Menyalahkan itu gampang dan mudah. Apalagi jika
menyalahkannya tidak perlu argumen untuk perdebatan lebih jauh. Timbul rasa
ingin menyalahkan pendapat orang lain, karena tidak sesuai dengan apa yang
diyakininya. Sebuah keyakinan didasari oleh argumen dan alasan. Argumen dan
alasan itu bisa sampai jauh berakar-akar ke bawah dengan segala alat
pendukungnya yang semuanya diyakini benar dan berkaitan. Benar yang diyakini,
karena argumen atau alasan lain tidak dianggap benar dan tidak sesuai.
Benarnya sebuah keyakinan, belum tentu dibenarkan oleh
individu lain atau kelompok lain. Benar sebuah keyakinan berbeda sekali dengan
benar yang telah ditetapkan dalam aturan-aturan tertentu yang telah disepakati
bersama atau aturan yang harus, mau tidak mau, ditaati. Juga sangat berbeda
dengan benar secara matematis. Dua kali dua itu empat, jika tidak empat salah,
titik. Dan benar macam ini tidak dibantah. Atau bisa saja ini disebut betul.
Bahkan kebenaran sebuah rasa atau yang berkaitan dengan panca indera, masih
bisa ada perbedaan meskipun masih dalam satu lingkaran besar rasa yang sama.
Rasa pedas bisa berbeda-beda bagi setiap orang. Rasa sakit juga berbeda-beda.
Sebuah lombok, bagi seseorang bisa terasa sangat pedas, tapi bagi orang lain
hanya pedas biasa-biasa saja. Tentang rasa, tidak akan terjadi sebuah
kesepakatan atau titik temu jika diperdebatkan. Dan itu memang semestinya tidak
diperdebatkan.
‘Rasa’ kebenaran yang diaykini itu menjadi terasa hampa dan
biasa-biasa saja jika benar yang diyakini tidak ada argumen dan alasan yang
kuat kenapa memilih ‘kebenaran’ yang dipilihnya. Juga akan kurang mantap jika
ternyata ada kebenaran yang diyakini orang lain yang berbeda dengan
keyakinannya, mempunyai argumen dan alasan yang kuat. Argumen dan alasan itu
bukan hanya sekedar untuk memberi rasa mantap pada diri sendiri, tetapi juga
untuk membentengi diri jika ada yang mendebatnya dan untuk bisa mempengaruhi
individu lain untuk ikut bersama dalam lingkaran ‘kebenaran’ yang diyakininya.
Merasa benar itu jika tidak terkontrol, bisa menjadi gampang
menyalahkan pihak lain yang tidak sepakat dengan keyakinannya. Menyalahkan
pihak lain tentu ada argumen dan alasan, karena setiap keputusan atau pilihan
ada alasan, meskipun kadang minim. Berkeputusan memilih keyakinan yang dianggap
benar dengan segala argumen dan alasan, karena menganggap keyakinan lain tidak
benar, juga dengan argumen dan alasan. Jika tidak ada pilihan, karena tak ada
alternatif lain, maka tak perlu ada argumen dan alasan. Pada kondisi ini, tidak
akan terjadi perdebatan dan saling menyalhkan.
Menyalahkan kebenaran yang diyakini pihak lain akan menjadi
sebuah perdebatan adu argumen jika dipertemukan. Masing-masing pihak akan tidak
akan begitu saja menerima penyalahan dari pihak lain. Sebuah kepercayaan diri
akan muncul dalam mengungkapkan kebenaran yang diyakininya. Lebih jauh, membuat
pihak lain yang berbeda keyakinan kebenarannya, berubah arah dan ikut
pilihannya.
Saling menyalahkan, jarang terjadi titik temu karena ego
masing-masing pihak. Kalah atau mengalah karena kurang kuatnya argumen, akan
ditutupi dengan berbagai cara. Kebenaran yang diyakininya akan dibela dengan
mencari argumen-argumen lain yang kadang dipaksakan atau bisa jadi malah
kontrproduktif.
Timbulnya menyalahkan, karena menganggap kebenaran yang
diyakini pihak lain bisa berbahaya dan merugikan bagi kelompoknya, bagi wilayah
tempat tinggalnya dan bagi kelangsungan hidup secara keseluruhan, tentu menurut
dirinya atau kelompoknya.
Apakah dunia akan damai jika tidak saling menyalahkan? Bisa
saja. Tapi, apakah begitu banyak keyakinan bisa berjalan bersama-sama tanpa ada
benturan kepentingan dari masing-masing kelompok yang berbeda-beda cara? Sebuah
pertanyaan utopis.
00:48. 070218
Tidak ada komentar:
Posting Komentar