“Mas, pernah nggak
kamu membaca komentar-komentar dari foto, video, artikel, berita atau apa saja
yang di-upload di internet.”
“Sekali-kali pernah juga membacanya. Tapi kalau komentarnya
sampai banyak sekali dari sebuah uplod-an,
ya nggak semua dibaca. Memang kenapa?”
“Komentarnya pada
sesuka hati. Seperti tidak tahu perasaan orang lain. Yang lebih mengerikan
lagi, pada saling serang dan melecehkan, dan merendahkan. Apalagi kalau masalah
politik atau beda kepercayaan dalam agama.”
“Ya, itu karena
mereka yang terlibat pada merasa paling benar dan merasa taka ada kebenaran
lain.”
“Terus saling
menantang, saling mengancam, saling merasa paling berani, saling merasa tak ada
yang boleh lebih dari ‘saya’, saling ini, saling itu..”
“Kamu ikut
berkomentar?”
“Pernah hampir ikut
koment. Baru saya tulis tapi urung saya post-kan, karena takut ikut terlibat
emosi dan terbawa arus.”
“Kamu bisa netral
nggak kalau baca begituan?”
“Selalu berusaha
netral dan obyektif. Tapi, kadang terbawa emosi juga. Intinya, belum bisa
seratus persen netral.”
“Itu karena kamu
masih ikut terbawa kecenderungan untuk berpihak pada pendapat yang sama dengan
kamu.”
“Sangat susah untuk tak
berkecenderungan. Apalagi jika pendapat mirip dengan pendapat saya diserang dan
dilecehkan. Rasanya gatal sekali untuk ikut membela dan menyerang.”
“Wajar saja, karena berkeinginan membaca juga lahir karena
pengin tahu pendapat orang lain, apakah sama, apakah bertentangan atau apakah
pendapat yang sama sekali di luar dugaan dan jauh dari pikiran.”
“Betul. Saya sering kaget juga, kadang ada pendapat yang
di luar dugaan. Seperti lahir dari pikiran dunia lain yang tak terjamah.”
“Itu salah satu keasyikan berdiskusi, juga membaca. Kadang
ada pemikiran semacam pencerahan dari tempat yang kita tidak duga-duga.”
“Bisa nggak yah untuk bersikap netral dan tak terbawa
arus.”
“Bisa. Jika kamu dari awal tak punya pendapat apa-apa
tentang sesuatu yang jadi bahan perbincangan. Tapi, apa mungkin? Jika kamu
datang dengan tanpa pendapat pun, akan muncul juga kecenderungan untuk membela
salah satu pendapat yang seide dengan pemikiranmu. Kan tidak mungkin kita tak
punya pemikiran dari sebuah masalah yang diperdebatkan.”
“Berarti tetap saja kita terlibat dalam dukung
mendukung?”
“Saya kira begitu. Cuma ada yang membedakan antara yang
mendukung aktif dengan mendukung tidak
aktif.”
“Kalau bersikap obyektif, bisa nggak yah?”
“Obyektif atau tidak obyektif itu, tergantung pada si
penilai. Jika si penilai punya pendapat yang cenderung sama, maka bisa saja ia
tak bisa lepas dari membela pendapat orang lain yang sama dengan pendapatnya
dan sebaliknya. Bisa saja kita sudah merasa obyektif, tapi bagi orang lain yang
tak sependapat dianggap tidak obyektif.
Obyektif menurut keilmuan? Ilmunya siapa? Ilmu yang diyakini
siapa? Bahkan bisa saja menjadi sangat obyektif jika subyektifitas terhadap
sesutau karena berdasarkan keyakinan dengan landasan ilmu yang diyakini benar
oleh si subyek.”
“Jadi bingung...”
“Yang penting jangan menambah komentar yang bikin panas dan
berpotensi memunculkan komentar baru yang membuat lahir kembali perdebatan
saling menyerang yang tidak sehat dan mengarah tidak bermutu dan tidak perlu.”
“Kadang komentar dan perdebatan saling mencaci berkembang
jauh sekali dari topik awal.”
“Karena dilandasi dari ingin menyerang lawan dan ingin
membuat lawan debat mengakui kesalahan, -satu hal yang tak mungkin- , itulah,
maka nafsu ingin terus menyerang tak pernah padam.”
“Bikin capai dan tak perlu sebenarnya ya..?
“Betul!”
01082018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar