“Hebat
ya pak, orang yang punya gedung sebesar itu. Berapa ratus milyar biaya untuk
membangunnya?”
“Ya hebat memang. Biaya bikinnya mungkin triliyunan
Rupiah.”
“Darimana
uang sebanyak itu ya Pak?”
“Ya, dari Bank. Bank Indonesia. Kalau bukan dari
Bank Indonesia, berarti uang palsu.”
“Maksud
saya, dari mana didapatnya? Dari jual apa, dari usaha apa, bagaimana caranya.”
“Dari Bank!”
“Maksudnya
gimana pak? Kalau dari Bank saya tahu.”
“Pinjam di Bank.”
”Boleh
sih pak?”
“Bolehlah. Memang kenapa? Bank juga perlu orang yang
pinjam uang. Kalau nggak ada yang pinjam, gimana coba bank bisa bertahan?”
”Bertahan
gimana pak. Kayak pertandingan sepakbola aja ada bertahan.”
“Bertahan untuk mengembangkan usahanya. Kan dari
orang yang pinjam dan ngasih bunga, bank bisa membiayai operasional dan
mengembangkan usahanya.”
“Oh..
iya yah..”
“Ya iya lah.”
“Berapa
ratus juta tiap bulannya untuk biaya listrik dan perawatan gedung sebesar itu
ya pak?”
“Kalau mau tahu, tanya pengelolanya.”
“Berarti
ke yang punya?”
“Yang punya belum tentu tahu. Mungkin yang punya
lagi jalan-jalan di luar negeri. Yang punya kan tinggal mbayar orang untuk
mengurusnya.”
“Oh,
gitu ya pak?”
“Iya.”
“Terus
si pengelola dari mana lagi uang untuk biaya semuanya.”
“Dari mereka yang datang ke gedung itu dan yang
berkaitan dengan yang ada di situ. Dari yang belanja. Berarti dari kita yang
merasa diberi fasilitas. Kita yang bekerja keras banting tulang siang malam
untuk cari uang, mereka yang hanya duduk-duduk manis di ruang kerja yang ber-ac
dan wangi, menikmati hasil hanya dengan mengajak kita-kita kaum konsumer untuk
belanja. Dari kita yang terbuai oleh iklan-iklan yang menarik.”
“Iya
juga ya pak. Dari belanja kita pak.”
“Iya, semua dari perputaran uang. Perputaran uang
itu, intinya; belanja. Belanja barang dan jasa. Di gedung-gedung itu, semua
mengajak kita-kita kaum konsumer untuk belanja. Bahkan belanja yang kita tidak
perlu-perlu amat, karena ajakan iklan, kita membelinya.”
“Dari
kita yang belanja ya pak.”
“He eh..!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar