Indonesia Lawyer Club ( ILC ) masih menjadi tontonan favorit
bagi saya di tengah masih bertahannya sinetron yang begitu-begitu saja dan
acara-acara yang sengaja memperpanjang waktu dengan cara mengaduk-aduk empati
dan simpati yang meluruhkan hati dan melelehkan air mata. Host, Karni Ilyas,
yang seperti sangat hati-hati dalam menyampaikan kata-kata dan mengawal arah
pembicaraan agar tetap dalam koridor bahasan, sangat mumpuni dalam mengolah
suasana dan menaik-turunkan emosi para penonton dan para peserta diskusi, meski
kadang membuat tak sabar mendengarnya karena ucapannya yang agak terbata-bata. Kehadiran
Prof. Mahfud MD, menjadi daya tarik tersendiri bagi saya dan saya selalu menunggu pendapatnya yang
cerdas dan mengejutkan
Pilihan tema dan narasumber menjadi kunci kesuksesan acara. Sepanjang
yang saya lihat, hampir semua narasumber menarik untuk diikuti pembicaraannya,
meski kadang ada juga narasuber yang kurang menguasai data, over pede dan kebingungan ketika di serang balik pada
beberapa episode.
Ketika ILC bertema RUU LGBT: dipidana atau dilegalkan,
tiba-tiba saya berandai-andai; video pembicaraan setiap nara sumber di
potong-potong dan di edarkan secara
terpisah, dan tidak hanya pada satu atau dua acara ILC saja yang pernah tayang .
‘Seandainya’ yang muncul pada pemikiran saya ketika dalam hampir setiap
narasumber menyampaikan pendapatnya dengan meyakinkan dan penuh percaya diri. Keyakinan
akan data dan pendapat yang disampaikan seolah tak ada yang bisa menyalahkan dan
mengalahkan argumen lain yang menangkalnya.
Akan sangat menyesatkan jika yang dipotong videonya dan
diedarkan secara tersendiri itu video yang tidak sesuai dengan keyakinan dan
kebenaran menurut norma agama dan norma susila yang ada di negara kita. Karena
narasumber yang membela LGBT dilegalkan, seperti begitu yakin dengan kebenaran
( menurut mereka ) yang disampaikan. Mereka tak merasa ‘sakit’ dan tak perlu
disembuhkan. Mereka merasa harus di bela hak azasinya dan harus diakui secara
hukum perilakunya sehingga tidak harus takut jika melakukan aktivitas LGBT-nya.
Merasa tak mengganggu orang lain, maka mengapa keberadaanya harus dipersalahkan,
begitu mereka bertanya.
Hak untuk hidup normal bagi pengidap penyakit LGBT tentu
seratus persen tidak dipermasalahkan, karena mereka juga manusia yang punya hak
hidup sepenuhnya. Tetapi perilaku menyimpang adalah perilaku yang harus
disembuhkan dan tidak dibiarkan berkembang begitu saja. Jika tidak dibatasi
dengan Undang-Undang, maka akan sangat terbuka lebar pengembangan penyakit
LGBT. Ini hal yang harus menjadi sebuah perhatian besar agar penyakit tersebut tidak menjadi terus berkembang dan lebih parah lagi menjadi sebuah tren.
Ketua MPR, Zulkifli Hasan, menjadi pemicu perhatian publik
dengan pernyataannya, “ada lima partai yang setuju LGBT”, membuka perhatian
publik dan menjadi tersadar untuk ikut mengawal proses pembuatan Undang-Undang
yang menyangkut LGBT. Media yang memblow-up berita tersebut dengan berbagai
judul untuk mencuri perhatian pembaca, sangat produktif untuk menggugah publik
yang kadang terlelap dan merasa sudah terwakili oleh DPR. Kadang pernyataan
yang kontroversial menyadarkan kita tentang apa yang seperti terlewat begitu
saja.
Kita tidak sedang tidak menerima keberadaan ‘person’
pengidap LGBT, tapi kita perlu menyembuhkan mereka dan menangkal penyakitnya
agar tidak menular dan menyebar menjadi besar dan tak terkendali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar