djayim.com
Ketika seorang Ratna Sarumpaet, saya baca di sebuah berita,
masuk dalam tim kampanye capres cawapres Prabowo – Sandi, saya kecewa. Sebuah
kekecewaan yang biasa dan sama sekali tak berpengaruh pada konstalasi
perpolitikan di Indonesia. Kekecewaan seorang saya tak ada yang mendengar dan tak
akan ada yang merasa perlu untuk memperdulikan. Inipun sekedar pengin ditulis
dan berungkap rasa. Kekecewaan ini pun bukan karena saya berharap Ratna
Sarumpaet menjadi bagian dari tim Jokowi – Ma’ruf. Kecewa saya hanya keinginan
untuk melihat selalu ada sosok yang berani tetap diluar kelompok politik yang
tetap konsisten kritis pada situasi dan rezim apapun. Dan Ratna Sarumpaet, saya
lihat selama ini konsisten berada di luar penguasa, siapapun penguasa, dan
selalu memberi kritikan dan pandangan sebagai seorang aktivis.
Meskipun ketika Ia baru masuk dalam daftar tim kampanye
Prabowo – Sandi yang bukan penguasa, dengan bergabung dengan salah satu kubu
politik yang sedang bertarung memperebutkan kursi kekuasaan, netralitas sebagai
aktivis akan hilang dan kecenderungan untuk membela kubunya semakin besar yang
menggerus obyektivias dalam berprespektif. Di akhir tahun 90an, ketika Orde
Baru dengan pemimpinnya seorang Soeharto yang bangunan kekuasaannya begitu
kokoh dan kemudian muncul para aktivis-aktivis muda yang dengan berani
melakukan perlawanan, saya begitu kagum ada orang yang berani menentang
hegemoni kekuasaan Orde Baru, memberikan kritikan, melakukan pergerakan dan
perlawanan. Dengan didukung oleh sebagian besar rakyat dan kondisi perekonomian
yang buruk, Soeharto dan jaringan kekuasaannya tumbang.
Banyak yang berharap Indonesia akan menjadi lebih baik
dengan berlandaskan demokrasi yang diagung-agungkan dan lahirlah sebuah orde
yang disebut sebagai orde reformasi menggantikan orde baru yang sepertinya
telah membosankan bagi sebagian kalangan yang tak ikut menikmati kue kekuasaan.
Sistem kekuasaan yang dipakai orde baru dirubah dan diedit sana-sini. Dan para
aktivis muda dari kalangan mahasiswa, tampak mulai merapat pada kubu-kubu
partai politik dan ikut aktif berebut kursi kekuasaan. Dan bagi saya, saat
mereka mulai masuk politik, label aktivisnya mulai hilang dan laun berubah muncul
sebutan menjadi seorang pemberontak yang berebut kursi kekuasaan. Saat di awal,
sepertinya mereka membela rakyat, tapinya nyatanya mereka sedang manaiki satu
persatu tangga kekuasaan. Mereka sedang ingin mengganti kekuasaan yang dikuasai
orang lain agar bisa dikuasai olehnya.
Dan Ratna Sarumpaet adalah salah satu aktivis yang konsisten
di luar kekuasaan, seperti tak tertarik untuk ikut berebut kursi empuk
kekuasaan, sampai kemudian bergabung dengan tim pemenangan capres cawapres
Prabowo – Sandi. Begitu Ia bergabung, cap aktivisnya mulai luntur.
Dan, yang lebih menyedihkan lagi, Ratna Sarumpaet membuat
hoax tentang pengakuannya dipukuli orang tak dikenal di sekitar bandara Husein
Sastranegara Bandung pada tanggal 21 September 2018. Walau kemudian Ia mengakui
kesalahannya dan meminta maaf, kelakuannya ini menjadi hal terasa lebih
menjijikan karena Ia bergabung menjadi tim kampanye, sebuah tim untuk berebut
kekuasaan. Beredar kabar juga, Ia menggunakan rekening yang pernah digunakan
untuk menampung bantuan bencana tenggelamnya kapal di danau Toba sebagai biaya
operasi plastiknya, saat bersamaan ketika Ia mengaku jadi korban pemukulan. Jika
pun uang yang tersimpan dalam rekening untuk biaya operasi plastiknya uang
pribadi, kecurigaan publik langsung pada tuduhan yang tidak baik; ‘ia
menggunakan dana bantuan untuk keperluan pribadi yang tidak perlu’.
Ranah politik telah membawa pada suasana saling menyerang
dan saling mencari peluang untuk menjungkalkan lawan dan berebut simpati
rakyat. ‘Kawasan politik telah meleburkan seorang yang disebut aktivis menjadi
pencari kursi kekuasaan’. Dengan sendirinya, label aktivis yang tertera pada
seorang aktivis, akan hilang ketika ia memilih untuk mencari jalan agar bisa
duduk di kursi kekuasaan. Apalagi ketika sudah duduk dikursi legislatif atau
kursi eksekutif dari sebuah partai, ia membela semua keputusan rekan partainya
dengan berbagai alasan dengan tujuan kursinya dan kursi rekan-rekannya tetap
lama bisa dinikmati.
Aktivis sejati tak pernah mau masuk pada lingkaran kekuasaan
dan akan tetap mengkritisi setiap rezim yang dianggapnya tidak berpihak pada
rakyat yang baik dan perlu dibela.
Aktivis yang kemudian dalam perjalanannya bergabung pada
kubu politik adalah politikus yang dari awal menyamar untuk ikut berebut kursi
kekuasaan. Aktivis sejati, jika pun Ia dipilih jadi pejabat oleh pemenang
perebutan kekuasaan, Ia takkan pernah takut kursi kekuasaan hilang jika harus
berkeputusan membela rakyat, membela bangsa dan negara.
Adakah akitivis sejati itu?
5 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar