Tiba-tiba saja saya pengin menyatakan lebih tegas,
saya pribumi!
Pidato perdana Gubernur DKI 2017-2022, Anis Baswedan
yang menyelipkan kata pribumi yang kemudian menjadi pembahasan di berbagai
media, telah menyadarkan kalau pribumi masih perlu bangkit lagi agar tidak
terjajah dan terpinggirkan. Lepas dari penggunaan kata pribumi yang telah di
atur lewat UU No 40 tahun 2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis dan juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor
26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan
Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan
Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyeleng-garaan Pemerintahan, faktanya
masih ada tanggul pemisah antara pribumi dan non-pribumi.
Jika kata Pribumi
diartikan sebagai siapa saja warga Negara Indonesia yang setia membela negara,
mengakui lahir bathin kewarganegaraannya, dan selalu ingin Indonesia lebih maju
dan baik dengan tidak ikut merusak seluruh tatanan negara. Berapa prosen orang
non pribumi yang telah lahir turun temurun di Indonesia yang berlaku demikian?
Dan berapa yang berlaku sebaliknya. Dan, apakah mereka juga merasa pribumi
dengan sepenuh hati? Dan, tidak merasa ingin menyingkirkan pribumi ke pinggiran
dan lambat laun membangun diri menjadi super power di sekelilingnya?
Keinginan sebuah
kelompok pada ras tertentu untuk membuat pagar di sekelilingnya dan membuat
sebuah wadah adalah hal yang manusiawi. Sekelompok orang yang merasa ras
keturunan, meskipun nenek moyangnya lahir di sini dan entah generasi ke berapa,
akan merasa senasib sepenanggungan dengan kelompoknya. Mereka akan merasa sebagai
satu saudara yang saling perhatian, saling mendukung dan merasa harus menjadi
satu ikatan agar kuat dan tidak dilemahkan oleh yang lain. Itu bisa saja
terjadi di mana pun dan pada kelompok manapun
Orang pribumi juga
sangat wajar untuk menjaga eksistensinya dan berperan aktif dalam segala hal
dalam wilayah negaranya. Juga wajar saja jika dalam hatinya merasa lebih
berhak, meski jika jadi pejabat publik, kata-kata merasa lebih berhak tidak
akan diucapkan disembarang tempat. Ada cara halus mengatakannya pada
lingkungan, ruang dan waktu tertentu dan cara berbeda pada komunitasnya. Jika
kelompok sebelah membuat sebuah kelompok eksklusif dengan merasa perlu
membentengi kelompoknya, apa kita harus diam saja demi agar tidak disebut
rasis? Apa mereka tidak bisa disebut rasis dengan caranya mengelompokan diri?
Idealnya, hidup
berdampingan tanpa melihat ras, agama, suku dan golongan. Saling bekerjasama,
bantu membantu, saling memberi, saling menolong dan tak ada pertentangan
perbedaan dalam menjalankan perintah agama. Karena tak ada satupun yang bias
menolak kita dilahirkan dari suku atau ras mana. Kita lahir langsung menyandang
ras tertentu pada tempat yang tertentu yang tidak bisa ditolak. Akan sangat
indah jika tidak perlu bersusah payah berkelompok-kelompok berdasarkan ras /
suku agar lebih ( merasa ) superior dibanding dengan yang lain. Itu bisa
terwujud jika tidak ada yang mendahului untuk membuat kelompok yang dilandasi
persamaan ras yang kemudian berkelanjutan untuk unjuk kekuatan pada yang lain.
Jika hanya menghindari
kata pribumi agar tidak dicap rasis tapi membiarkan yang non-pribumi membuat
kelompok pada ras-nya, apa itu yang disebut bijak? Membiarkan yang diluar
ras-nya membangun diri untuk menjadi kuat, dan membiarkan kelompoknya tercerai
berai demi untuk disebut menghargai dan anti rasis, apa itu tindakan yang baik
dan perlu dihargai?
Kita tetap harus
menjadi tuan di negeri sendiri, bukan membiarkan yang lain lambat laun mau
menjajah kita. Yang lahir dan besar di negara ini, siapapun, ras manapun, suku
manapun, yang merasa telah menjadi pribumi, mari bersama-sama membangun. Yang merasa
non-pribumi padahal lahir besar di sini dan tidak punya rasa patriotisme, apa
akan terus mengekslusifkan diri dan marah jika tidak mendapat persamaan hak. Kalau
begitu yang rasis siapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar