Setiap hari, nenek bertubuh gemuk yang cara
berjalannya sudah lamban, sebelum orang-orang benar-benar bangun, Ia sudah
berada di belakang rumah. Mencampur adonan makanan untuk bebek-bebeknya yang
sudah siap menyantap kapan pun makanan itu disajikan. Bebek-bebek itu berjumlah
banyak sekali. Tak pernah berjumlah tetap karena kadang mereka datang dan pergi
tak tentu waktu, tak berkala tetap. Mereka berada dalam satu kandang, tak ada
sekat pemisah. Untuk tempat makan ada sepuluh tempat, kadang dipakai semua,
kadang hanya separuh, kadang tempat makan itu dikumpulkan menjadi satu dan
perebutan itu menjadi lumrah dengan teriakan-teriakan bikin telinga gatal.
Semua bebek punya karakter masing-masing, tapi mereka sepakat untuk kompak
menurut pada nenek bertubuh gemuk yang lemaknya semakin hari semakin membuat
gerakannya tak selincah ketika masih agak langsing meskipun ketika itu pun
gerakannya tak lincah namun kemayu.
Hal yang paling disukai dari nenek itu adalah
pancaran sinar matahari menjelang terbit saat kabut pagi tak seutuhnya menutupi
punggung bukit dan gedung-gedung pencakar langit masih ada beberapa lampu yang
masih menyala dengan sebaran yang tak teratur di ruang-ruang yang tak semuanya
tertutup gordin. Pada matahari pagi itu, Ia bercerita (seperti meminta agar kabut pagi mencatatnya) tentang
kekcewaan dan cita-citanya yang tak semua sempurna tercapai. Kemudian pada
bebek yang sedang beristirahat di bawah pohon sambil menata isi perut yang
kelewat batas kenyang, nenek itu menyampaikan harapannya dan selalu
menyampaikan salam yang katanya titipan dari matahari pagi yang selalu
tersenyum, bangga bisa berkirim salam untuk bebek-bebek. Di akhir cerita si
nenek, bebek-bebek tak pernah lupa bertepuk tangan sambil berdiri menghadap
poster besar yang di tempel ditembok. Sebuah gambar seorang lelaki dengan sinar
mata yang tajam penuh denga optimisme, tangan kiri lurus ke bawah mengepal,
tangan kanan mengepal kuat di depan dada kanan seperti hendak merengkuh dunia.
Ia menatap lurus tiga puluh lima drajat dengan bibir terkatup antar senyum dan
keyakinan sebuah kemenangan yang akan dicapai.
Seusai meladeni bebek-bebek, sang nenek berjalan
ke ujung tenggara untuk memberi umpan ikan-ikan koki dan ikan emas yang selalu
menyambut dengan mengibaskan ekor-ekornya sehingga menimbulkan riak dan
cipratan kecil pada kaki. Pada sebuah saung kecil, Ia sering berlama-lama
menikmati polah ikan-ikan sambil mengunyahan kinang sehingga bibirnya memerah
karenanya. Pada pasir yang disediakan Ia membuang ludah kinang.
Jika akhir pekan (Ia selalu berharap akhir pekan
setiap hari) Ia sedikit melupakan para bebek dan ikan koki di belakang rumah,
duduk di teras depan menunggu cucu-cucunya datang. Meski sering tak datang dan
tidak pada waktu yang teratur, menunggu cucu menjadi kegiatan yang dinikmati
dengan memberes-bereskan pot-pot bunga atau menata ulang posisinya.
“Kau dengar cucuku. Jika ibunya atau anak nenek
yang lain tak bisa memenuhi cita-cita nenek, kau yang harus mencapainya,
harus.” Itu kalimat yang sering sekali keluar dari nenek itu.
“Cita-cita apa nek?” jawab si cucu sambil berlari memancat
pohon jambu sekedar menjawab tanpa berniat meladeni. Semua cucunya, hafal
sekali kalimat itu. Semua sudah bosan, hanya saja tak berani menykiti hatinya
jika tak menggubris.
Akhir pekan, bebek-bebek memanfaatkan kesempatan
untuk bersuka ria bebas dari pengawasan. Mereka berusaha melompat melewati
pagar rumah. Susah payah mengepak-kepakan sayapnya sampai kemudian bertumpukan
berdiri dipunggung seperti layaknya lomba panjat pinang pada acara 17-an.
Tetapi tidak semua seperti itu, ada yang bisa terbang tinggi seperti burung,
mereka adalah Tongki, hasil
‘perselingkuhan’ antara bebek dengan Soang yang luput dari pengawasan Si Nenek
yang kadang sering tak mau mendengar nasehat yang tak sesuai dengan pikirannya.
Nalurinya untuk berkuasa dan rasa ingin membuktikan kalau Ia masih punya energi
dan punya mampu tak bisa dibendung. Ia masih terus merangsek maju. Tak peduli
kanan kiri jalan yang meragukan kemampuannya.
Bebek-bebek piaraannya memang cerdas-cerdas, dan
bebek yang ikut nimbrung masuk dalam kandang berdandan baju empati juga tak
kalah cerdas. Mereka pandai sekali memanfaatkan celah momen untuk menarik bebek
lain agar bergabung dalam kelompoknya sebagai penggembira, untuk meriuhkan
tepuk sayap agar membubung jauh tinggi ke langit. ‘Ketua kami punya warisan
karisma yang tidak di miliki oleh ketua lain’, demikian para bebek pengikutnya
sambil terus tersenyum pada si nenek dan akan dibalas dengan senyuman kecil di
ujung bibir sebelah kanan, dan ludah kinang berwarna merah meluncur dari
bibirnya yang merah belepotan. Bebek-bebek bersorak, kwkkwkkwk... Bebek-bebek
di kandang sebelah kanan kiri pun ikut bersorak, sorak dengan nada lain, sorak
dengan beberapa oktaf. Sorak dengan beraneka lengkingan dan siulan seperti
kernet bis memberi aba-aba pada calon penumpang dan para pengguna jalan lain.
Sebatang bambu kecil yang pangkalnya sebesar ibu
jari dengan panjang empat setengah meter, diujungnya sehelai bendera kecil
warna merah, menjadi alat untuk menggiring para bebek yang kadang dengan
sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar keluar dari barisan.
Bebek-bebek itu memang banyak polah. Mereka cari perhatian, berkoar-koar
memekakkan telinga, bersahutan tak ada yang mau mengalah berhenti dulu.
Berjalan bukan pada jalan yang disediakan, berlari-lari berkejaran pada
rerumputan yang jelas tidak boleh diinjak. Sering ayunan bambu penggiring agar
semua bebek tertib, tak menyalahi aturan, dibalas dengan suara mengejak tapi di
kemas seolah setuju apa yang di inginkan si nenek.
Pernah kandang bebek itu kedatangan seekor bebek
berbulu warna-warni seperti pelangi dengan dominasi warna hitam agak ungu
mengkilap. Badannya tegap dengan cara berjalan meyakinkan dengan roman muka
sopan dan tutur suara santun. Semua bebek curiga termasuk si nenek yang
langsung mengusung muka tak senang saat menyambutnya. Dan si bebek itu sudah
punya cara agar mereka bisa segera menerimanya menjadi teman. “Maaf,
kawan-kawan. Saya tak mau kedatangan saya menjadi sesuatu yang tidak baik bagi
kawan-kawan semua. Saya datang ke sini sudah melalui proses pemikiran yang
panjang, njlimet, berkali-kali, sampai kemudian memutuskan. Ini adalah
keputusan yang terbaik dan saya akan buktikan itu.” Kata si bebek mengakhiri
kata-katanya yang panjang berlama-lama, berulang-ulang. Melalui senyuman
sederhana yang megesankan dan tatapan mata tajam meyakinkan, Ia telah berhasil
membius semua bebek dan akur dengan kemaunnya. Si nenek manggut-manggut sambil
mengunyah kinang, berdiri menghampiri, mengulurkan telapak tangan kanannya
menawarkan bersalaman.
Keguyuban ala mereka, berkwak-kwek bersama,
berlarian beriringan, berebut makan dan buang air sembarangan menjadi hal terus
mengasyikan. Si nenek menikmatinya. Ia akan segera mengangkat bilah penggiring
jika ada bebek yang gemrungsung berjalan
berlari di luar jalur, keluar jalur, maka
para bebek berkekek-kekek berjalan setengah bungkuk sambil bernyanyi, sambil
tertawa, ada yang menyikut kanan-kiri pura-pura bercanda, ada yang memang bercanda
membangun suasana gembira bersama. Bebek-bebek yang sebelum bergabung berbulu
warna-warni kini semuanya seragam, hitam agak kelabu mengkilap. Mereka sepakat
akan terus membuat sang nenek senang, akan terus menjadikannya sebagai induk
asuh tak tertandingi. Hanya si nenek yang mempunyai warisan karisma yang tak
mungkin dipunya orang lain. Ia telah menjadi seorang pemimpin sejak lahir,
bahkan sebelum lahir. Sebuah kepemilikan yang tak bisa dibeli atau pun ditukar.
“Hidup nenek mulia, hidup nenek mulia..!” Para
bebek berteriak serempak mengelu-elukan sang nenek ketika naik panggung dengan
latar belakang tembok bergambar lelaki dengan tatap mata tajam meyakinkan.
Sayap mereka di kepak-kepakan dengan penuh semangat, sepenuh jiwa, sepenuh
tenaga. Suaranya melebar keluar pagar rumah sebelah, menjadikan para tetangga
mendengar dan mengintip.
Pada ruangan khusus, para bebek sering berdiskusi
sambil menikmati makanan khusus dengan konsentrat dengan takaran yang
sedemikian rupa sehingga lidah mereka sangat merasa nyaman dan enak. Mereka
senang sekali dengan acara ini. Sering sekali tempat itu tidak cukup menampung
peserta. Beragam tujuannya memang, ada
yang benar-benar ikut bersikusi dan aktif berbicara, ada yang sekedar ingin
menikmati makanannya, ada yang sekedar mengomentari apa yang sedang menjadi
topik pembicaraan dengan analisa ngawur untuk menjadi bahan tertawaan, ada yang
seperti acuh tak acuh tapi mengikuti arah pembicaraan dan mengingat keputusan
yang diambil, dan sibuk terus berpikir tindakan apa yang harus di tempuh
dikemudian hari. Diakhir pertemuan para bebek berkwek-kwek bersama sambil
melompat serempak sampai ke kandang untuk kemudian tidur mengarungi mimpinya
masing-masing. Mimpi yang kadang dan sering diimpikan oleh bebek lain.
Tak banyak yang bebek yang peduli ketika ada lima
bebek yang berdiam di atas telur-telur yang mengumpul pada cekungan-cekungan
dengan alas jerami dan rumput kering yang tak lagi hijau. Hari pertama, kedua
dan ketiga, mereka dianggap sedang bermalas-malasan karena ada diantara mereka
yang suka begitu seharian. Dihari kelima kecurigaan yang tadinya tersimpan
dalam benak masing-masing mulai keluar.
“Tak ada kaum kita, kaum bebek yang mengeram.
Mereka bukan kaum kita, bukan jenis bebek seperti kita.”
“Tapi rupa mereka bebek. Bebek seperti kita.”
“Tapi mengapa mereka mengeram. Apa mereka mau
merubah tradisi kita? Apa mereka mau membuat tradisi baru? Apa mereka bukan
bebek asli?”
“Bisa saja. Coba kita perhatikan, bulu mereka tak
seluruhnya seperti kita. Ada bedanya, coba perhatikan dengan seksama dan jeli.”
Para bebek berebut mengerumuni bebek yang sedang
mengeram dan memperhatikan dengan sejeli-jelinya. Tak ada beda, sekilas atau
dilihat dengan agak lama pun warna mereka sama. Jika nampak ada beda warna bisa
saja karena sugesti pertama melihat. Mereka memang rapi sekali menyembunyikan
bulu-bulu yang beda, jika pernah ada yang lihat itu karena ketidaksempurnaan
menutupi bulu karena terlalu yakin telah begitu rapi.
Di hari ke tujuh, ketika para bebek sudah begitu
riuh, kelima bebek itu bangun beranjak ikut makan yang disediakan oleh si
nenek. Sesudah makan, dikerumuni bebek-bebek penasaran kelima bebek itu
menjelaskan kelakuannya.
“Para saudaraku sebangsa bebek. Kita memang tak
biasa, tak bisa, dan tak punya tradisi mengeram. Dan sekarang kami, akan dan
telah memulainya. Jika kita bisa melakukan itu kenapa tidak kita lakukan?”
“Nada suaramu bukan suara ‘bangsa’ kita, kau bohong!” teriak bebek jantan muda
di baris terdepan dengan sambil mengangkat kedua sayapnya tinggi-tinggi.
Beberapa bebek yang lain berteriak membetulkan. Terjadi perdebatan tak tentu
arah, semakin lama semakin ramai riuh rendah.
Salah satau dari kelima bebek itu mengakhiri
ucapannya, “Maaf, kami akan terus melanjutkan kegiatan kami sampai telur-telur
kami menetas. Kalian semua akan tahu nanti.”
Di minggu ke tiga hari ke dua puluh satu selepas
dhuhur ketika bayangan sudah mulai lebih panjang dari bendanya, telur yang di
erami lima bebek menetas. Menetas dalam waktu hampir bersamaan dengan selisih
terlama 3 menit setengah. Ada dua puluh lima anak bebek yang langsung menguik
bersahutan. Anak-anak bebek itu bulunya hitam berkilat-kilat, ekornya panjang
seperti ekor burung dara dan paruhnya yang besar lancip dan tajam, jari-jari
kakinya berkuku tajam tanpa selaput di sela jemari.
Para bebek berkerumun, berkwek-kwek heran.
Beberapa ada menyeruduk menyerang penuh nafsu kecurigaan. Segera mendapat
dukungan, bebek yang lain ikut menyerang dengan ganas. “Kalian pasti unggas
lain yang akan merusak keberadaan kita!” tuduhnya. Tapi bebek yang baru lahir
itu melesat terbang ke dahan pohon di atasnya. Di dahan mereka berubah menjadi
rajawali gagah perkasa. Tanpa di komando mereka segera menyerang bebek-bebek di
bawahnya. Para bebek pontang panting berhamburan mencari selamat. Si nenek yang
sedang menonton tivi acara memasak istimewa untuk bebek, segera beranjak ke
luar rumah.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi..?”
Para bebek serempak menjawab dari
persembunyiannya, “Kwek... kwek.... kwekkkkk...!” bunyi kwekkwek lebih ramai
lagi ketika para rajawali menyambar muka si nenek bergantian dan hampir
membuatnya terjengkang. Beruntung tangan kanannya masih bisa menyambar tiang
teras untuk berpegangan. Ia segera mengambil bilah penggiring. Diacungkannya
pada rajawali-rajawali yang bertengger didahan, maka suara letusan melesatkan
peluru dari ujungnya menyasar rajawali-rajawali. Para rajawali menghindar,
menukik ke bawah menyerang bebek-bebek. Bebek-bebek tunggang langgang cari
selamat. Beberapa ada yang kena patuk di kepala dan cakar rajawali,
berdarah-darah. Bebek-bebek yang bisa terbang, segera melesat terbang sambil
membuang kotoran. Di bawah kursi, di balik batu-batuan, di balik tembok, di
bawah ranjang, di bawah meja, di bawah kandang bebek-bebek berebut bersembunyi.
Di atas panggung si nenek berdiri di belakang
podium. Dengan suara gemetar menahan emsoi Ia berteriak, “ Tenaaang... semuanya
tenang. Percaya pada saya, segalanya bisa saya atasi. Semua tenang dan tetap
diam di tempat masing-masing!”
Para rajawali menatap tajam jalang ke bawah
mencari bebek-bebek. Terus menyerang dan menyerang sampai senja mejelang malam,
sampai hari menjadi gelap. Bebek-bebek bersembunyi rapi tanpa suara, lengang.
Dengan gelisah si nenek masuk rumah, menyalakan tivi, membuat teh hangat dan
duduk di kursi goyang di sebelah meja yang di atasnya berserakan remote control rusak.
Dipagi yang berkabut, si nenek baru terbangun oleh
cucu-cucunya yang kadang biasa datang di hari minggu pada minggu terakhir.
Seluruh lantai rumah kotor, bekas telapak kaki bebek-bebek memenuhi seluruh
lantai. Lemari-lemari makanan terbuka, berserakan bekas bungkusnya. Si nenek
segera berlari ke belakang rumah. Cucu-cucunya sedang bermain di kolam dengan
tanpa seekor bebek pun mengganggu. Ia tak mendapati seekor bebek pun. Ia segera
berlari terpincang-pincang ke panggung, berdiri gemetaran, “Bebek-bebek
pulanglah. Kembali ke sini. Jangan takut pada rajawali-rajawali keparat itu.
Aku akan membuatnya bertekuk lutut di hadapanku, menyembah. Pulanglah,
kembalilah...”
Tak ada bebek yang menyahut. Tak ada yang datang.
Sampai tengah hari, si nenek terus berteriak-teriak hingga suaranya serak,
lirih, kemudian tak terdengar. Ia terkulai lemas di panggung bersandar pada
podium. Cucu-cucunya menggotongnya ke kamar, ditidurkannya terlentang,
dinyalakannya tivi dan mereka kembali bermain di luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar