cerpen
djayim.com
Jika hanya menginginkan kenyamanan di tempat ini, sebaiknya jangan dulu atau samasekali tak mendengar cerita tentangnya. Puncak bukit yang tak terlalu tinggi ini, selalu ada semilir angin yang berhembus pelan tak pernah tergesa dari arah yang berbeda. Jika pagi, kita bisa menyaksikan mentari yang muncul perlahan di ujung timur di dada bukit yang tengadah dengan tetumbuhan yang samar, dan jika senja, matahari terlambat terbenam pada pangkal rerimbunan pohon pinus yang berjajar rapi di punggung bukit yang tenang membisu. Burung-burung tak pernah berkicau over acting, hanya sekedar bunyi dan lewat terbang saja. Tiga pohon rindang menjadi peneduh.
Jika hanya menginginkan kenyamanan di tempat ini, sebaiknya jangan dulu atau samasekali tak mendengar cerita tentangnya. Puncak bukit yang tak terlalu tinggi ini, selalu ada semilir angin yang berhembus pelan tak pernah tergesa dari arah yang berbeda. Jika pagi, kita bisa menyaksikan mentari yang muncul perlahan di ujung timur di dada bukit yang tengadah dengan tetumbuhan yang samar, dan jika senja, matahari terlambat terbenam pada pangkal rerimbunan pohon pinus yang berjajar rapi di punggung bukit yang tenang membisu. Burung-burung tak pernah berkicau over acting, hanya sekedar bunyi dan lewat terbang saja. Tiga pohon rindang menjadi peneduh.
Di bawah pohon berdaun
kecil-kecil memanjang dengan totol-totol warna kuning dan kemerahan, kita bisa
duduk di atas batu sebesar kepala orang dewasa dan bersandar. Banyak orang
menyebutnya Puriang dan banyak lagi orang menyebutnya pohon Puring, itulah
makanya tempat tumbuhnya di sebut Igir Puring. Pohon itu ditanam sekitar tahun
20an, kalau di runtut dengan sejarah Indonesia, menjelang ketika para pemuda
berikrar Sumpah Pemuda di Batavia. Dan dibawah batu sebesar kepala itulah jasad
seorang yang ikut dalam pergerakan pemuda yang menghimpun sebuah kesatuan tekad
anak-anak muda Indonesia yang melahirkan
Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Perlu perjalanan tiga
hari berkuda dan setengah hari naik kereta untuk sampai ke Batavia. Dari
desanya Ia menuju Cirebon untuk dan menitipkan kudanya pada teman
seperguruannya. Ide-idenya yang banyak menjadi dasar pemikiran pemuda kala itu.
Ia tak pernah mau tampil sebagai penyampai dan menikmatinya menjadi penyokong
yang tak perlu tampak muka. Sikapnya yang tegas, pendiam dengan pandangan
matanya yang tajam, membuat siapapun yang berhadapan dengannya akan segan. Pun
gadis-gadis yang terpesona oleh kegagahannya. Dan Ia memilih untuk tetap
tinggal di sebuah dusun kecil dari tiga dusun di desanya. Mengirimkan tulisan-tulisanya
lewat seorang pedagang kain yang sebulan sekali belanja di kota. Pada saat
kongres pemuda itu berlangsung, Ia tak bisa hadir. Banyak teman-temannya yang
mempertanyakan ketidakhadirannya, tapi alat komunikasi tak cukup untuk memberi
jawaban dan menjadikan sebuah misteri bagi mereka. Tak ada kabar tentangnya sampai
kejadian di sebuah puncak bukit pada sebuah sore menjelang senja dengan gerimis
kecil yang tak berhenti sejak matahari sedikit condok ke barat.
“Jangan pulang dulu
Kakak, nanti kamu pas senjakala masih di tengah perjalanan.”
“Saya harus cepat
sampai rumah.”
“Waktu begini tak cukup
aman untuk berangkat pulang.”
Menahan pulang Saiman,
bukan hanya kali itu. Setiap kali Keni menjumpai Saiman hendak pulang dari
rumahnya. Dengan nada wajar, tak juga tersembunyikan getar rasanya pada Saiman.
Berbagai alasan selalu saja ada. Saiman mengerti itu, tapi Ia tak ingin
berlarut, dan lebih sering memilih menghindar berkelit santun.
Ayah Keni seorang tetua
kampung. Seorang yang paling tua dan dipercaya warga di tiga dusun dalam satu
kampung yang belum layak di sebut desa. Petuah dan petunjuk Ki Ranu menjadi
pertimbangan terakhir dalam sebuah keputusan yang berkait dengan adat dan
lelaku hidup. Kata-katanya yang pelan dengan penuh pertimbangan membuat orang
yang mendengarnya sering tak sabar.
“Berhentilah nak. Jangan
selalu berharap.”
“Tidak ayah. Saya tak
akan pernah berhenti.”
“Ayah tahu dari suaranya,
dari sinar matanya, dari gerakannya.”
“Ayah tidak tahu.
Perasaan saya lebih tajam Ayah. Saya seorang wanita yang sangat tahu tentangnya.”
“Tapi...”
“Ayah. Kenapa ayah
tidak membantuku dan membuatku tenang?”
Hening. Sepi. Angin
mengalir tenang dan berhenti di buritan. Angin yang seharusnya menyejukkan itu,
tidak bagi Keni, angin seperti mencibir mentertawakannya. Bertahun-tahun Ia
berharap dan tetap menyimpan harapan itu dalam hati seorang wanita yang kadang
lembut kadang meradang.
Tak dimengerti banyak
orang kenapa Saiman tak menyambut cinta Keni, gadis lembut bermata hitam bulat
diatas hidungnya yang pas sekali ukurannya dengan bentuk wajah bulat telur.
Bibirnya yang selalu basah, akan sangat enak dipandang dalam kondisi apapun;
senyum, marah, cemberut. Rambutnya yang sebahu, hitam berkilau dan selalu
bergelombang jika Ia berjalan lincah. Mungkin sebanding dengan Annelies Mellema*)
gadis yang hidup di istananya yang sepi di tempat lain nan jauh di waktu yang
berbeda. Tapi, Keni tak ada darah indo dan kulitnya jauh lebih memikat dengan
warna sawo matang yang bersih. Jika Saiman masih tetap tak membuka hati
untuknya, apa karena menunggu saat yang tepat?
Keni anak tunggal yang tinggal
bersama Bapaknya yang belasan tahun tetap menduda. Rumahnya sedikit berjauhan
dari sekelompok rumah yang ada di sebelah utaranya. Di belakang rumah mengalir
kali kecil yang airnya mengalir sepanjang tahun dan tak keruh setelah hujan.
Dengan sebilah bambu, air kali itu dialirkan ke rumah dan sebagian ke kolam
kecil tempat ikan menari-nari dan beranak pinak.
Di sekitar rumahnya,
sering nampak seekor harimau belang tengkurap rebahan dengan ekornya yang
panjang dikibaskan kanan kiri, menjaga Keni bermain-main yang sesekali mengejar
dan menangkap kupu-kupu oranye kesukaannya. Ekor harimau yang panjang
berkibas-kibas mengusap-usap muka Keni, dan Keni memeganginya sambil
terkekeh-kekeh kegelian. Tak semua orang bisa melihat harimau belang bermata
sayu itu, tak semua orang berkesempatan. Sebagian orang hanya mendengar dari
cerita ke cerita, tapi keberadaanya tak ada orang di kampung yang meragukan,
juga di kampung-kampung tetangga yang cukup jauh. Harimau itulah yang menjaga
kampung Dukuh Tengah dari orang-orang jahat yang sering datang untuk merampok. Banyak
yang menduga harimau itu jelmaan Ki Ranu, ada juga yang menduga harimau itu
piaraan Ki Ranu yang sesekali datang ke rumah jika waktu-waktu tertentu atau
jika di panggil oleh tuannya. Dan Keni tahu pasti, jika harimau yang sering
bermain-main dengannya adalah ayahnya yang seketika bisa menjelma hanya dengan
memakai kantung kecil di ibu jari kaki kanannya. Atau pada waktu tertentu, tak
memakai kantung-kecil pun, bisa.
“Kau harus mewarisi
ilmu ini. Jika saatnya sudah tepat.”
“Tapi saya perempuan,
Ayah.”
“Tak apa. Dan juga tak
ada pilihan. Karena hanya anak kandung atau pilihan keduanya keponakan
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dari Ayah yang bisa. Ayah tak punya
keponakan laki-laki. Si Marta, anak laki-laki Kang Jaya mati saat kau masih
dalam kandungan karena penyakit aneh. Ketika itu, tengah malam Marta merasakan
sakit di dadanya, kemudian sesak nafas dan esok pagi, sebelum matahari terbit,
Ia tak tertolong.
Yang terpenting, kau
bisa mengendalikan emosi dan juga tak gampang emosi. Kau masih belum cukup pada
tataran itu, tapi, tak apa jika kau mulai menghafal mantra-mantranya. Nanti
baru tirakat, lelaku dan perilaku. Kau harus mampu. Jika kau tak bisa, Ayah
akan tersiksa jika raga Ayah sudah renta, jika sudah tidak sekuat seperti
sekarang ini. Kau mau Ayah tersiksa dan pergi dengan susah?”
“Pergi ke mana Ayah?”
“Ke alam selanjutnya.
Kita semua akan mati, masuk ke alam berikutnya.”
“Nanti saya sama siapa
Ayah?”
“Kau tak akan
sendirian. Semua ada pasangannya, ada jodohnya. Kau harus mulai belajar.”
Keni termenung, Ki Ranu
meneguk teh hangat dari cangkir keramik merah tanah yang telah berpuluh tahun
menjadi teman minumnya yang setia. “Kau harus mulai menghafal ini nak....”
“Awakmu awaku sukmamu
sukamaku dadisiji dadiati. Aku ngulon koe ngulon aku ngidul koe ngidul aku
ngetan koe ngetan aku nagalor koe ngalor. Ora ana ati sing beda kekarepan, ora
ana karep sing beda. Loro dadi siji, siji karo siji dadi siji. Mantep madep udu
madep mayong. Dadi siji, dadi siji, dadi siji, dadi sekarepe atiku.”
“Kau harus baca tujuh
kali dalam satu nafas, dalam satu konsentrasi penuh. Kau harus bisa nak.”
Perlahan Keni menuruti
kemauan ayahnya. Rasa penasarannya menjadikan Keni selalu bertanya hal
berikutnya yang harus dilakoni. Ia kadang mencoba sesuatu yang seharusnya belum
boleh dilakukan. Pernah ketika menjelang sore Keni mengambil kantong macan,
yang diam-diam mengintip ketika ayahnya menyimpan, memakainya tanpa
kesempurnaan ritual dan lelaku awal yang harus dijalani.
Di halaman belakang
rumah, Keni menggeram-geram, seperti suara kucing bersiap tarung, kadang
seperti harimau mengaum setengah nada dan putus di tengah. Tubuhnya terhampar
di tanah, kakinya beregerak-gerak mencakar tanah dan kedua tangannya mengapai-gapai
udara dengan mulut menyeringai, matanya menatap kosong. Sebuah penyatuan dua
makhluk yang belum sempurna. Keni baru tertolong ketika ayahnya pulang dari
ladang saat matahari setinggi tombak di punggung bukit. Dengan cekatan Ki Ranu
melepas kantong macan di jari kaki kanan Keni. Dengan sedikit mantra yang
ditiupkan di ubun-ubunnya, seketika tubuh Keni lunglai. Ki Ranu membopongnya
masuk ke rumah, merebahkannya di ranjang dan membiarkan Keni terbaring seenaknya.
Beruntung tak ada orang lain yang tahu kejadian itu dan hanya terjadi sekali
karena Keni menurut petunjuk ayahnya saat esok harinya sambil memasak nasi.
“Maaf saya ayah..”
“Iya. Jika kau ingin
cepat bisa, kau harus lebih giat dan rajin berlatih. Dan jangan lupa, tata cara
dan perilakunya harus benar. Ilmu itu akan sempurna jika ayah sudah tiada,”
“Kenapa harus begitu
ayah. Kalau begitu saya tidak mau belajar ilmu ini ayah.”
“Itu sudah ketetapan
dan jalan hidup, anakku.”
*******
“Aku bisa menjaga diri,
dan si Kumbang ini akan mengerti jalan meski hari telah gelap,” ucap Saiman
sambil menepuk leher kuda putih kesayangannya.
“Tunggulah barang
sejenak sampai ayah pulang. Sebentar lagi ayah pasti datang.”
“Saya ada keperluan
nanti selepas maghrib di dusunku. Sampaikan saja pada ayahmu, saya datang dan
akan datang lagi besok.”
“Kakak tidak takut
nanti kalau dihadang macan loreng di bukit itu?” kata Keni sambil jari
lentiknya menunjuk bukit di belakang rumahnya yang tengkurap mulai beranjak
tidur. Mata Keni berkedip sedikit dengan senyum tipis di sudut kanan bibirnya.
Tatapan mata seperti itu, membuat jiwa Saiman bergetar, terpana sesaat dan tersadar
untuk kembali normal meski Keni sempat membacanya. “Kakak tidak takut?” Keni
memperjelas pertanyaan.
“Saya yakin bisa
mengatasinya, jika ada, dan saya yakin tak ada apa-apa yang perlu ditakutkan.”
“Jika benar-benar ada?”
“Saya tungkak batang
lehernya biar mampuss!” kata Saiman dengan sedikit senyum sambil melambaikan
tangan kanannya tanda segera berangkat pulang.
Mendengar kata-kata
Saiman terakhir, Keni tiba-tiba merasa terhina. Perasaan yang tak biasanya ada.
Sukma macannya sebagian telah masuk tanpa dirasakannya dan tak sepenuhnya
terkendali. Gemuruh seperti angin serasa sangat cepat masuk dalam badan Keni.
Ia terdiam dan tak berkuasa melawan. Tubuhnya berjumpalitan, salto ke belakang
tiga kali. Kuku-kukunya memanjang mencengkeram, matanya membulat memandang ke
atas, mulutnya menggeram berat. Dan Keni telah berubah ujud manjadi macam
belang besar. Dengan dengus nafas yang panjang, macan belang itu melompat
kemudian berlari mengikuti langkah si Kumbang yang berlari membawa Saiman. Langkahnya
yang lembut, tak membuat curiga Saiman meski berulang kali si Kumbang meringkik
tak seperti biasanya.
Di puncak bukit, ketika
matahari di punggung bukit menenggelamkan garis sinar terakhirnya, macan belang
melompat ke depan si Kumbang menghalangi jalan. Saiman terkejut dan langsung
menjaga keseimbangan. Macan belang memandang redup, kaki-kakinya sedikit
bergetar, ekornya masuk ke kedua kaki. Sejenak beranjak mundur seperti meberi
jalan, tapi Keni tak kuat menguasai roh macan belang, segala getar rasa jiwanya
berupaya berontak lepas. Semua yang Ia bisa dicobanya. Dalam pertarungan
pengendalian penguasaan jiwa antar Keni dan roh macan belang, Saiman melompat
dari punggung kuda, dengan kekuatan penuh Ia hantam leher macan itu dengan
kakinya. Macan belang itu menggeram. Matanya menyala merah, cakarnya keluar
dari sarung. Rupanya Keni tak kuasa mengendalikan roh macan belang. Ia hanya
bisa merasakan kemarahan dari luar hatinya.
Pertarungan di
senjakala itu pun tak bisa dihindari. Macan belang menyerang penuh amarah.
Setiap Saiman mengelak dan menyerang, macan belang makin ganas penuh nafsu
membunuh. Ada sekira setengah jam dua kekuatan itu terus beradu. Saat Saiman
sedikit lengah, sebuah cakaran merobek dadanya dan sebuah gigitan di leher
membuat Ia tak berdaya. Tubuhnya terkulai bersimbah darah.
Macan belang terduduk
di samping jasad Saiman. Ia merunduk meneteskan air mata, juga kadang-kadang
menggeram penuh tenaga melepas sesak dada. Perlahan Ia sered jasad Saiman
sedikit ke tepi jalan. Dengan cakarnya, macan belang menggali tanah. Si Kumbang
diusirnya dengan sedikit auman. Kuda putih berlari menuruni bukit menuju lembah
yang sudah tampak pelita-pelita minyak menerangi rumah, tempat kelurga Saiman
bermukim.
Ki Ranu yang sedikit
terlambat pulang dari tetangga desa, terserang khawatir ketika putrinya tak ada
di rumah. Ia menilik tempat menyimpan kantung macan. Ketika Ia tahu tak ada,
segera duduk bersila di lantai tanah menyatu dengan bumi, segala inderanya
membaca menerawang keberadaan Keni. Dengan keyakinannya Ki Ranu berlari
menyusuri jalan setapak.
“Apa yang terjadi
anakku?”
“Maafkan saya ayah.
Maafkan saya.”
“Apa yang kau kubur
itu.”
“Kak Saiman ayah.”
“Kenpa sampai terjadi
begini?”
Keni tak menjawab. Ki
Ranu menyempurnakan gundukan kubur Saiman sambil mulutnya terus berkomat kamit,
mungkin berdo’a mungkin membaca mantra. Di rasa cukup, tangan kanannya
menyempal batang pohon Puring dan menancapkan di ujung kepala Saiman di kubur.
Gerimis turun perlahan.
“Saya tak akan pulang,
mau menunggui Kak Saiman di sini, ayah.” Suaranya berat tersendat hampir tak
terdengar. Ki Ranu menelan nafas sangat perlahan dan dalam. Ia tahu tak mungkin
membujuk Keni untuk pulang. Ia menunggu Keni yang terbaring sampai tertidur
sambil greyengan menyanyikan lagu penghantar
tidur bertutur tetang lelaku hidup dan welas asih sesama.
Menjelang pagi, Keni
tertidur. Ki Ranu menggendongnya pulang. Dengan ilmu yang dimiliki, bukan
sebuah kesulitan untuk cepat sampai rumah.
Dan gerimis malam itu
menjadi gerimis terakhir di musim penghujan. Setiap pagi dan sore, Keni selalu
datang ke puncak bukit membawa seketel air untuk menyiram pohon Puring dan
menyapa Saiman dengan nyanyian asmara dan do’a. Sampai Ki Ranu meninggal,
sampai Keni menjadi nenek dan tetap tinggal sendiri di rumahnya.
Menurut kabar, pada
pagi dan sore terlihat macan belang tengkurap di bawah pohon Puring di puncak
bukit. Kadang terdengar suara tangis, kadang terdengar suara nyayian. Tak ada
orang yang berani lewat di jalan setapak itu jika pagi dan sore.*** 31 Desember
2016
*)
tokoh dalam novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar