sebuah Cerpen.
Langkah Kakek Ma’ruf ke masjid menjadi lebih bergairah. Meski
sebelumnya juga selalu tanpa beban jika menuju masjid. Senyumnya pun lebih
sumringah dan cerah. “Semoga mereka benar-benar mendengarkan dan menjalani
perintah Allah,” doa Kakek Ma’ruf setiap seusai sholat. Semoga kejadian yang
menyengsarakan ini dapat menjadi jembatan bagi mereka untuk lebih dekat lagi
kepada Allah.
Suaranya yang sudah lemah dan parau
saat mengumandangkan adzan dalam dua tiga hari ini agak jarang terdengar. Bukan
karena Ia tak mau lagi menyuarakan adzan, itu karena setiap waktu sholat tiba
sudah ada orang yang siap mengumandangkan adzan. Tidak seperti sebelumnya,
hanya Ia dan dua anak muridnya - yang
lebih sering telat ke masjid- yang biasanya bergantian. Murid yang kadang
melanggar ajaran gurunya tanpa beban.
Masjid lumayan besar itu dibangun
oleh seorang pejabat putra daerah. Waktu masih baru, cukup banyak orang yang
datang beribadah dan mengaji. Bertambah waktu, terus berkurang sampai kemudian
tinggal Kakek Ma’ruf yang kadang ditemani beberapa orang tetangga masjid dan
satu dua bocah yang dipaksa mengaji oleh orangtuanya. Kakek Ma’ruf rajin
membersihkan sekelilingi masjid, merawat dan menjadikannya tidak tampak seperti
gedung tua tanpa penghuni.
Banjir yang enggan surut telah
memberikan Kakek Ma’ruf banyak teman di masjid. Meski tujuan mereka menghindar
dari genangan air yang menenggelamkan kaki-kaki rumahnya. Kakek Ma’ruf jadi
betah lama-lama di masjid. Kadang Ia memberi ceramah agama atau mengajari baca
tulis huruf arab kepada anak-anak kecil. Ia sering bercerita tentang masa lalu
kotanya yang tak pernah banjir, tentang kali yang mengalirkan air jernih dengan
beraneka macam ikan yang hidup di dalamnya, tentang masa mudanya yang katanya
tak disia-siakan seperti kebanyakan anak muda sekarang, tentang guru
mengajinya, tentang perjuangan segenerasinya mempertahankan kesatuan negara.
Jika bercerita Ia selalu bersemangat hingga tak memberi kesempatan pada orang
lain untuk ikut bercerita. Bukan Ia tak
bisa bicara masalah ajaran Agama Islam dan segala isinya. Ini sebagai salah
satu cara untuk menarik perhatian orang dan menyelipkan sedikit demi sedikit
ajaran agamanya.
Masjid itu memang cukup besar untuk
menampung seratusan orang. Halaman depan dan samping kanan kirinya juga cukup
untuk mendirikan tenda-tenda darurat. Dulu pipa-pipa airnya normal di setiap
kran yang tersebar di beberapa tempat dan sekarang hanya di tempat wudlu dan
kamar kecil yang masih berfungsi. Itu pun karena Kakek Ma’ruf yang selalu menjaga dan
menggantinya jika rusak. Kakek Ma’ruf tak cukup biaya untuk menggantinya semua,
maklum Ia dan istrinya hanya berjualan kecil-kecilan di rumahnya yang terselip
di gang sempit.
Jika datang waktu sholat, tak
seluruh orang dewasa yang mengungsi di masjid itu mengerjakan sholat berjamaah.
Mungkin mereka belum terketuk hatinya untuk melaksanakan kewajiban sholat, atau
mungkin ada yang beda kepercayaan. Itu tak jadi masalah bagi Kakek Ma’ruf.
Sekali dua kali canda anak-anak kecil yang berlarian sambil berteriak ketika
sedang berusaha khusu sholat Ia maklumi. Tetapi ketika terus menerus setiap
sedang sholat dan orang tua mereka membiarkan, Kakek Ma’ruf ingin juga menegur
orang tuanya, meski setelah melalui berbagai pertimbangan Ia membatalkannya.
Ia baru pulang ke rumah setelah
menjelang tengah malam. Kadang lebih malam lagi jika hujan dan lupa tak membawa
payung. Sebelum Kakek Ma’ruf berbelok ke arah gang menuju rumahnya, Ia
menyempatkan melihat masjid yang masih ada nyala terang lampu di ruangan dalam
–biasanya hanya di teras depan- berisi para pengungsi yang penuh khawatir
dengan sisa waktu kehidupan dirinya dan keluarganya. Kadang terdengar tangis
bayi kedinginan di dalam tenda. Di serambi, beberapa lelaki bermain kartu
menghibur diri melewati waktu lembab, memberikan hukuman jahil bagi yang
dianggap kalah.
Tidak semua orang mau bersikap
bersih terhadap keadaan sekitar masjid. Banyak diantaranya yang jorok dan
bersikap tak peduli dan menimbulkan keadaan yang risih di mata. Kakek Ma’ruf
dengan sabar dan telaten membersihkan sampah dan mengepel lantai masjid dengan
harapan mereka yang melihat merasa tak enak hati dan menjaga kebersihan. Dan
mereka tetap saja tak berubah. Mungkin mereka berpikir; toh hujan tak akan
terus menerus. Sebentar lagi air akan surut dan kita segera kembali ke rumah.
Bertambah waktu, keadaan masjid
bertambah kotor. Lantai halaman menjadi penuh lumpur dari kaki-kaki yang
melewat jalan becek. Sampah basah berserakan di setiap tempat. Kakek Ma’ruf tak
mampu maksimal membersihkan dan merawatnya meski sesekali satu dua orang
membantunya. Ia kadang membawa dua anak muridnya untuk membantu. Keadaan itu
tak membuatnya bersedih dan kecewa. Baginya sesuatu harus dikerjakan dengan
ikhlas agar tak merasa jadi beban. Ia juga masih terhibur dengan masih ada
beberapa orang yang mau mengaji dan mengerjakan sholat. Ia selalu menegaskan
kepada dua anak muridnya; berbuat baiklah kepada semua orang dengan ikhlas!
Ketika bantuan bahan pangan dan
obat-obatan datang, Kakek Ma’ruf harus bersiap-siap bekerja keras untuk
membersihkan lantai masjid dan halamannya yang penuh sampah. Biasanya Ia
memperhatikan para dermawan dari balik jendela masjid. Ia senang dengan masih
ada orang yang mau memperhatikan kesusahan dan penderitaan orang lain. Para dermawan
itu datang dengan mobil-mobil bagus, pakaian bagus, gemerlap perhiasan dan
serombongan wartawan media cetak juga media elektronik.
Kakek Ma’ruf suka melihat anak-anak
yang berebut tempat jika kamerawan televisi mencari sasaran atau fotografer
yang berburu nuansa kemanusiaan, menuangkan seni dari lingkar penderitaan. Tawa
riangnya seakan melepas simpul-simpul tali penderitaan orang tuanya yang harus
menjaga kesehatan keluarga dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Anak-anak itu
mungkin tak mengerti kalau ayah atau ibunya selalu ketakutan akan keadaan rumah
dan segala perabotannya yang ditinggalkan. Bisa saja banyak yang rusak atau ada
pencuri yang memanfaatkan keadaan. Mereka juga mungkin tak pernah mengerti
kalau para orang tua juga harus tak berlama-lama mangkir kerja kalau tak ingin
dipecat.
Masjid itu menjadi terkenal setelah
pemberitaan di berbagai media massa. Maka para pemburu berita berdatangan silih
berganti. Mereka mencari sisi unik yang belum dituangkan di media lain. Sejarah
masjid itu pun segera ditelusuri. Membubunglah nama pejabat yang membangunnya.
Apalagi pejabat itu juga ikut menyumbangkan dana untuk korban banjir yang
mengungsi di masjid itu. Ia menjadi tokoh yang sering dibicarakan dalam hal
menangani masalah korban banjir. Pejabat itu mendapat angin baik. Ia segera
dipromosikan ke jabatan lebih tinggi.
Tak tersebut nama Kakek Ma’ruf
dengan jenggot yang memutih dan kulit muka mengeriput dalam berita manapun.
Kakek Ma’ruf juga tak pernah tahu kalau pejabat yang jadi berita itu yang memiliki
saham cukup besar di perusahaan koran dan stasiun televisi. Ia juga tak merasa
ingin dan perlu tahu. Darimana pejabat itu bisa punya saham di beberapa
perusahaan, tak pernah terlintas di benak Kakek Ma’ruf untuk tahu.
Banjir mulai sedikit surut. Hujan yang
turun, meski sering, tidak lebat dan deras seperti sebelumnya. Halilintar masih
sering garang menyalak. Satu dua keluarga yang letak rumahnya agak lebih tinggi
mulai pulang. Mereka mulai membersihkan rumah dari segala kotoran. Untuk
menjaga kesehatan anak-anaknya yang masih kecil ada yang tak segera
membawa pulang keluarganya, hanya pulang
untuk menengok dan membersihkan rumah.
Ma’mum Kakek Ma’ruf terus menyusut,
seperti menyusutnya air yang menggenangi rumah-rumah mereka. Sedikit anak-anak
masih ada yang mendengarkan cerita dengan nuansa ajaran Islam. Entah, mereka
mengambil hikmah seperti yang dikehendaki Kakek Ma’ruf atau tidak. Senda gurau
satu dua anak kadang lebih menjadi perhatian yang lain.
Di siang hari, para lelaki dewasa
dan ibu-ibu yang tak punya anak kecil, pergi mencari uang. Malam harinya, dari
mulai petang, tidur melepas lelah setelah seharian bergelut dengan kehidupan
dunia. Ya, hanya tidur, karena lebih jauh dengan istri sangat tak memungkinkan
dalam kondisi seperti itu.
Kakek Ma’ruf merasa kesepian di
antara orang-orang yang berserakan tidur tak teratur di lantai masjid, di
serambi dan tenda-tenda di halaman. Jam dinding di atas ruang imam menunjukan
jam sembilan kurang seperempat. Orang terakhir yang diajak ngobrol tertidur
menyandar di tembok. Gerimis lembut berjatuhan, terbang terbawa angin. Kakek
Ma’ruf melangkah pulang dengan sedikit mengangkat kain sarungnya. Ia menutupi
kepalanya dengan sajadah karena lupa tak membawa payung. Seperti biasa, sebelum
Ia berbelok memasuki gang, Ia menyempatkan memandang masjid dengan nyala redup
di dalamnya.
* * *
Banjir telah benar-benar surut.
Para pengungsi semuanya telah pulang meninggalkan kenangan, sampah dan kotoran.
Tiga hari Kakek Ma’ruf dan dua anak muridnya membersihkan seluruh bagian
masjid.
Sehabis sholat Isya, ketika
menunggu hujan sedikit reda, di teras depan, Kakek Ma’ruf termenung sendirian.
Di hatinya ada rasa kangen pada orang-orang dan anak-anak yang sempat tinggal
sementara di masjidnya. Dan Ia bergumam,”Mereka datang hanya ketika dalam
kesusahan.” ***
Maret 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar