Cerpen.
Oleh: soleh djayim
Tak ada
sedikit pun tempat yang aman baginya untuk menyembunyikan badannya dari segala
ancaman yang selalu mengintai. Makanya Ia tak lagi merasa perlu berusaha untuk
sembunyi. Menghadapi segala ancaman adalah satu-satunya keputusan. Ia selalu
mecipta cita rasa seni di setiap bahaya yang siap menelannya.
Satu
pertanyaan yang selalu menggantung di benaknya; aku harus bagaimana? Sedangkan
jawaban begitu banyak tersedia yang selalu diikuti resiko. Ia tak pernah mengerti
kenapa perjalanan hidupnya datang di tempat yang selalu ada ancaman. Ia merasa
tak punya hak untuk menguasai ‘hidup’, tetapi Ia merasa tak menjalankan
kewajiban jika pasrah dan menyerah kalah dari setiap ancaman yang bisa
membuatnya mati. Bertahan hidup dan menjalaninya adalah ibadah dan ujud rasa
tanggungjawab.
“Kau
akan kalah, menderita dan tak akan merasakan nikmatnya perjuangan hidup. Kau
akan meratapinya dan menyesal. Aku akan menyaksikan itu. Kau akan menyesal
tidak seperti aku!”
“Tidak!
Aku tak akan pernah hidup yang hanya sekali menjadi orang selemah kamu. Silau!”
“Ingat
dan dengar Galaid, kau akan meratapi setiap langkah yang kau tinggalkan tanpa
berbuat seperti aku.”
“Hidup dalam pengabdian busuk semacam kamu
adalah telah menjadi bangkai busuk sebelum mati!”
* * *
Hanya
ingin sekedar tahu awalnya, tak lebih dari itu, apalagi untuk mengambil
keuntungan besar. Ia selalu punya rasa ingin mengetahui sesuatu yang
disembunyikan. Semakin rapat sesuatu itu disembunyikan Ia akan makin tinggi
rasa ingi tahunya. Jadilah Ia pengoleksi berita-berita besar. Semua berita;
skandal perselingkuhan pejabat, korupsi, pemalsuan data, mark up proyek,
perseteruan tak sehat para konglomerat, persetujuan gelap para kontraktor dan
pejabat.
Semua berita itu Ia dapat dari koran dan
majalah atau tabloit yang Ia jajakan setiap pagi dan sore dan juga berbagai
sumber yang tak banyak orang tahu. Meski kadang hanya sekilas Ia akan
mengulanginya dan lebih mencermati jika ada sedikit waktu luang. Lebih sering
Ia hanya sebatas sekilas baca.
Naluri memahami berita besar yang disembunyikan
para pelakunya semakin terasah tanpa disadari. Bahkan Galaid hanya cukup
memandang sorot mata dari sang pelaku atau orang yang bersangkut paut. Ia
sanggup membaca apa yang akan dan telah dilakukan orang-orang kotor berbaju
rapi dan berpenampilan klimis. Orang-orang yang sering Ia lihat di lampu merah
tempat Ia menjajakan koran.
Jika saja Ia seorang pengamat ekonomi atau
politik, pasti Ia laris manis diwawancarai di semua industri berita. Ia pasti
kerepotan melayani permintaan tulisan dari ribuan penerbit surat kabar. Sayang,
Galaid tak pandai merangkai kata untuk dijadikan tulisan atau merangkai ucapan
mengungkapkan semua yang diketahuinya. Ia hanya sekedar bisa bicara seperti
bicaranya orang-orang di terminal menunggu bis datang atau di pos ronda mengisi
waktu membuang kantuk mengomentari peristiwa politik dan ekonomi.
Melompat-lompat, hinggap sana sini mengikuti arus kata yang meluncur tanpa
pagar.
Keunggulan Galaid pada pengungkapan yang sering
mengejutkan pendengarnya. Pengungkapan yang tidak hanya sekedar menuturkan dari
mulut ke mulut atau mengadopsi pendapat orang lain. Tak jarang komentar Galaid
terabaikan karena dianggap sok tahu dan apriori. Apalagi tak ada tampang yang
meyakinkan untuk meyakinkan kata-katanya. Seorang penjual koran paling hanya
menuturkan apa yang dibacanya di koran sebelum dijajakan. Dan Galaid merasa tak
perlu orang lain yakin kalau itu pendapat dan praduga yang orisinil dari
dirinya.
* * *
Hidup Galaid terancam. Meski Ia yakin kematian
tak bisa ditolak kedatangannya di manapun, Ia merasa bertanggung jawab terhadap
perekonomian keluarganya untuk membantu kedua orang tuanya yang kuli pabrik
yang kerepotan membiayai sekolah ketiga adiknya. Ia selalu melawan jika ada
orang yang mengancam keselamatannya. Ia pernah pasrah dan menuruti segala apa
yang diinginkan dari orang yang menyeretnya ke dalam mobil dan membawanya ke
tempat yang asing baginya.
“Berapapun uang yang kau minta akan kami
berikan asalkan kamu bisa menutup mulutmu,” tawar salah seorang berkaca mata
hitam dari tiga orang kekar yang menculiknya.
“Maaf, saya memang orang susah. Tapi kami
pantang memakai uang yang tak jelas asal-usulnya.”
“Asalnya dari kami!”
“Maaf, tak diberi uang pun saya akan diam
seperti yang kalian kehendaki. Kalau saya terus diam bagaimana saya menjajakan
koran Oom?”
“Goblok!! Bukan diam asal diam! Kau tutup
mulut, diam tak berbicara segala sesuatu yang berhubungan politik, jabatan,
ekonomi, semuanya!”
“Saya tak tahu apa-apa tentang semua itu Oom.
Yang saya tahu, bagaimana saya harus menjual koran sampai habis.”
“Oke, sekarang semua koran kamu saya beli
semuanya. Semuanya setiap hari. Asal kamu tutup mulut.”
“Memang saya sering berkata apa Oom? Yang Oom
tak suka! Dan untuk apa Oom memborong semua koran saya? Apa itu cara Oom
menutup mulut saya? Maaf Oom kalau untuk itu.”
“Atau kau memilih mati!?”
“Bunuhlah saya Oom. Maka apa yang Oom takutkan
akan tersebar luas, cepat secepat sinar matahari pagi. Banyak, bahkan lebih
banyak dari yang Oom duga."
Kata-kata itulah yang selalu menyelamatkan
jiwanya. Beratus kali dan selalu berganti orang, Ia diseret ke dalam mobil
dibawa ke tempat asing di paksa untuk tutup mulut. Galaid sendiri tak mengerti
apa yang harus ia tak bicara. Ia merasa hanya berkata-kata menjajakan koran dan
tak ada yang lain jika di jalan atau terminal. “Apa aku sering berkata-kata
yang aku tak menyadarinya?” pikir Galaid. Maka Galaid berkeputusan menutup
mulutnya dengan lakban saat berjualan koran.
Cara itu tak juga membuatnya selamat dari orang-orang
yang menyeretnya ke dalam mobil membawanya pergi dan membuang waktu kesempatan
berjualan koran.
“Aku tak suka tangan kamu nunjuk-nunjuk muka ke
Bos-ku jika beliau lewat.”
Galaid diam. Ia merasa tak pernah nunjuk muka
sekali pun pada seseorang. Dan menjawabnya adalah mustahil akan dipercaya. “Apa
saya harus menjajakan koran dengan tangan terikat Oom?”
Galaid pun menjual koran dengan mengikat kedua
tangannya. Korannya Ia letakan diatas meja di pinggir terminal. Dengan cara itu
pun tak membuat korannya tak terjual. Semua langganannya telah hafal dan tahu
apa yang sedang dihadapi Galaid. Ia berharap tak ada lagi orang yang
menyeretnya ke dalam mobil dan membawanya pergi jauh.
Dengan begitu pun Galaid masih terus diseret
paksa.
“Saya tak suka mata kamu memandang. Membikin
ganjalan di hati Bos-Bos kami. Dan kau tahu, semua mata yang memandang matamu,
semua bisa membaca semua yang kau baca lewat sorot matamu. Layaknya membaca
berita di lembaran-lembaran koran. Kau telanjangi Bos-Bos kami dengan sorot matamu!”
“Saya tak pernah punya niat untuk memberi tahu
mereka. Saya juga tak pernah mengajari mereka untuk bisa membaca sorot mata
saya. Saya malah baru tahu sekarang. Sungguh!”
“Alaaah… Banyak alasan kamu! Ikut aku. Cepat.”
Sebelum Galaid sempat berontak ketiga orang
berbadan tegap itu menyeret tubuh Galaid yang mungil dibungkus kaos oblong
bertuliskan kata-kata plesetan ala Jogja.
Galaid dimasukan ke sebuah bis dengan fasilitas
lengkap dan mewah. Belum pernah Galaid melihat Bis semewah ini. Semua serba ada,
serba mengkilap, luas, serba otomatis dan penuh dengan pelayan yang selalu
bertindak hormat. Sebuah istana mini yang berjalan di antara jejalan mobil dan
motor yang berebut lewat.
Di dinding bis berderet orang-orang berdasi
duduk di kursi putar yang empuk menghadapi meja penuh dengan sajian makanan dan
aneka buah-buah segar.
Galaid diam tegap meredam getar yang begitu
mengguncang hati. Seorang berdasi berpakaian jas rapi menjulurkan lidahnya
mencipratkan ludah warna merah darah. Galaid mengusap mata tak percaya. Sekejap
mata dibuka, semua orang di depannya menjulurkan lidahnya yang terbelah dua, memperlihatkan taring dengan
lubang bisa di ujungnya. Semua bersorot mata tajam, setajam ujung jarum. Galaid
tak mampu menatapnya. Ia menutup matanya dengan dua telapak tangannya
rapat-rapat. Badannya menggigil menahan ngeri.
Ketika telapak tangannya dibuka untuk
meyakinkan penglihatannya, Galaid lebih kaget lagi; tak ada lagi orang-orang
dengan mata tajam menjulurkan lidah-lidah yang terbelah dengan ujung-ujungnya
yang lancip seperti lidah ular.
Di dalam
bis, di depan Galaid telah penuh dengan ular yang siap terbang menerjang
Galaid. Galaid terbelalak. Tak mau kehilangan kesempatan keburu mata Galaid
mengerejap, seratus ular terbang mematuk bola mata Galaid. Galaid terdorong ke
belakang bersama kursi yang Ia duduki. Darah mengucur dari matanya. Tapi Galaid
tak sampai mati. Ular-ular itu segera menolongnya dan merawat lukanya. Karena
Galaid tak boleh mati, karena jika Ia mati, seluruh alam akan mengabarkan siapa
yang membunuhnya. Dan seluruh tempat yang pernah disinggahi Galaid akan muncul
tulisan semua yang Galaid tahu. ****
Juni
2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar