“Tidak semua buku yang ada harus kau buka, tidak semua buku yang kau buka harus kau baca, tidak semua yang baca harus kau ingat, tidak semua.”
“Apa maksud Nenek?”
“Tidak semua yang kau dengar,
kau harus tahu. Jika kau tahu pun tidak harus semua didengarkan.”
“Kenapa Nek? Kenapa?
Kenapa Nek? Apa aku nggak boleh tahu? Kalau nggak boleh tahu, kenapa Nenek
mengucapkannya?”
Si nenek diam. Ada pandangan kosong yang
selalu ada di setiap awal melihat sesuatu. Garis wajahnya pada kulit keriput
menjadi semakin dalam jika ia tersenyum. Di ujung bibirnya selalu nampak garis
kesinisan sekaligus penyesalan yang tak mudah terbaca karena berubah-rubah
setiap saat.
“Aku khawatir padamu
cucuku yang manis?”
“Apa yang dikhawatirkan
denganku Nek? Apa aku, menurut nenek akan jadi seorang selalu kalah? Aku nampak
seperti itu nek?”
“Tidak. Tidak sama
sekali. Kau terlalu jauh berpikir seperti itu untuk seusiamu”
“Terus?”
“Belum saatnya kau
tahu.”
“Nenek selalu saja
begitu. Selalu! Aku sudah terus bertambah besar Nek. Aku sudah bukan anak TK
lagi Nek, bahkan sudah banyak tahu yang Nenek tak pernah menduganya. Banyak Nek,
buanyaak.”
“Ah, kau cucuku
satu-satunya. Yang cantik, manis, pintar..”
“Nek, boleh nggak aku
tanya lagi pertanyaan yang selalu Nenek menunda untuk menjawab?”
“Tentang apa?”
“Ibu.”
Si nenek terbatuk atau
lebih pas kalau disebut sengaja batuk untuk kemudian menyuruh cucunya
mengambilkan segelas air putih di dapur. Kemudian langit di depannya membuka
lagi begitu banyak cerita. Banyak sekali yang Ia ingin buang, banyak juga yang
ingin Ia kenang untuk membangkitkan senyum yang tak mudah untuk dimaknakan. Ada
awan yang bergerak cepat kemudian pecah menjadi berkeping-keping hilang, ada
yang bergerak perlahan mengumpul berubah menjadi hitam dan segera menjadi
mendung dan menjadi hujan yang begitu deras membuat banjir bandang di bumi, ada
yang bergerombol kecil-kecil bergerak perlahan mengiringi angin sepoi membelai
lembut wajah-wajah kelelahan dan mengantarkan ke tidur yang nyaman. Angin
selalu saja merubah arah awan atau juga merubah warna. Mengantarnya kemana saja
yang tak pernah terduga. Angin terlalu sering memberi kabar yang tak pernah
terduga. Kabar tentang cerita burung-burung yang bernyanyi di setiap pagi dan
berhenti tanpa ada yang mengganggu. Kabar tentang anak kecil yang kehilangan
orang tuanya karena perang kayakinan dan gengsi. Kabar tentang anak-anak
jalanan yang ingin pulang ke rumah tanpa tahu di mana mereka harus pulang.
Kabar tentang nyanyian di pagi hari yang mengantar orang-orang berangkat kerja
tanpa khawatir anak-anak di rumah akan kena musibah. Kabar tentang pekerja-pekerja
malam yang selelu bergelut dengan pekat dan dinginnya malam yang membisu dan
tak mau tahu. Kabar tentang sesuatu yang sering tak di mengerti. Kabar tentang
sesuatu yang sangat dibenci. Kabar tentang sesuatu yang sangat dinanti.
Tak ada seorang ibu yang
tega mencelakakan anaknya sendiri. Tak ada! Bisik nenek hampir bergumam dan
segera menutupi dengan gerakan melap mukanya agar tak ketahuan cucunya yang
pasti sudah siap mencecarnya. Aku tak pernah bermaksud mencelakakan anakku yang
manis, wanita tercantik di dunia, pada satu tempat yang sampai saat ini Ia tak
bisa keluar darinya. Atau malah Ia tak pernah berusaha untuk mengakhiri cara
kehidupannya. Anak yang manis dan penurut itu telah mandiri dan tak pernah lagi
mendengar kata-kataku yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ia hanya akan
mendengar apa yang cocok dengan pikiran dan egonya.
“Ibu sendiri yang telah
mengantarkan aku ke sana ,
kenapa Ibu sekarang melarang. Apa Ibu ngiri karena Ibu dulu tidak seperti saya
sekarang! Atau sebenarnya Ibu merasa kurang dengan uang yang saya berikan
sementara Ibu sudah tak punya tabungan lagi?”
“Ibu tak pernah
mengantarkanmu ke sana ,
tak pernah. Jangan kau sakiti aku dengan kata-katamu nak, jangan. Ibu sudah
cukup menderita. Sudah sangat menderita.”
“Maaf, saya minta maaf.
Tapi, bukankah Ibu yang selalu mengajari agar aku menjadi orang yang punya
pendirian dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain? Ibu yang mengajariku
agar selalu mengambil setiap kesempatan yang datang, bahkan dengan berlari
menjemputnya? Jangan membiarkan satupun kesempatan yang ada. Jangan berharap
kesmpatan kedua akan datang dan rakuslah terhadap kesempatan. Ibu kan yang mengajari? Dan
sekarang Ibu, kesempatan itu masih ada, masih terbuka, dan aku akan tetap
berada di sana
sampai tak ada lagi kesempatan yang bisa di raih dengan keadaan saya. Ibu yang
yang mengajari aku untuk menikmati setiap keadaan yang ada tak perlu
memepedulikan omongan orang karena orang lain akan senang jika melihat kita
sengsara.”
“Cukup anakku, cukup.
Itu aku ingat semua, aku ingat. Tapi, di mana kau berada sekarang, di mana?
Jangan sampai terlambat. Jangan terlambat, jangan sepertiku. Jangan seperti aku
anakku. Ibumu!”
“Sama seperti Ibu dulu,
di situ tempatku. Dan Ibu sudah tahu itu. Ibu memang tak pernah mengantarnya ke
sana . Tapi jika
kemudian tiba-tiba saya berada di sana dan aku
merasa masih betah di sana ,
apakah aku harus mengingkarinya?”
“Sudah, sudah. Aku tak
mau bertengkar denganmu. Kasihan kalau anakmu terbangun. Ia nampak lelap
sekali. Seharian ia bermain-main dengan teman-temannya. Berlarian kesana
kemari. Ia sepertimu waktu kecil dulu.”
Rasa penyesalan kembali
menggelayut di ingatan nenek itu. Bagaimana
Ia dulu sering menelantarkan
anaknya, di titipkan pada tetangga, kenalan, saudara, ditinggal berhari-hari.
Selalu saja Ia ingin segera melupakan
kegetiran itu dengan membaca. Membaca tentang apa saja.
“Nenek melamun lagi?
Nenek ingat Mama ya? Iya? Kok Mama lama sekali nggak pulang ya Nek? Yang suka
datang memeluk aku, itu, Mama aku bukan Nek? Kok kaya orang asing begitu. Kalau
datang selalu bertengkar dengan Nenek. Masa ibu sama anak selalu bertengkar?
Kenapa Bapak saya tak pernah datang Nek? Bapak saya seperti siapa sih Nek? Kok
Nenek tak pernah cerita. Kenapa Nek?”
Pertanyaan yang sama
muncul lagi di mulut yang berbeda. Dulu, Ibunya anak ini selalu bertanya
tentang Bapaknya yang tak pernah di lihatnya. Ia kemudian bercerita tentang
seorang lelaki pengembara yang gagah yang selalu mengembara adalah Bapaknya
yang tak pernah pulang dalam pengembaraannya. Cerita pengembaraan itu selalu
berakhir berbeda di setiap malam sampai kemudian anaknya tertidur dan lupa pada
pertanyaannya.
Nenek itu mengambil
sebuah buku di atas meja di samping kursi goyangnya. Ia mengambil sekenanya
dari sekian banyak yang tercecer. Dibacanya sebentar dari awal halaman yang
dilipat. Beberapa menit kemudian Ia mengambil pulpen dan menulis di pinggiran
halaman yang sedang Ia baca; ‘nasib seperti ini tak akan mungkin dialami oleh
kaum lelaki. Adil??’
Apa
sebenarnya yang harus dijaga? Apa jika aku menjaganya dengan baik dan berhasil, mereka akan menanggung semua
kebutuhan hidupku? Atau aku yang begitu berprasangka buruk pada kehidupan yang
sebenarnya sangat bersahabat dan indah? Aku sedang kembali mungkin ini, kembali
kemana ini? Aku tak mengerti dan sulit sekali mengerti. Begitu berbeda
pikiranku kah dengan pikiran mereka? Mereka nampak normal dan bergairah
menghadapi hidup yang terus dipenuhi persaingan. Mereka bergembira seperti
cucuku yang bermian-main dengan teman-temannya dan tak pernah merasa cukup
selesai sehari untuk kemudian mengulanginya esok hari. Pertanyaan-pertanyaanku
bodohkah?
Ia
mencari jawaban di buku-buku yang tak pernah bosan dan tak pernah berkomentar
dalam menemaninya. Ribuan buku dan ribuan pengarangnya selalu berbeda bercerita dan bercara
pandang dalam satu masalah dan bahasan yang sama. Semua merasa baik dan benar.
Manakah yang baik dan benar untukku? Ia sering berkomentar pada kalimat-kalimat
yang menarik pikirannya. Mencoretnya, menambahkan, menggarisbawahi, memberi
tanda tanya besar, memberi tanda petik. Ada
juga kalimat atau kata yang dicoret berulang-ulang sampai tak terbaca, bahkan
ada yang sampai kertasnya robek. Ada kejengkelan
yang meledak di sana .
Kejengkelan yang Ia sendiri tak bisa menulisnya.
Di
sebuah sore. Saat matahari biasanya nampak mulai tenggelam, gerimis membuat
cucunya berada di teras rumah ikut membuka-buka buku. Si nenek selalu khawatir
cucunya akan bertanya banyak hal yang sulit untuk menjelaskan satu hal yang tak
perlu dimengerti oleh anak seusianya. Rimbunan pohon mangga dan rambutan yang
daunnya menutupi sebagian pandangan di depan terasnya, sering bergerak saling
bergesek menyenandungkan lagu-lagu yang berubah-berubah sesuai dengan keadaan
hati si nenek. Pohon-pohon di depan rumahnya, cicak di dinding yang telah
berpuluh kali regenarasi, angin malam seputaran rumah, burung pipit yang selalu
bersarang di atas dahan tepat di atas pintu gerbang kecil, kelinci putih yang
bersarang di lubang teras belakang di bawah ranjang kecil yang sudah tak lagi
dipakai, telah menjadi akrab dan tahu betul apa yang sering dipikirkan dalam
gumamannya. Tapi, gadis kecil cucunya, yang ceria dan selalu tertawa riang dan
lepas itu, semakin tak mengerti apa yang selalu ada di benak neneknya dan
semakin penasaran kenapa pertanyaannya yang sama sering tak dijawab atau
dijawab dengan jawaban berbeda-beda.
Saat
malam, saat larut malam yang dingin dengan angin yang sama sekali tak bergerak,
saat kendaraan yang membawa orang yang berpulang atau pergi sudah jarang sekali
lewat, nenek yang masih memegangi buku dan membacanya halaman per halaman
dengan tak teratur, terkejut dengan pertanyaan cucunya.
“Apa
kakek yang suka datang sembarang waktu itu kakekku, Nek?”
Ia tak
langsung menjawab. Ada
pertimbangan lain yang dipikirkan untuk menjawabnya. Ada sangkaan pertanyaan sambungan lagi yang
akan terus bersambung dari mulut manis cucunya yang terus menumpuk rasa
penasarannya. “Lho, kamu kok terbangun sayang. Ada apa? Kamu mimpi buruk ya? Ayo, tidur
lagi. Nenek temani ya?”
“Aku kan belum tidur Nek.
Sedari tadi sore aku kan
belum tidur. Aku kasihan Nenek, jadi aku ingin selalu menemani Nenek di sini.
Aku ingin mengajak Nenek masuk rumah, tapi Nenek tampak sekali asik membaca.
Tapi, kenapa Nenek sering sekali membaca ulang halaman yang telah dibaca?”
Si
nenek merasa pertanyaan kedua cucunya telah melupakan pertanyaan pertama
tentang kakek yang sering datang, yang bukan hanya seorang, pada waktu yang tak
pernah tentu dan sering pada saat orang lain tak lagi merasa pantas untuk
bertamu.
“Ini
karena Nenek sangat terkesan dengan bacaan ini. Nenek ingin menikmati setiap
kata dan kalimat yang ada dalam halaman-halaman ini. Kau memperhatikan ini seluruhnya
cucuku?”
“Iya.
Tapi Nenek belum menjawab pertanyaan aku yang pertama, kenapa Nek? Apa lelaki
yang kadang mengantar Mama pulang itu Bapakku Nek? Kenapa berganti-ganti?
Bapakku banyak ya nek?”
Nenek
terdiam. Tak mengerti apa yang harus dikatakan untuk menutup pertanyaan cucunya
yang tak pernah berhenti. Malam selalu saja tak bisa mengajaknya tidur dan
melupakan kenyataan untuk beralih ke ruang mimpi yang indah penuh bunga warna
warni. Sampai kemudian Ia berharap tak ada lagi malam. Jika di siang hari
terasa bising dan panas, Ia juga sering berharap tak ada lagi siang.
“Tak
ada seorang anak dengan lebih dari satu ayah biologis cucuku. Jadi ayahmu hanya
satu, bukan banyak. Ayah Mamamu juga hanya satu, bukan banyak. Kau mengerti
cucuku yang manis?”
“Jadi
ayahku siapa Nek? Bapakku mana Nek? Dia sekarang di mana? Kenapa tak pernah
mengajakku bermain, pergi ke pantai, ke Mall, ke Ancol, ke Bali, ke puncak
Bogor, mengantarku bermian di kolam renang, membelikanku sepatu baru. Kenapa Nek?
Kenapa ayahku tak pernah membelikanku boneka yang berbulu untuk menemaniku
tidur yang selalu tanpa mama. Selalu sendiri. Kenapa Nek? Apa mamaku dulu juga
seperti aku Nek?”
“Kau
lebih bernasib baik cucuku yang manis.”
“Kenapa
begitu Nek? Kenapa?”
“Karena
kau ada Nenek yang menemanimu dan mau mendengarkan kamu.”
“Tapi,
Nenek tak pernah menjawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan
yang mana?”
“Di
mana ayahku? Di mana kakek, ayahnya mama? Teman-temanku sering bercerita
tentang ayahnya, tentang kakeknya, tentang liburan di rumah kakek dari mama,
kakek dari ayah. Aku jadi benci kalau mereka cerita tentang itu.”
Si
nenek membawa cucunya pada dongeng yang segera Ia susun sendiri dari berbagai
cerita yang disambungkan sekenanya. Ia bawa cucunya ke tempat tidur. Ia
rebahkan cucunya di atas kasur awan berbantal bulu-bulu peri di bawah langit
penuh bintang kerlap kerlip warna warni. Ia ceritakan tentang burung kecil di
dalam sarang mungil dari serabut kembang ilalang di pucuk pohon beringin yang
besar di tepi air terjun yang tak pernah kering, tanpa saudara dan teman.
Induknya yang hanya datang jika mengantarkan makanan, selalu penuh kasih dan
cinta. Sampai kemudian si induk selalu menemaninya, sampai si burung kecil itu
bisa terbang dan terbang sesuka hati sendiri. Sampai ia berhak menentukan pohon
yang mana yang akan disinggahi. Beranak pinak, bernyanyi bersama setiap saat.
Mencipta bersama-sama nyanyian-nyanyian baru. Mencipta pohon cinta yang penuh
dengan ranting-ranting kasih sayang, penuh dengan daun-daun kelembutan cinta.
Nenek
itu tertidur, juga cucunya, terbuai oleh ceritanya sendiri. Dini hari,
menjelang subuh, sebuah ketukan pintu membangunkan mimpinya. Ia hafal betul
cara ketukan dan tempat mana ketukan itu. Ia segera bangun, “Kau pulang nak?”
“Iya
bu,” ucapnya lirih. Ada
nada kelelahan di suaranya.
Nenek
itu segera membuka pintu, “kau kedinginan nak, ayo cepat masuk. Kamu sendirian?
Naik apa tadi?”
“He-em.
Naik taksi.”
“Ayo
cuci muka dulu, baru tidur. Dan besok tak usah kau pergi lagi. Mama harap kau
tak pergi lagi. Aku sangat berharap nak.”
“Sudah
dulu ma, itu besok saja bicaranya.”
“Oke,
sekarang kamu tidur, tidur nyenyak nak. Anakmu rindu pelukanmu. Tidurlah di
sisinya. Ia sering mengigau memanggilmu. Peluk ia dengan kasihmu.”
“He-em
ma. Aku bawakan mama banyak buku kesukaan mama. Aku juga bawa makanan kesukaan
mama dan kesukaan anakku. Aku tidur ma.”
“Tidurlah
anakku. Bermimpi indahlah…”
Malam
terus melaju seperti biasa. Tak terpengaruh oleh tiga manusia perempuan di
dalam satu rumah yang sedang mengarungi hidup di ruangnya masing-masing. Di
luar, gelap masih saja belum sepenuhnya terusir oleh lampu-lampu jalan dan
lampu-lampu teras rumah. Embun mulai deras turun membungkus angin dan diam
menggigil tak bergerak. Ada
lengkingan kokok ayam jantan yang membelah malam merambat cepat menuju pucuk
langit. Kemudian semua terdiam, membisu. Semua ikut mendukung untuk apa yang
disebut dengan malam pekat. Pucuk-pucuk daun bersedekap erat menahan dingin
sambil terus berharap pagi datang membawa hangat mentari dengan disambut
nyanyian seluruh burung di bumi. Bintang di langit tak lagi secerah di awal
malam. Bulan sabit sudah lama turun ke sarangnya. Sebersit angin lembut lewat
mengipas tepi-tepi daun yang terbungkus dingin yang makin menggigit. Seekor
tokek kurus di langit-langit teras di atas kursi goyang terjingkat kaget.
Pagi
muncul seperti biasa sedari berpuluh-puluh abad lalu. Tapi, pintu rumah nenek
itu tak terbuka juga meski bayang-bayang sudah tak lagi panjang. Di atas meja
di teras rumah, masih berserakan banyak buku memenuhi seluruh permukaan. Saat
semua tetangga memutuskan untuk mendobrak pintu, tiga orang perempuan, Ibu,
anak dan cucu terlelap pulas dalam satu ranjang dengan seprei tak begitu kusut.
Di meja, ada sisa makanan dan tiga gelas yang airnya tinggal setengah gelas.
Ada sedikit busa di menggumpal di kedua tepi mulut mereka.
Tak
ada yang bisa membangunkan tiga perempuan itu. Hanya sedikit tangis dan
keheranan mengerayap pada benak-benak yang tak juga mengerti. Mereka tak tahu
sanak famili yang mana dan dimana harus dikabari. Mereka, bertiga, pergi
bersama-sama tanpa pesan dan tanpa wasiat. Pada HP yang tergeletak di atas
kasur, tertulis sms; mari kita tidur bersama ibu dan anakku.. entah untuk
siapa. Gerimis tiba-tiba turun dari langit yang tiba-tiba meredup.
okt 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar