calon ketua RW berangkat ke TPS bersama-sama |
Jadi ketua itu amanah. Tanggungjawab dunia akherat, harus siap dikritik dan dicemooh jika melakukan kesalahan, meski tidak disengaja. Ketua dalam sebuah kelompok masyarakat level bawah seperti Rukun Tetangga ( RT ) atau Rukun Warga ( R W ) menjadi sebuah jabatan yang sering kali dihindari oleh penduduk setempat. Penghindaran ini karena jabatan ini sebuah pengabdian tanpa gaji setiap bulannya. Jika pun ada, hanya sekedar uang jajan yang jika diperbandingkan dengan jerih payah yang harus dilakukan, sangat jauh dari sekedar pantas. Karena tidak ada ongkos material atau finansial-lah, jabatan ini dihindari. Tapi, pemilihan seorang ketua RT atau RW yang banyak orang tak ingin menjabatnya, tetap saja menjadi hal yang menarik dalam “pesta demokrasi” rapat umum pemilihan ketua RW.
panggung calon ketua RW dan aparat desa yang hadir |
Di lingkungan RW-ku, pemilihan ketua RW dibikin seperti
pemilihan kepala desa. Ada panitia pemilihan sekaligus panitia pelaksanaan yang
bekerja dengan sungguh-sungguh dengan dukungan dana yang digalang dari warga
dalam wilayah. Dalam pelaksanaan juga berstandar pemilihan umum, ada surat undangan pemilihan, ada surat
suara, ada daftar pemilih, meja panitia dengan segala kelengkapan alat tulis,
ada bilik suara, ada kotak suara,ada panggung calon ketua RW, ada saksi dari
setiap ketua RT dan traktag untuk melindungi kegiatan tersebut dari panas atau
hujan. Ada juga hiburan pentas tarian yang diiring kenthongan yang menyelingi
dan menghibur masyarakat yang datang.
Dan yang tak kalah menarik, semua calon diberi kesempatan
untuk menyampaikan visi dan misi jika terpilih. Dengan tanpa beban seperti
penyampaian janji politik dalam pilkada, mereka satu persatu menyampaikan
hal-hal yang biasa-biasa saja, ringan dan sering menimbulkan gelak tawa para
pemilih dan pengunjung yang duduk di deretan kursi-kursi. Tak ada ambisi ‘harus
jadi’ seperti dalam pilkada atau pilihan kepala desa. Semua siap kalah dan siap
menerima siapa pun yang akan terpilih. Sebuah prosesi pemilihan ketua ( kepala
) wilayah yang berlangsung dengan menyenangkan.
para pemilih yang menunggui sampai penghitungan suara selesai |
Karena tidak mendapatkan gaji yang memadai itulah yang
membuat jabatan ketua RW atau RT menjadi kursi yang tidak diperebutkan.
Kontradiktif dengan jabatan kepala daerah ( Bupati / walikota, gubernur ) atau
kepala desa yang jabatan ini sebuah prestise
dan ada finansial yang bisa diperoleh di sana. Maka, berbagai upaya untuk bisa
terpilih menjadi bupati, gubernur dan kepala desa, dilakukan oleh para calon.
Bahkan jauh-jauh hari sudah melakukan kampanye terselubung untuk mendapatkan
simpati dari para calon pemilih. Maka tak mengherankan jika sepanjang proses
dan setelah pemilihan tersebut sering terjadi gesekan-gesekan sosial yang tak
jarang muncul tindakan anarkis atau tindakan kecurangan dari pihak-pihak yang
ikut berkompetisi, baik dari si calon atau dari pendukungnya.
reapitulasi perolehan suara |
Jika saja sebuah proses pemilihan kepala daerah (kepala
desa, Bupati / walikota, gubernur) berjalan seperti pemilihan ketua RW atau
RT, kegaduhan politik yang banyak sekali menguras energi, tentu dapat dihindari
dan menjadi energi yang positif dalam berkehidupan bernegara. Saling mengisi
dan mendukung untuk kemajuan yang baik dan sejahtera bagi semua. Dan, nampaknya
itu hanya sebuah ‘jika saja’. Karena uang dan prestise, yang menyebabkan
pemilihan ketua RW / RT menjadi berbeda dengan pemilihan kepala daerah. Uang
menjadi alasan sesuatu tujuan yang sama ( memperoleh kursi ) menjadi berbeda
dalam proses pelaksanaan dan setelahnya. Kenyamanan sebuah pelaksanaan
demokrasi sangat terpengaruh oleh uang. Uang menjadi bisa untuk membeli segalanya,
termasuk jabatan dan harga diri. Dan prestise ikut ‘mendukung’ kemampuan uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar