djayim.com
Selalu ada pro dan kontra terhadap sebuah kepemimpinan.
Selalu ada yang merasa senang dan tidak senang terhadap sebuah ruang dan waktu
dari sebuah rezim. Yang merasa senang dan diuntungkan, akan membawa seabrek
argumen kalau apa yang disenanginya beralasan, dan juga sebaliknya. Perasaan
suka itulah yang bisa dibangkitkan lagi dengan menempatkan pada ruang memori
kerinduan dan romantisme masa lalu. Romantisme ini akan timbul dan menjadi
lebih berasa jika sudah ditinggalkan dan ternyata keadaan yang diharapkan tidak
seperti dalam angan-angan.
Menjelang pilpres 2019 yang akan digelar pada 17 April 2019,
nama Soeharto nampaknya laku “dijual” untuk mendulang suara pada saat pemilu.
Presiden kedua Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun dalam masa yang disebut
orde baru, tumbang di tahun 1998 karena krisis moneter dan ketaksanggupannya
mempertahankan kekuasaan dari para lawan politiknya yang sudah sedemikian gatal
untuk segera mengganti rezimnya. Lahirlah kemudain apa yang disebut orde reformasi.
Kran demokrasi yang selama orde baru mampet, dibuka lebar-lebar dan semua orang
berkoar-koar meneriakan segala ide dan kegundahan. Rakyat Indonesia seperti
merasa sudah sampai pada pintu gerbang sebuah hamparan taman dengan segala
keindahan dan kesejahteraan bagi seluruh penghuninya.
Dua puluh tahun orde baru tumbang dan reformasi yang
diawal-awal begitu bangga disebutkan, tak juga membawa Indonesia pada keindahan
impian ketika lepas dari orde baru, tak ada lagi sebutan orde reformasi atau
reformasi digaung-gaungkan atau diagung-agungkan. Harapan-harapan itu entah
kemana, mengambang seperti tak tergapai. Mereka yang dulu berteriak “reformasi”
sibuk mengurusi dirinya dan kelompoknya masing-masing. KKN yang di jaman orde baru
begitu dimusuhi dan dijadikan alat untuk menyerang rezim masa itu, tetap saja
sekarang ada dan tak jauh beda, hanya bentuk dan caranya yang lain. Bisa juga
malah lebih parah. Mereka yang dulu ‘disandangi’ gelar aktivis, berlari berebut
kursi kekuasaan dan duduk manis dikursi menikmati hidangan lezat di meja di
depannya. Berteriak membela rakyat, hanya sebagai anak tangga untuk menggapai
cita-citanya. Lepaslah ‘gelar’ aktivis, karena mereka hanya berkedok saat
merebut kekuasaan dari pesaingnya agar mendapat simpati dari rakyat yang terbohongi.
Arus informasi yang di masa orde baru mampet karena media
masa hanya sebagai corong pemerintah, sekarang tak jauh beda. Media massa hanya
berkabar tentang pemerintah karena owner-nya sedang punya hajat untuk
memenangkan petahana, tentu dengan tujuan kekuasaan dan hidangan roti yang akan
didapat jika menang. ucapan yang baik dan benar hanya ucapan yang menjunjung
dan mengagungkan petahana, selain itu itu, ada yang bersiap melaporkan dengan
berbagai alasan.
Sebuah kondisi yang berlarut-larut dan tidak membuat nyaman
banyak orang, akan melahirkan keinginan suasana baru atau keinginan untuk
mebangkitkan romantisme lama untuk dihadirkan lagi disesuaikan dengan ruang dan
waktu.
Berpuluh-puluh tahun PDIP selalu menghadirkan roh Soekarno
dengan dibumbui retorika untuk menarik simpati rakyat. Gambar, kata-katanya,
pidatonya dan tulisannya dibawa-bawa kemana-mana agar orang yang merasa satu
ide dan satu nasib tetap bertahan dalam kelompoknya untuk kepentingan kekuasaan.
Bahkan di jaman Soeharto, gambar Soekarno seolah sebagai simbol perlawanan
terhadap penguasa.
Sesuatu yang hilang dan harapan baru yang tidak seperti yang
ada di angan-angan, membawa orang pada suasan masa lalu kemudian
menghadirkannya dalam emosi romantisme; ‘seandainya dulu....”. Bagi keluarga
Soeharto, kerabat, orang dekat, orang yang diuntungkan saat Soeharto berkuasa
dan semua yang merasa ternyata sekarang tak lebih baik dari era Soeharto,
menghadirkan sosok Soeharto dirasa bisa menjadi magnet untuk meraup suara pada
pemilu April 2019 nanti. Jika tak ada aturan yang melarang ‘menghadirkan’
seorang tokoh masa lalu, ini sah-sah saja. Perhitungan untung rugi menjadi
pertimbangan, apakah menghadirkan roh dan karisma Soeharto, akan mendapatkan
suara melimpah atau malah sebaliknya.
Karisma Soekarno telah terbukti membawa Megawati dengan
partai PDIPnya sebagai salah satu partai besar yang sekarang menjadi penguasa.
Ini juga menjadi masa pembuktian apakah karisma Soekarno yang diagung-agungkan oleh
pendukungnya dan dipertahankan ‘terus hidup’ berhasil mengangkat Indonesia dan
menjadikan rakyatnya hidup makmur sejahtera di tanah kepulauan yang gemah ripah
loh jinawi. Jika banyak rakyat yang kecewa, akan ada peralihan suara ke
kelompok yang lain yang salah satunya menawarkan roh dan karisma Soeharto.
Para politikus yang tidak setuju dan memperlihatkan
penolakan, justru memperlihatkan kepanikan, paranoid. Tak perlulah berkoar-koar
kalau masa rezim Soeharto buruk. Rakyat tahu dan bisa memilih dengan tanpa ada
campur tangan ide dan pendapat dari luar kepalanya, apalagi dari luar
kelompoknya. Menunjukkan penolakan yang masif dan terus menerus, akan menjadi
blunder. Tak perlu dijelaskan panjang lebar tentang kejelekan Soeharto dan era
Soeharto, karena rakyat kebanyakan juga sudah tahu. Dan dalam menentukan pilihan,
pasti sudah punya pertimbangan. Sedikit sekali suara rakyat yang terpengruh
oleh pendapat orang lain untuk berganti pilihan, meski banyak politikus yang
berpindah partai dan berganti dukung mendukung.
Jika menjual Soekarno bisa menang dan berkuasa, menjual
Soeharto, kenapa tidak? Jika era sekarang yang partai penguasa selalu mengusung
roh dan karisma Soekarno, rakyat merasa nyaman, damai, sejahtera, adil dan
makmur, maka ‘menjual’ Soeharto dengan berbagai cara apa pun, akan sulit
mengalahkan.
Kita lihat saja.
10 des 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar