Cerpen
Sehabis upacara apel pagi, di sebuah lapangan yang di pinggirnya ditumbuhi pohon-pohon rindang, di dekat tiang bendera yang menjulang tinggi sepertiga tinggi gedung, sebuah nama tertinggal. Ia tergolek tak berdaya berlumuran debu. Ia berusaha bangkit dan mencari-cari orang yang selama ini mengenakannya. Ia tatap langit; matahari masih di langit timur, ada dua burung dara beradu terbang dengan suara sawangan terus menjerit, bendera merah putih agak lusuh berkelebat searah angin ke barat, sebuah pesawat terbang bergegas berlari ke timur meninggalkan asap putih di belakangnya.
Sehabis upacara apel pagi, di sebuah lapangan yang di pinggirnya ditumbuhi pohon-pohon rindang, di dekat tiang bendera yang menjulang tinggi sepertiga tinggi gedung, sebuah nama tertinggal. Ia tergolek tak berdaya berlumuran debu. Ia berusaha bangkit dan mencari-cari orang yang selama ini mengenakannya. Ia tatap langit; matahari masih di langit timur, ada dua burung dara beradu terbang dengan suara sawangan terus menjerit, bendera merah putih agak lusuh berkelebat searah angin ke barat, sebuah pesawat terbang bergegas berlari ke timur meninggalkan asap putih di belakangnya.
Ia berteriak, “Hai... Siapa yang namanya tertinggal.” Tak ada sambutan suara yang Ia keluarkan penuh tenaga. Semua aktifitas manusia tetap berjalan tak sedikit pun suaranya itu terasa pernah lewat. Mungkin tak ada orang yang mendengar suaraku, pikirnya, atau mereka pura-pura tak mendengar? Mereka tuli. Mereka sudah tuli. Mereka pura-pura tuli. Mereka telah segera menutup telinga dengan kertas, dengan angka, dengan huruf, dengan ballpoint.
Gedung di hadapannya tetap diam tanpa komentar pasrah menerima segala apa saja perilaku penghuninya. Ia berjalan ke arah pintu kaca tebal yang akan terbuka sendiri jika ada sosok manusia mau lewat. Ia berdiri di depannya, pintu tetap diam tak bereaksi. Sinar infra merah tak bisa membaca sosok sebuah nama tanpa ada yang mengenakannya. Ia maklum itu, maka untuk bisa masuk ke dalam gedung Ia mesti menunggu orang yang mau lewat. Membukanya secara manual Ia tak punya kekuatan tenaga untuk melakukannya. Ia mencoba melihat keadaan di balik pintu kaca hitam. Ditempelkannya seluruh muka pada kaca, tak banyak orang di ruang dalam. Dua orang satpam duduk di belakang meja yang di tepinya ada sebuah tulisan ‘tamu harus lapor’. Ada dua pot besar berisi tanaman hias berdaun hijau terawat tanpa bunga mengapit dua pintu lift. Sesekali orang bergegas masuk keluar membawa kertas. Di sisi kanan kiri pintu lift ada dua buah tangga, setiap sela satu anak tangga di tepi kanan kiri ada pot dengan bunga-bunga segar warna-warni.
Ketika dua orang yang baru saja keluar dari mobil bergegas masuk gedung, Ia segera mendekat bibir pintu, berkelit masuk ketika pintu terbuka. Ia mengikuti langkah dua orang itu yang masuk ke dalam lift. Ia sebenarnya sudah sangat tahu seluk beluk gedung itu, tapi untuk sekarang Ia tak bisa leluasa masuk ke setiap pintu karena tak lagi punya tenaga untuk membuka.
Sampailah mereka pada sebuah pintu menuju ruang rapat dengan sebuah meja melingkar persegi panjang tanpa sudut dikelilingi orang-orang yang duduk di kursi-kursi empuk. Saat pintu terbuka penuh Ia kenal muka-muka yang saling berhadapan. Dua orang yang diikutinya segera menuju ke dua buah kursi yang masih kosong dan semua orang di dalam ruangan itu terbelalak melihat sesosok nama yang berkelebat mengikuti. Semua sorot mata menyuarakan ketidaksenangan pada kehadirannya. Nampaknya kedua orang yang diikutinya itu belum menyadari.
“Maaf Pak, apa tidak sebaiknya Ia tak ada di sini?”
“Yang mana?” Matanya mengikuti telunjuk orang yang berbicara. “Singkirkan!”
Seseorang segera menelpon satpam.
Tak sabar menunggu sekuriti datang, dua orang di kursi terdekat bangkit berdiri dengan pistol di tangan, “Keluar kamu! Atau saya tembak! Keluaar!” Tangan kekar mereka secara bersamaan meraihnya, menyeretnya ke tepi jendela dan melemparkan dengan penuh tenaga. Sebenarnya Ia bisa menghindar dan berkelit seperti belut agar bisa lepas dari cengkeramannya atau tetap diam jika ditembak, karena itu tak akan melukainya, tapi Ia memilih untuk pasrah agar tidak merepotkan dua orang yang sedang menjual muka. Ia terjun bebas dari lantai sembilan. Rasa ngerinya hilang ketika menyadari dirinya melayang tidak meluncur deras ke bawah. Ia melayang ke setiap tempat tanpa bisa mengendalikan ke mana Ia mau, melayang dengan main-main di sela-sela gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh tak kenal musim. Memandangi aktifitas penghuni gedung dari jendela-jendela kaca yang memantulkan seluruh cahaya matahari yang menimpanya. Ia bisa melayang cepat seperti burung Walet mengejar mangsa dan bisa melayang berputar-putar seperti burung Rajawali, menentang arus angin, menyusup di sela-sela gang sempit, melayang di atas pemukiman mewah, di atas pemukiman kumuh, di atas kawasan industri, di atas pasar, di atas sungai-sungai tertutup sampah.
Satu hal yang kemudian baru disadarinya setelah Ia cukup lama berterbangan di angkasa, setiap melewat di sisi-sisi gedung perkantoran segera saja penghuninya menutup daun jendela, menguncinya sambil sedikit melirik dan menyembunyikan muka. Tak tahu siapa-siapa mereka, tetapi Ia yakin sekali kalau mereka mengenalnya dan juga yakin bos-bos mereka pasti mengenalnya dan ada beberapa diantara bos-bos itu yang kenal. Bos-bos yang dulu rela membuang waktu menunggu di depan pintu kantornya mencari sela waktu untuk menemui. Siapa yang tak kenal nama yang puluhan tahun terakhir begitu sering di ucapkan dan dituliskan di setiap media massa. Hanya orang tuli dan orang yang tak bisa membaca huruf apapun yang tak mengenalnya.
Meski semua pintu dan jendela ditutup, sebenarnya sosok nama itu bisa saja masuk lewat lubang-lubang ventilasi atau lubang apapun di tembok, tapi Ia sadar betul itu akan mengganggu aktifitas kerja para karyawan yang berarti pemborosan waktu yang berimbas pada produktifitas dan efesiensi. Juga akan merepotkan para satpam yang harus menerima tugas mendadak dari atasannya untuk mengusir. Lagi pula tak ada keperluan apa-apa.
Melayang di udara menjadi pengalaman baru. Memandang bebas dari atas setiap kesibukan manusia. Di mana melayang, Ia melihat orang-orang di bawahnya memandangnya dengan sorot mata beragam ekspresi. Tak jarang mereka memaki, mencemooh, mencibir, mengacungkan kepalnya kuat-kuat, juga ada yang mengharapnya turun, megelu-elukan menyanjung, memuji, berterimakasih. Ia kemudian mulai menyadari pada siapa selama puluhan tahun melekat, disandang, dipertandakan untuk memanggil seseorang. Seseorang yang telah meninggalkannya, entah disengaja atau tidak, di lapangan seusai upacara apel pagi hari.
Tak ada sama sekali keinginan untuk protes pada orang yang telah begitu lama memakainya dan menelantarkannya, karena sekarang tak lagi punya emosi dan nafsu. Semua datar, tak ada gairah, tak ada komentar, tak ada kesal, tak ada keinginan. Seperti sebuah garis lurus yang tak ada ujung pangkalnya.
Melayang di atas sebuah pasar yang sibuk dengan kegiatan tawar menawar dan transaksi jual beli. Hinggap di atas sebuah atap mini market. Satu dua orang melihatnya dan dalam beberapa detik ratusan orang memandanginya.
“Dia yang dulu membangun pasar ini!”
“Dia juga yang sebelumnya membakarnya!”
“Dia yang memberikan banyak sumbangan ketika kami kebanjiran!”
“Tapi Dia dapat untung besar dari situ.”
“Ah yang benar?”
“Dulu kita begitu takut sama Dia, sekarang mumpung Dia tak lagi punya tanduk, kita seret Dia, kita hajar Dia, biar tahu bagaimana rasanya jadi orang pesakitan!”
“Jangan!”
“Lho,..”
Kegaduhan cepat sekali meluas. Halaman mini market itu dipenuhi orang, hampir tak ada ruang sekedar untuk berdiri leluasa. Sekawanan pencopet segera memanfaatkan keadaan dengan begitu banyak kesempatan. Yang merasa kakinya terinjak, balas menginjak sambil mendorong dan beberapa orang disekitarnya ikut terhuyung. Sikut menyikut dan makian telah termulai.
“Tenang. Bisakah kalian semua bersikap tenang?” kata sosok nama itu dengan suara lantang.
Tak ada jawaban. Apa mereka tak mendengar? Pikirnya, atau mereka sengaja tak mendengarkan, atau tak ada suara yang keluar? Eskalasi keributan makin cepat.
Keadaan segera bertambah buruk. Ia perlahan membubung tinggi di udara dan melayang pelan diikuti tatapan mata dengan mulut melongo. Di bawahnya suara ‘huuuuu’ mengiringi kepergiannya dan keributan pun perlahan mereda. Melayanglah Ia tanpa beban, lepas sekehendak alam.
Angin membawanya ke begitu banyak tempat. Ingin sekali membawa dirinya terbang tinggi ke langit ke tujuh agar bisa istirahat menikmati angin sepoi yang tak pernah putus. Tapi, segala keinginan tak lagi bisa membawanya seperti yang tersirat di hati. Lepas bebas dari ikatan kepentingan nafsu.
Berkelebat cepat dan kemudian melayang-layang pelan di atas perempatan jalan yang penuh dengan kendaraan yang sedang menunggu nyala lampu hijau. Seorang anak pengamen melihatnya dan berbisik pada temannya,”Hei, lihat di atas, Dia yang dulu membagi-bagi uang pada kita. Ayo kita panggil agar turun dan kita bisa minta uangnya lagi.”
“Heiii. Turun ke sini!! Mari bersama-sama kita menari dan bernyanyi. Hei, bagi-bagi uang lagi!”
Teriakan dua pengamen itu menyedot perhatian semua orang yang ada di situ. Semua pengendara kendaraan membiarkan kendaaraanya berhenti. Semua penumpang angkutan keluar. Semua menengadahkan muka memandangi kelebatan nama yang mengambang tenang dua puluh meter di atas tanah. Perempatan jalan yang telah sesak oleh mobil dan motor ditambah lagi keliaran orang yang tak lagi memeperhatikan lampu merah yang telah berganti lampu hijau berulang kali. Mesin-mesin menggeram lupa tak dimatikan.
“Heii.... Turun kamu! Ku injak-injak kau. Heii... Pengecut! Hadapi aku satu-satu, jangan cuma mengandalkan body guardmu!”
“Dia banyak berjasa pada keluargaku. Dua anakku dapat rekomendasi darinya dan langsung dapat kerja.”
“Aku pernah menang besar di meja judi dengan Dia.”
“Dia itu seleranya estewe.”
“Dia penyumbang terbesar saat pembangunan Masjid di kotaku.”
Di tengah perempatan jalan, mobil mengumpul jadi satu seperti sampah di bekas pusaran air. Macet total. Klakson mulai menjerit-jerit. Mesin digeber-geber pemuntah amarah. Kepal mengacung ke udara mencari sasaran. Keributan dan kekerasan telah begitu cepat terjadi. Darah dan keringat pertama telah menetes. Sosok nama itu ingin sekali pergi melayang cepat seperti saat di pasar agar keributan dapat mereda dan berhenti, tapi Ia tak bisa melayang seperti yang dikehendaki. Ia hanya melayang pelan di atas jalan ke arah timur di atas papan-papan iklan dan jembatan penyebrangan. Angin yang bertiup kencang tak membawanya melayang cepat.
Di atas sebuah sekolah saat jam istirahat, seluruh murid memandangi, berteriak-teriak, memaki, mengangkat kepal tangan, mengacungkan jempol, menunjukkan jari kelingking. “Hei... Turun sini! Bagi-bagi duit.!”
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja keributan sesama siswa telah termulai. Cepat sekali menular. Setiap kata yang keluar adalah bara yang membakar seluruh cadangan amarah. Mereka saling pukul, saling lempar batu, saling jambak, saling caci, mengeluarkan obeng dan pena tajam dari dalam tas dan menghunusnya.
Seperti pasukan anti huru hara, seluruh guru keluar dari kantornya berusaha meredam dan menghentikan keributan.
Di tengah halaman depan, ketika murid-murid telah menghentikan keributan dan mulai melangkah ke dalam kelas seorang guru senior berkata, “Itu sejarah. Biarkan saja. Kalian semua dapat mempelajarinya.”
Sosok nama itu ingin sekali pergi melesat tinggi agar taka ada seorang pun yang melihatnya. Telah tiga kali Ia tampak di atas kerumunan orang, di situ pula terjadi keributan yang terjadi begitu cepat. Ia tak ingin lagi melayang di atas orang. Ia ingin sekali pergi ke tempat yang bebas dari celaan ataupun pujian. Dan terus melayang ke setiap tempat di luar kendali keinginannya. Terus melayang ke mana saja yang Ia tak pernah tahu kemana arahnya. Tak tahu cepat lambatnya. Tak tahu apa tujuannya. Ia pun berdoa, “Tuhan, hilangkanlah aku. Lenyapkanlah aku. Agar tak ada orang yang melihat. Agar tak ada kerumunan orang yang berubah menjadi peperangan hanya karena melihat sosokku; selembar nama.”
Ia terus berdoa meski merasa suaranya begitu hampa, merasa tak didengar oleh Tuhan. Telah berada di dalam waktu yang tak lagi menerima doa dan harapan. Berada dalam posisi yang mau tak mau harus menerima segala apapun dari sekitarnya. Agak sedikit terhibur ketika berada di atas sebuah bukit hijau dengan aneka ragam kicau burung. Tersenyum lepas ketika melayang di atas para petani yang sedang memanen padi dan memandangi burung-burung mencari makan di sekitarnya. Bisa lebih menikmati dengan tak ada orang yang melihatnya karena kesibukan bekerja.
Ia ingin selalu diatasnya. Memandangi orang-orang mengisi hidup tanpa terbebani bagaimana mempertahankan kekuasaan dan kekuatan yang begitu banyak orang ingin memilikinya. Bercengkerama dengan alam, menikmati suara angin membelai dedaunan hijau. Atau kalau pun harus melayang ke segala penjuru arah, tak menjadi pemulai dari keributan yang tak dimengertinya.
Ia ingin orang tak lagi pernah mengingatnya. Tak pernah lagi orang tahu siapa dulu yang mengenakannya dan meninggalkan begitu saja di lapangan tanpa membekali peta.
Ia ingin dunia lupa. Tapi, alam telah mencatatnya dengan tinta yang tak pernah bisa dihapus. Mencatat dengan seluruh huruf yang ada di jagat raya dengan dapat dibaca oleh setiap orang, yang buta huruf atau yang buta dan tuli pun.
Terus melayang. Kadang cepat kadang lambat. Kadang tinggi kadang rendah. Melayang diluar kendali keinginannya, memasuki semua aktivitas manusia.****
September 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar