Setiap
kali musik kaleng yang di pukul tak beraturan berbunyi, perempuan itu selalu
berharap anak satu-satunya pulang dengan kereta yang datang. Jika siang hari
selalu ia menyempatkan untuk datang ke stasiun untuk memperhatikan setiap
penumpang yang turun dari kereta dengan harapan anaknya ada di antara mereka.
Dan bila malam hari dan telah larut malam, ia akan bangun dari tidur, menunggu
kira-kira anaknya sampai ke rumah seperti biasa kalau pulang. Jika hari masih
petang ia pasti datang ke stasiun sampai udara terasa amat dingin menyiksa.
Musik
kaleng itu berasal dari para pedagang asongan yang memukul kaleng-kaleng bekas
menjelang kereta datang. Mereka sangat hafal jam-jam kereta tiba. Entah untuk
maksud apa mereka memukul-mukul kaleng bekas. Kapan pertama hal itu di lakukan
pun tak ada yang tahu.
Mungkin
musik kaleng itu untuk membangunkan para pedagang asongan yang tertidur. Jika
iya, bukankah saingan antar pedagang jadi bertambah. Atau, mungkin tadinya
mereka kecewa dan jenuh menunggu kereta yang datang telat lama dari jadwal.
Atau juga sebuah ekspresi kegembiraan menyambut calon pembeli yang mereka
tunggu-tunggu. Yang jelas musik kaleng itu selalu terdengar menjelang
kedatangan kereta. Sesekali tercipta lagu-lagu balada yang kreatif, kritik
sana-sini. Dalam musik itu tampak jelas
keceriaan kaum pinggiran.
Dan musik
kaleng bekas itu
selalu menggugah hati seorang ibu yang selalu menanti anaknya. Seorang
Ibu biasa di panggil Bu Tiwi atau Mbok Tiwi. Nama lengkapnya Pertiwi. Ayahnya
seorang pejuang yang gagah berani di masa perjuangan mencapai kemerdekaan
Indonesia, dan saat mempertahankan kemerdekaan.
Sejak
tiga tahun yang lalu Bu Tiwi tinggal bersama dengan adiknya. Ia dengan sangat
terpaksa harus hidup menumpang karena ia tak sanggup membiayai hidupnya dengan
sekedar kerja ringan pun untuk mencari sesuap nasi untuk dirinya.
Suaminya
seorang masinis yang mati mendadak akibat sakit yang belum sempat terdeteksi
oleh dokter. Anak pertamanya, perempuan, mati terserempet kereta ketika sedang
asik bermain-main di pinggir rel dengan teman-temannya. Umurnya baru lima
tahun, ia cantik dan pintar. Sayang, Tuhan menghendaki lain. Sejak kematian
anak pertama Bu Tiwi, suaminya sering sakit-sakitan. Mungkin karena kehilangan anak
perempuannya, sampai kemudian mati. Sejak itu Bu Tiwi harus berjuang keras
membesarkan anak keduanya yang masih berumur satu tahun dan seorang
anak laki-laki yang kemudian sangat di harapkan untuk dapat menafkahi hidupnya
di hari tuanya.
Atas dasar rasa cinta pada suaminya, ia berjanji tak menikah lagi meski ketika ia di tinggal suaminya, sebagai wanita, masih cukup menarik hati laki-laki. Dengan usaha dan kerja kerasnya, ia berhasil menyekolahkan anak kesayangannya tamat SMA. Suatu kebanggaan tersendiri bagi Bu Tiwi, juga sebagai bukti baktinya pada suami tercinta.
Atas dasar rasa cinta pada suaminya, ia berjanji tak menikah lagi meski ketika ia di tinggal suaminya, sebagai wanita, masih cukup menarik hati laki-laki. Dengan usaha dan kerja kerasnya, ia berhasil menyekolahkan anak kesayangannya tamat SMA. Suatu kebanggaan tersendiri bagi Bu Tiwi, juga sebagai bukti baktinya pada suami tercinta.
***
Di saat
sendiri, Bu Tiwi sering menyesali diri kenapa ia dulu mengijinkan anak
satu-satunya, Yusuf, pergi ke kota. Rasa sayang pada anaknya tak sanggup
menolak terus menerus permintaannya.
“Percayalah
Bu, nanti kalau Yusuf berhasil di kota, Ibu akan saya jemput dan kita akan
tinggal di kota. Kita tinggalkan tempat yang telah memberi kita kesengsaraan
ini. Do’a kan Yusuf, Bu.”
Itu
suara Yusuf yang terngiang ketika Bu Tiwi luluh oleh rengekan Yusuf. Setiap
saat Bu Tiwi selalu berdoa untuk keselamatan anaknya. Untuk kemudian berbagai
harapan dan kekhawatiran berbaur di ruang benaknya.
Banyak
orang bilang jika doa seorang Ibu adalah doa yang mujarab, dan Bu Tiwi cukup
meyakini itu untuk lebih memantapkan dirinya dalam berdoa. Doa yang tercipta
dari gumpalan-gumpalan harapan yang terucap menjadi sebuah syair. Ia terus
berdoa, berharap dan bermimpi.
Di
menjelang tidur ia selalu mengucapkan syair untuk anak tercintanya; Angin yang
menyatu satu antara nafasku dan nafas anakku. Ucapkanlah suara batinku pada
hati sanubari anakku agar dia tahu harapan ibunya. Seorang Ibu yang telah
melahirkanmu ke dunia , seperti juga kamu yang melahirkan harapan dan impian
untukku, ibumu. Harapan yang selalu berubah , kadang indah melambungkan hati,
kadang pedih menusuk hati. O, bumi yang di pijak aku dan anakku. Jaga dia dari
malapetaka dan keserakahan manusia.
Meski waktu telah terus menjawab doa-doa Bu
Tiwi dengan ketidakpastian, ia terus berdoa untuk menghibur diri. Terus
berharap sebagai penyemangat hidup.
Doa
terkait erat dengan harapan. Dan, kenyataan adalah hal yang telah dan sedang
terjadi. Terjadinya kenyataan apakah terpengaruh oleh doa, belum ada orang yang
berani memastikan. Dan, Bu Tiwi tak peduli dengan itu. Baginya doa adalah suatu
keasyikan tersendiri. Ia menikmati itu semua.
Sering
kali Bu Tiwi terpaksa harus mendengar berita tentang kecelakaaan kereta. Meski
ia benci mendengar itu, tapi kemudian Bu Tiwi diam-diam mencari sumber
informasi yang lebih jelas tentang nama-nama korban agar ia yakin Yusuf tak
termasuk di dalamnya. Tak hanya Bu Tiwi, ibu-ibu yang lain juga begitu.
Mengkhawatirkan tentang harapannya.
Semua
kejadian itu terekam jelas dalam ingatan Bu Tiwi: Kereta terjun ke jurang;
sebuah sabotase. Tabrakan antar kereta; hasil kerja kelompok tertentu.
Kebakaran kereta penumpang; ada unsur kesengajaan dari pihak tertentu. Kereta
anjlok dari rel; kerusakan rel yang di duga di sengaja. Pembajakan kereta malam
di sertai pembunuhan; sebuah balas dendam. Bis tertabrak di pintu kereta,
puluhan korban tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Tujuh gerbong kereta
penumpang tertimbun longsoran tanah.
Semua
berita mengalir ke telinga Bu Tiwi mengusik ketenangan dan impian. Siapa yang
begitu sadis mencelakakan sesama manusia. Ada maksud apa mereka. Apa tujuannya.
Apa benar dugaan-dugaan berita itu atau sekedar rekayasa berita untuk
mengacaukan rakyat. Jika hanya rekayasa berita, apa tujuannya. Duh, dunia.
Untuk apa semua yang terjadi sekarang di dalam mempengaruhi masa datang.
Kenapa harus sesama
manusia yang menjadi korban. Duh penghuni bumi yang disebut manusia,
makhluk pembunuh, perusak, rakus, haus kuasa. Makhluk sosial yang seketika bisa
berubah menjadi biadab, amoral, asosial. Apa yang menyebabkan manusia begitu
gampang berubah. Apa karena manusia punya akal dan pikiran?
“Sudahlah
Bu Tiwi. Jangan terlalu berharap tentang kepulangan Yusuf dan berita baiknya.
Harapan yang
terlalu besar akan lebih membebani di dalam menanti dan juga nanti kalau
harapan itu ternyata sebaliknya.” Demikian ucapan Amin, keponakan Bu Tiwi yang
mahasiswa semester tujuh, untuk menghiburnya. Ucapan yang kedengaraannya klasik
tapi bagi Bu Tiwi satu siraman tersendiri untuk hatinya yang kering.
“Tapi,
kau juga selalu berharap negara kita menjadi lebih baik. Kau masuk di beberapa kelompok aktifis.”
“Tujuan
kami mulia Bu De. Untuk rakyat banyak. Untuk keadilan.”
“Adil
bagi siapa. Adil menurut siapa.” Pertanyaan yang sering muncul di batinnya dan
tak jarang terlontar keluar. “Dan aksi-aksi demo kelompokmu sering di
manfaatkan pihak lain, mereka di untungkan oleh kamu. Mereka memanfaatkan.
Kemudian mereka lebih dulu memetik keuntungan.”
Bu Tiwi
terdiam. Ia tak sadar apa yang barusan di ucapkan. Kalimat-kalimat yang sering
ia dengar di pinggir rel, di pemandian umum, di sore hari sambil mencari kutu
rambut, di warung sebelah, di tempat-tempat arisan. Bu Tiwi hanya hafal
kalimat-kalimatnya tanpa tahu apa maksudnya. Kemudian ia segera sadar; orang
kecil macam saya tak pantas berkata seperti itu. Cukup jadi pendengar saja. Itu
kata-kata orang politik, dan aku tak tahu apa-apa tentang politik.
Amin
termangu, “Tak kusangka Bu De bisa ngomong seperti itu. Benar kata Bu De. Tapi
kami yakin, tujuan mulia, di manapun dan kapanpun akan tampak mulia.”
“Maaf nak, Aku hanya menuturkan
kata orang-orang. Orang kayak Bu De tak pantas ngomong begitu. Harapan tentang
Yusuf juga tak kunjung datang, apa lagi harapan yang lebih besar.”
“Nggak
apa-apa Bu De. Semua orang bebas bicara, termasuk Bu De.”
“Tapi
kalau semua orang bicara, semua ingin di dengar, dan semua ingin yang paling
didengar. Terus kami harus mendengar siapa.”
“Mendengar
yang menurut Ibu benar.”
“Apa
yang menurut Ibu benar, menurut nak Amin juga benar. Menurut orang lain juga
benar. Apakah harapan saya tentang Yusuf menurut kamu juga benar. Juga menurut
orang lain, sedang kau tahu, aku kehabisan waktu untuk harapan itu.”
Amin
terdiam. Ia teringat tentang Bu De Tiwi ketika masa mudanya. Seorang gadis yang
pintar, rajin beribadah, berbakti pada orang tua. Bu De Tiwi juga ikut di
beberapa organisasi aktivis dan LSM. Sampai kemudian ia di jodohkan orang
tuannya. Dan selanjutnya hari-harinya di isi dengan tugas sebagai istri; mengurus rumah tangga, suami
dan anak.
“Benar
seperti menurut hati nurani,” ucap Amin, “Hati nurani manusia saya kira semua
sama.”
“Apa
hati nurani saya sebagai seorang ibu sama dengan hati nuranimu? Apa hati
seorang politikus sama dengan hati
nurani seorang serdadu, seniman,
ibu rumah tangga, preman, pengemis?” suara Bu Tiwi terhenti sebentar, “Siapa
yang tahu isi hati nurani seseorang?”
Amin
manggut-manggut.
“Seperti
apa isi hati nurani orang-orang yang membuat kereta itu kecelakaan dan banyak
memakan korban?”
***
“Kau
datang juga nak, ibu kangen sekali. Ibu selalu menunggu kamu di stasiun ini
setiap saat. Setiap kereta datang.” Kata-kata Bu Tiwi tersendat-sendat sambil
terus memeluk anaknya Yusuf. Yusuf hanya bisa diam sambil mengusapkan air
matanya di pundak ibunya. Ia merasakan tubuh ibunya yang lemah dan rapuh juga
kulitnya yang telah mengendur.
“Kau
sendirian nak?” Tanya Bu Tiwi, “Mana anak istrimu? Aku ingin sekali menggendong
cucuku. Mana?”
Dalam
surat terakhir yang di terima Bu Tiwi, Yusuf mengabarkan niatnya akan menikah
dan akan datang mengenalkan calon istrinya.
“Aku
belum menikah Bu.”
“Kenapa?”
“Calon
istriku, yang dulu saya tulis dalam surat, tertabrak ketika menyebrang rel
dengan motor yang di tungganginya. Ia mati, saya sangat mencintainya, Bu.”
“Sudahlah,
lupakan.” Kata Bu Tiwi dengan nada arifnya, “Ibu selalu mengkhawatirkanmu nak,
apalagi banyak sekali Ibu dengar berita kecelakaan kereta. Ibu was-was,
takut, jangan-jangan kamu ikut kereta naas itu. Ibu
selalu mengutuk orang yang
membuat celaka kereta-kereta itu. Seandainya Ibu mampu, Ibu akan bunuh
orang-orang jahat itu.”
“Bu,
ayah mati karena penyakit yang di bawa ketika menjadi masinis, kakaku
satu-satunya mati terseret kereta, kekasihku, calon istriku mati tertabrak
kereta. Badannya tercabik-cabik mengenaskan. Dulu, menurut ceritera ayah,
kakekku mati kelaparan dan kepanasan ketika menjalani kerja paksa membangun
rel kereta ini. Juga kakek ayahku mati kerja paksa di jaman Belanda. Aku
memendam dendam yang teramat sangat pada kereta-kereta itu Bu. Akulah yang
membuat kereta-kereta itu jumpalitan, tabrakan, anjlok, terjun ke jurang,
terbakar …”
Bu Tiwi diam. Kepalanya terasa berat. Ia terkulai lemas. Ia
memeluk Yusuf erat. Lewat hawa hangatnya Ia tumpahkan seluru kasih sayang
seorang ibu pada anaknya. “Tak mungkin nak, tak mungkin kau berbuat seperti
itu, tak mungkin. Kau anak baik.” Sorot matanya yang telah pudar menatap tajam
Yusuf.
Yusuf menatap wajah ibunya yang keriput dengan penuh iba
dan kasih, “aku yang melakukan itu semua bu,” bisiknya penuh sesal. ***
Des 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar