tiba saja Jono
memukulkan martil ukuran sedang ke jempol Hasim. Karuan saja Hasim langsung
menjerit kaget dan kesakitan. Jempolnya remuk, darah menetes deras. Hasim
berjingkrakan menahan sakit seperti orang kesurupan. Sebelum akhirnya Hasim
pingsan, Hasim sempat berusaha memukul kepala Jono dengan
martil yang lebih besar. Untung saja orang-orang di sekitarnya berusaha
menahannya. Selamatlah Jono. Semakin penasaranlah Hasim.
Hasim dibawa ke dokter untuk diobati. Masalahnya tidak hanya
berhenti di situ. Hasim dan Jono berlainan kampung tempat tinggalnya. Ketika
orang-orang sekampung Hasim mendengar berita tersebut, serentak mereka
berkumpul dan berbondong-bondong ke kampung Jono dengan memendam dendam membara
di setiap dada. Berbagai senjata tajam mereka bawa; parang, golok, sabit,
pedang, celurit, linggis, gergaji,
batang kayu, dan seluruh benda yang dapat dipakai untuk melukai manusia.
Layaknya prajurit kerajaan yang berangkat perang, mereka berteriak-teriak
membakar semangat sekawanannya.
Orang-orang yang menyerbu ke kampung Jono kebanyakan tak
kenal muka Jono. Mereka hanya tahu ciri-cirinya dari mulut ke mulut. Ketika
mereka melihat orang yang berciri-ciri sama dengan Jono, mereka langsung saja
menyergap dan memukuli beramai-ramai tanpa menanyai terlebih dahulu. Untung
saja Polisi segera datang menyelamatkannya.
Orang yang ketiban sial itu namanya Imam. Mukanya
berdarah-darah, tubuhnya memar-memar dan kedua jempol tangannya remuk. Merasa
dendamnya telah terbalaskan, mereka segera pulang dan bersembunyi dari kejaran
polisi.
Imam meski belum sembuh benar segera menyiapkan acara balas
dendam. Ia kumpulkan teman-teman, tetangganya dan sanak saudaranya. Jono pun
tak luput dari ancaman Imam. Sebab menurut Imam perbuatan Jono-lah yang
membikin Ia babak belur luka parah hanya karena ciri-cirinya mirip dengan Jono.
Imam tak peduli Ia dan Jono masih satu kampung. Baginya Jono juga harus
mengalami seperti yang ia alami.
Mendengar dirinya dianacam, Jono segera mencari perlindungan
dari saudara-saudaranya dan tetangganya. Jono juga mendatangi kepala desa untuk
menjelaskan duduk perkara itu.
“Sungguh Pak, saya nggak sengaja memartil jempol
Hasim. Saya sendiri tak tahu sampai melakukan itu. Waktu itu tiba-tiba saja aku
benci sekali sama jempol. Sebuah organ tubuh yang bikin orang bangga apabila
diacungkan untuknya. Hingga orang kadang berbuat apa saja untuk mendapatkan
acungan jempol. Kebetulan waktu itu jempol Hasim tampak bersih dan kukunya
rapi. Tentu orang akan senang sekali jika diacungi jempolnya.”
Pak Kepala Desa manggut-manggut. Entah mendengarkan, entah maklum, entah
sependapat atau malah tak mengerti apa perkataan Jono.
“Bagus.” kata Pak
Kepala Desa sambil sedikit mengacung jempol.
Jono tercengang dan bangga. Pak Kepala Desa tersenyum simpul.
“Lantas kau mau apa datang kemari?”
“Saya ingin bapak maklum dan memberi pengertian pada pihak
Hasim dan Imam tentang jempolnya yang telah remuk dan cacat. Kemudian, diminta
agar orang-orangnya tidak saling bermusuhan. Untuk sama-sama berdamai,
menghentikan permusuhan. Sebelum korban terus bertambah.”
“Hanya itu?”
“Mungkin”
“Kau akan maklum jika itu menimpa kamu?”
Jono diam sambil memandangi kakinya yang telanjang di atas
ubin.
Permintaan Jono dikabulkan oleh Pak Kepala Desa. Mungkin
karena Jono keponakannya atau karena ia pertimbangan lain tentang jempol.
Pertikaian masih terus berlanjut dan masing-masing pihak tak mau mengalah dan menerima begitu saja
perlakuan dari pihak lawan. Sebenarnya mereka telah lelah dihinggapi rasa
was-was setiap saat. Dibebani rasa untuk selalu berhati-hati di setiap tempat.
Mereka ingin segera mengakhiri pertikaian yang terus menambah jumlah korban.
Tapi, rasa gengsi yang ada di dada menghalangi mereka untuk terlebih dahulu
mengalah dan mengajak damai. Meski
selama ini mereka tampak akur satu sama lain, sebenarnya masing-masing punya
rasa permusuhan. Dan Jono telah menyulut sumbu api permusuhan.
Korban terus bertambah dari waktu ke waktu. Mereka tak lagi
melukai sembarang tubuh si korban, kecuali jika si korban melawan. Mereka hanya
mengincar jempol untuk diamputasi paksa atau diremukan. Rasa patriotisme
kedaerahan tempat tinggal telah ikut membakar amarah mereka. Banyak orang di
kedua kampung itu yang banyak diantara mereka masih punya ikatan darah, telah
tak punya jempol lagi. Banyak yang sama sekali hilang dan banyak pula yang
cedera dan cacat hingga tak pantas untuk diacungkan untuk memuji seseorang.
Kubu Imam dalam menyerang lawan pun tak hanya orang yang ikut
melukai dirinya. Semua orang yang dekat dengan Hasim berupaya membela diri bila
diserang oleh kubu Imam. Kubu Imam juga menyerang Jono dan orang-orangnya
seperti pada Hasim. Ketika perlawanan
dari Hasim bertambah kuat dan solid, Imam mengadakan perdamaian dengan
Jono untuk kemudian menghadapi lawan dari kubu Hasim yang lain kampung. Meski
begitu Imam masih tetap punya rencana
memotong jempol Jono jika kubu Hasim
bisa diatasi. Jono dengan berbagai cara masih berhasil menyelamatkan jempolnya dan itu masih menjadikan
orang-orang marah, karena Jono-lah yang biang dari segala perseteruan yang
mengincar keberadaan jempol. Setiap hari, setiap waktu orang-orang itu selalu
disibukkan dengan masalah: bagaimana cara menghabisi jempol lawan.
Cara mereka mengerjai jempol kemudian berubah, dengan tak
lagi mengamputasinya, tetapi dengan cara hanya membuat si jempol cacat, cedera
dan tak pantas jika diacungkan untuk menunjukkan sesuatu itu bagus. Itu mereka
anggap lebih ringan dan tak sadis.
Jono masih bisa mempertahankan keberadaan jempolnya. Ia
menyadari jika suatu saat nanti pasti ada orang yang mempermasalahkan
keberadaan jempolnya. Jempol-jempol sebagian penduduk desa itu telah buntung dan sebagian yang lain cacat dan jelek. Itu membuat orang
tak bisa memegang benda dengan sempurna.
Permusuhan terus berlanjut dan sulit ditebak kapan
berhentinya. Sebagian orang yang jempolnya masih selamat menyembunyikan jempolnya dengan cara dibalut
kain perban agar seperti luka yang belum sembuh atau berusaha tidak terlihat
oleh orang lain.
Saking lamanya perseteruan dan perburuan jempol itu,
sampai-sampai orang yang jempolnya masih utuh, tak lebih dari sepuluh orang.
Termasuk Kopral Jono pun tak bisa mempertahankan jempolnya. Jempol Jono
dihantam dengan batu sebesar kepala
ketika ia sedang tertidur kecapaian di
pos ronda. Karuan saja Jono marah-marah
dan ngamuk. Semua orang yang berada di pos ronda itu berlagak tak tahu dan tak
memperdulikan Jono. Ketika Jono membabi
buta, orang-orang segera meringkusnya dan diamankan.
Mereka yang jempolnya masih utuh adalah: Kepala Desa, Danton
Hansip, tiga orang Kepala Dusun dan empat tokoh masyarakat. Pak Sekdes pun
jempolnya sedikit cacat karena salah sasaran dan terselamatkan ketika orang
melihat wajahnya dengan jelas. Maklum saat itu malam hari.
Jono tak berhasil mempertahankan jempolnya. Jono bikin ulah
kembali. Untuk berbicara dan meyakinkan orang, Jono memang jagonya. Ia kembali
datang ke Kepala Desa untuk membicarakan masalah perseteruan antar kampung
dan di seluruh wilayah desanya karena saling memburu jempol. Ia minta untuk
dikumpulkan aparat desa dan tokoh masyarakat guna bermusyawarah.
“Maaf, Pak. Sebelum saya minta maaf. Dulu saya berbohong
kalau ketika saya memartil jempol Hasim itu karena sebuah keinginan yang timbul
begitu saja dan tanpa ada maksud apa-apa.
“Saya melihat orang-orang telah begitu tergila-gila untuk mendapatkan acungan
jempol dari seseorang. Apalagi kalau
orang itu orang penting, seorang tokoh, seorang pejabat,. Saya pikir kalau
organ manusia yang telah membuat orang tergila-gila dihilangkan, dimusnahkan,
maka tak ada lagi orang yang berbuat apa saja dan tak peduli orang lain, demi
untuk mendapatkan acungan jempol. Persaingan itu saya lihat sudah tak sehat dan
tak memperdulikan rakyat banyak.”
“Terus?” kata pak Kepala Desa.
“Saya minta Bapak untuk mensosialisasikan hal ini kepada
seluruh penduduk desa ini. Mensosialisasikan bahwa, dengan keadaan jempol kita
yang sekarang, sebagai pertanda acungan jempol, bukan hal yang perlu
dipentingkan. Dan sekarang jempol mereka juga tak pantas untuk diacungkan. Saya
pikir demi untuk keseragaman, juga bukan hanya sekedar itu, demi kebersamaan
rasa dan jiwa, jempol Bapak juga harus dipotong atau dibikin cacat seperti penduduk yang lain. Termasuk pak
Danton Hansip, tiga Kepala Dusun dan tokoh masyarakat itu. Oh ya,
pensosialisasian tentang; bagaimana hidup berdampingan mencari makan tanpa
berseteru, tanpa saling sikut dan sikat untuk mendapatkan acungan jempol. Itu
yang penting!”
“Jadi kamu mengajak musyawarah hanya untuk orang yang
jempolnya masih utuh?”
“Oh tidak. Saya minta aparat desa dan tokoh masyarakat dan
semua penduduk desa kita. Cuma itu sebuah kebetulan kalau mereka jempolnya masih utuh. Kalau
masih ada orang yang masih berjempol tentu orang masih saja berebut mendapat acungan jempol dan itu akan berakibat tidak baik, karana
persaingan kita-kita belum sehat.”
“Jadi kau dulu memang berencana menghabisi jempol karena kau
punya keinginan seperti yang kau katakan tadi?”
Jono merngangguk.
“Dan akibatnya sekarang orang-orang tak lagi bisa memegang
sesuatu dengan sempurna. Kau melihatnya?”
Jono terdiam sebentar.
“Ya Pak.”
“Ajakan musyawarahmu untuk meminta saya dan orang yang masih
punya jempol agar dipotong?”
“Bukan hanya itu….”
“Sudah! Sudah cukup rakyat berkorban waktu, tenaga, harta,
demi untuk saling memburu jempol. Dan itu karena ulah kamu.”
“Tapi Pak, sekarang kan orang masih punya jari kelingking dan
orang tentu tak mau jika diacungi jari kelingking. Mereka pasti akan bersaing
demi untuk tidak mendapatkan acungan jari sialan itu.”
“Oh begitu.”
“Iya Pak!”
“Lalu?”
“Ya harus diantisipasi. Caranya, dipotong atau dibikin cacat
jari kelingking itu. Sama seperti jempol.”
Pak Kepala Desa menghisap asap rokok dalam-dalam sebelum
kemudian menenggelamkannya dalam asbak. Tangannya memberi isyarat pada seorang
pesuruh kantor dan seorang hansip untuk mendekat.
“Potong jari kelingking Jono. Semuanya! Kanan kiri!”
Jono terhentak dan hendak membela diri. Tapi, Pak Hansip yang
berbadan tegar dan kekar telah menyekapnya kuat-kuat. Jono tak berdaya dan
pisau mengkilat putih terhunus di tangan pesuruh kantor. Kres. Kres.
Jono menjerit-jerit. Berjingkrakan kesakitan. Darah menetes
di lantai, terciprat juga ke sepatu Pak Kepala Desa.
“Cukup darahmu yang menetes Jon! Bukan darah rakyatku yang
tak tahu menahu.” ***
Januari
2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar