Cerpen
Sederhana saja. Sebuah mobil yang dikendarai seorang wanita muda menjerit klaksonnya, seperti sirene pendek, di pertigaan lampu merah pas seorang pengendara motor menghentikan motornya sedikit mendadak tepat disampingya. Tak ada tatapan atau reaksi apapun dari wanita muda itu. Juga, nampaknya tak juga ada isyarat kalau suara klaksonnya sebagai peringatan bagi lelaki yang terkejut dan hampir terlonjak. Tetapi lelaki pengendara motor itu segera turun dari motornya dengan gerak geram. Dia ketok pintu mobil dengan keras. Wanita itu dengan nervous menrunkan kaca mobilnya, “maaf mas.”
Sederhana saja. Sebuah mobil yang dikendarai seorang wanita muda menjerit klaksonnya, seperti sirene pendek, di pertigaan lampu merah pas seorang pengendara motor menghentikan motornya sedikit mendadak tepat disampingya. Tak ada tatapan atau reaksi apapun dari wanita muda itu. Juga, nampaknya tak juga ada isyarat kalau suara klaksonnya sebagai peringatan bagi lelaki yang terkejut dan hampir terlonjak. Tetapi lelaki pengendara motor itu segera turun dari motornya dengan gerak geram. Dia ketok pintu mobil dengan keras. Wanita itu dengan nervous menrunkan kaca mobilnya, “maaf mas.”
“Jantung saya mau copot
tahu, enak sekali maaf-maaf, mentang-mentang kaya, punya mobil klakson
sembarangan.”
“Maaf mas, kepencet
dagu tadi, saat mau mbeneri sandal.”
“Alah... alasan. Pengin
saya bunuh apa?”
“Maaf mas. Maaf.”
“Kau kan, yang minggu
lalu juga pencet sirene sembarangan?”
“Saya baru lewat di
sini dalam bulan ini mas, sungguh.”
“Omong kosong!! Kau
yang kemarin hampir menabrak adiku di jalan Sudirman kan?”
“Bukan!” Wanita itu
menjawab bernada tinggi dengan sorot mata kesal tapi berusaha disembunyikan.
Bruakkk.... Kaca pintu
pecah di hantam helm. Tangan berkaos tangan hitam menjangkau leher. Di belakang
sepuluh klakson menjerit-menjerit, ada juga suara sirene. Lampu hijau telah
nyala lebih dari setengah menit. Gas mobil di injak dan lelaki pemecah kaca itu
terseret. Badannya terpental dan kepalanya membentur besi pelindung tiang lampu
merah. Darah sedikit menetes, tapi nampaknya luka dalam membuatnya tak bergerak,
pingsan. Dua pengendara motor mengejar dengan menarik gas penuh amarah.
Dipepetnya mobil sedan itu dan dibentak agar berhenti. Mobil berhenti. Si sopir
yang perempuan muda berkulit putih berkaca hitam menggigit bibirnya, ketakutan
dan gemetar.
“Maaf, saya nggak
sengaja.”
“Kenapa mau lari.”
“Bukan lari, mau
berhenti di tempat yang aman, agar tak menggangu yang lain.”
“Alasan..!!!”
Bruakkkk.... Kaca di
pecah, muka di tonjok. Rambut dijambak dan dan diseret keluar dengan kasar. Sandal
yang dipakainya ikut terpental. Angin bertiup panas membawa debu kasar.
Berkerumunlah orang-orang. Motor-motor dan mobil-mobil diparkir sembarang.
Macet. Beberapa orang melerai, menahan tindakan kasar dua orang itu. Meski
tetap ngotot mau mencederai, berhasil juga ditahan banyak orang dengan
memeganginya beramai-ramai. Dua orang itu tenang sejenak, berjalan pelan ke
motornya, menaiki. Sebelum menarik gas motornya salah seorang sempat mengancam
dengan nada geram, “saya tahu siapa wanita itu. Ia bagian dari komplotannya.
Ini sudah direncana. Kami tak akan tinggal diam!!”
Seperti lepas dari
garis start balapan, mereka meraung-raungkan motornya dan melesat ke arah kota
diikuti seorang yang tadi tampak pingsan. Baju lengan panjang warna abu-abunya
berkelebat-kelebat dicabik-cabik angin. Dua orang membantu wanita muda itu
masuk kembali dan memberi aba-aba parkir untuk melanjutkan perjalanan. Sepeninggal
wanita muda itu, masih banyak orang yang masih di situ melepas rasa penasaran
ingin tahu.
“Kenapa mas tadi?”
“Biasa mas. Di sini
sering terjadi hal semacam itu.”
“Kejadiannya sama?”
“Tidak. Tapi kadang
mirip-mirip.”
“Waktunya? Pagi? Siang?
Sore? Malam?”
“Tidak tentu waktu pak.
Kadang lama baru ada, kadang sering.”
“Di perempatan dekat
tinggal saya juga begitu,” ujar seseorang yang baru datang menyela, “dan,
sering sesuatu yang saya kira biasa saja menjadi hal yang besar, rusuh,
tawuran. Entah siapa dengan siapa, entah kelompok mana dengan kelompok mana?
Bingung saya jadinya. Dan kemudian menjadi berita nasional di seluruh televisi,
di semua media sosial, di dunia maya. Riuh. Dan yang saya lebih heran lagi,
beritanya menjadi jauh sekali dari kenyataan yang saya lihat. Menjadi berubah,
tergantung pada kepentingan yang menulis.”
“Masa begitu pak? Kok
sama seperti di sini?”
“Di tempat kami juga
begitu pak.”
“Masa? Kok sama yah?
Bisa begitu.”
Kerumunan itu mereda
dan kembali semula. Deru berbagai kendaraan dan asap yang menyengat hidung
berlomba-lomba mengotori udara. Langit kembali membara menguras keringat yang
bersembunyi dibawah kulit berdaki. Beberapa orang menyeberang di zebra cross,
beberapa orang menyeberang sesuka hati di mana tempat hendak memotong jalan,
melewati pembatas jalan terbuat dari plastik warna oranye yang tiga diantaranya
tergeser dari tempatnya.
Tak ada yang mengira,
tiga orang pengendara motor berknalpot memekakan gendang telinga berhenti kasar
di tempat bekas mobil tadi berhenti. Memarkir motor semi gede malang melintang
menantang kepatutan.
“Kamu tahu siapa yang
memukul wanita yang di mobil, tadi?” seorang dari mereka bertanya membentak
sambil memlototkan matanya yang berkacamata hitam pada anak muda penjaga
warung.
“Tidak bang.”
“Masa’ tidak tahu?! Kau
lihat kan kejadiannya?”
“Lihat bang.”
“Terus, kenapa nggak
tahu?”
“Apa harus tahu?”
“Harus..!”
“Saya bukan petugas
sensus bang! Apa yang mengharuskan saya harus tahu? Mau apa jika saya nggak
tahu?”
Dua temannya, bercelana
jeans ketat berjaket kulit nampak geram menahan emosi. Dikepalkan kuat-kuat
jemarinya, berdiri mengangkang, dengan bibir tersenyum sinis meremehkan.
Badannya yang sedikit kekar bersikap menantang semua orang.
“Buanyak bacot kamu!
Bener tidak tahu?” Nadanya meninggi, tangannya mengepal menunjuk muka.
Pemuda penjaga warung
itu terdiam tenang. Saat tangan orang itu ditonjokkan ke muka, si pemuda dengan
cekatan menangkapnya, memelintir, sebuah hook kiri menghajar rahang. Orang itu
menggelosor. Dengan tambahan tendangan di tulang rusuk, cukup membuat orang itu
diam meringkuk mencium aspal. Tak terima temannya di hajar, dua orang yang lain
melompat menyergap. Dan dengan cekatan, layaknya Jacky Chen, si pemuda bergerak cepat menyarangkan telapak
kaki kanan kirinya ke kedua muka. Mereka terlempar ke belakang, jatuh
tersungkur. Pemuda itu berjalan tenang ke warung, masuk ke ruang tengah,
menghabiskan kopinya yang tinggal seperempat gelas, meraih HP, mencari nama
kontak dan menelponnya, “Saya kira kamu sudah tahu.” Hanya kalimat itu yang
keluar dari mulut pemuda tenang yang membuat tiga orang sok jagoan tersungkur
mencium aspal. Di luar rumah, tiga orang itu berdiri, menyetarter motor,
menggeber-geber sebentar dan lari ke arah barat. Kembali seperti biasa di
tempat itu.
Tak lebih dari sepuluh
menit, tiga orang yang satu diantaranya terseret mobil, mengendari motornya
beriringan dengan kecepatan sedang ke arah utara. Tak menerobos lampu merah,
tidak juga melanggar marka jalan.
Di ujung jembatan
tempat pemuda pemudi menghabiskan waktu sorenya menikmati aliran sungai, tiga
orang berjaket kulit hitam berhenti. Seorang yang tersungkur pertama, meraih HP
dari saku dan menelpon seseorang, “saya pikir pasti kamu sudah tahu.” Tak ada
kata-kata lain, sepertinya di ujung sana sudah sangat mengerti kalimatnya.
Mereka berbalik arah, dan melarikan motornya dengan sedang.
Saat terjadi serempetan
mobil sedan dan motor bebek di perempatan lampu merah di tengah kota, di
sebelah utara, asap tebal membubung di atas sebuah mall terbesar. Serentak sirene
truk pemadam kebakaran meraung-raung menyingkirkan pengendara lain, datang dari
empat penjuru angin. Mobil dan motor menepi memberi ruang. Komandan-komandan
Polisi memerintahkan anak buahnya untuk segera merapat ke pusat asap. Jalanan
menjadi kacau dan macet.
Dari dalam mall yang
pucuknya terus membubungkan asap tebal, berlarian ribuan orang. Membopong
barang-barang , meyeret, memanggul. Berlarian menyelamatkan diri, berlari-lari
dan ada yang mencuri. Berteriak-teriak, “Awas.... awass... cari selamat.....!” Semua cari selamat. Di gedung sebelahnya juga,
berlarian tak tentu jalan. Berteriak-teriak, melonglong-longlong. Anak-anak
menjerit-jerit mencari bapak-ibunya, gadis-gadis bersembunyi, pemuda-pemuda
menghunus kayu dan golok. Orangtua-orangtua berlari-lari mencemaskan
anak-anaknya. Asap membubung lagi di sebelah timur, di sebelah selatan, di
sebelah barat. Penghuni seluruh kota keluar rumah. Berteriak-teriak histeris,
“kota kita sudah tidak aman...”
“Tapi kita mau kemana”?
“Ke kota sebelah.”
“Disana juga tak aman.”
“Disana juga begini?”
“Iya.”
“Lho, tahu dari siapa?
Kok bisa tahu?”
“Iya.’
Seluruh lampu pengatur
lalu lintas di perempatan dan pertigaan jalan tak berfungsi. Ada yang mati, ada
yang berkelap-kelip berganti warna nyala tak teratur, ada yang mati satu arah
jalan. Jaringan listrik terputus di tempat-tempat umum. Pipa-pipa air
tersumbat. Karyawan SPBU berlari ketakutan tempat kerjanya dibakar. Semua
kekacauan terjadi dengan sangat cepat seperti efek domino. Di langit, asap
megumpul menggumpal memayungi, diam tak bergerak. Tak ada angin bertiup yang
membawanya.
Menjelang senja
kekacauan dan asap masih membubung di banyak tempat di empat penjuru angin.
Berbagai upaya seperti sia-sia, karena satunya beres teratasi, muncul lagi
permasalahan baru yang lebih menakutkan. Tak ada seorang pun yang berani di
dalam rumah, karena dapat saja sewaktu-waktu terbakar dan meledak.
Seorang wanita muda
berkulit putih berkaca mata hitam mengendarai mobil sedan, melaju dengan
kecepatan sedang menelusuri jalan-jalan protokol, jalan-jalan pemukiman. Kaca
pintu depan kanan tampak baru dan dibiarkan tanpa dilapisi kaca-film seperti
kaca lainnya. Kepalanya tegak lurus kedepan, rambutnya tergerai sebahu masih
nampak basah dan tak terlalu lebat. Sesekali matanya melirik spion meyakinkan
kanan kiri aman dari kendaraan lain yang sebenarnya jalanan sedang sepi.
Di depan alun-alun, Ia
berhenti. Tanpa keluar dan tak mematikan mesin, Ia menelpon, “cukupkan saja.
Jangan terlalu parah. Akan repot nanti jika terlalu parah.” Nadanya datar tanpa
ekspresi, tanpa emosi.
“Siap boss.” Yang di
ujung sana menjawab tegas tanpa ragu.
Wanita itu menelpon
yang lain lagi, enam kali lagi, dengan kalimat yang sama, dengan nada dan
intonasi yang sama dan mendapat jawaban “siap boss” dari orang yang posisinya
sudah diketahuinya.
Cukup 25 menit,
asap-asap dari gedung-gedung yang terbakar,
reda. Sebelum adzan maghrib berkumandang, kondisi kota sudah kembali normal.
Lampu-lampu pengatur lalu lintas dan lampu-lampu jalan berfungsi kembali.
Ibu-ibu kembali menonton sinetron di televisi yang tak pernah ada endingnya,
yang lakonnya jika bicara dalam batin suaranya terdengar jelas, takut ekspresi
wajahnya tak sesuai. Anak-anak kembali menekuri gadget. Bapak-bapak sibuk
berkomentar di grup WA.
Esoknya, ketika wanita
muda berkulit putih berkaca mata hitam, di lampu merah perempatan jalan, klakson
mobil sedan yang ditumpanginya menjerit mengagetkan pengendara di sekitarnya,
semua diam. Membiarkan seolah tak terjadi sesuatu yang mengagetkan. Ketika
lampu hijau nyala, semua berlari tanpa menghentak gas. Wanita muda itu memutar
lagu regae, tak terlalu keras tak terlalu lemah. Dagunya mengikuti alunan musik
dan bibirnya tersenyum berubah-rubah.
November
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar