Secara gampang, PPP itu partai yang berbasis islam dan seingat
saya pun berazas Islam dengan ditunjukkan oleh gambar Ka’bah. Dalam pemikiran
yang nggak neko-neko, kita boleh menebak dengan yakin, kalau PPP di DKI Jakarta
yang mendukung calon Gubernur yang berlatarbelakang beragama Islam. Itu mungkin
cara berpikir sederhana dengan tidak perlu mengkaitkan dengan kepentingan
duniawi dalam berpolitik.
Dengan memasuki dunia politik dengan segala kepentingan
duniawi dan perebutan kursi kekuasaan dengan segala kemungkinan peluang yang
didapat di masa datang yang belum diketahui, maka segala keputusan dukung mendukung
menjadi sangat berbeda dari perkiraan yang berlandaskan pemikiran sederhana.
PPP (pimpinan) Djan Farid memilih mendukung Ahok dalam perebutan kursi Gubernur
DKI 2017-2022, bukan sebuah keputusan yang aneh dalam dunia politik. Tapi, bagi
orang yang berpikiran sederhana lepas dari permasalahan politik, menjadi sebuah
keputusan yang aneh dan merugikan PPP di masa depannya, baik tingkat DKI
Jakarta atau pun tingkat Nasional.
Kepentingan sesaat dan individualis atau sekelompok pengurus
partai yang berkepentingan, melupakan masa depan partai dan melupakan hati para
pendukung partai yang mungkin merasa terhianati. Saya yakin saja, jika para
para pendukung PPP sejati adalah orang Islam yang Islami dan berusaha untuk berperilaku
secara Islami dan menghindari munafik. Salah satu cara memprotes Djan Farid
dengan tidak mengikuti keputusannya mendukung Ahok. Menyesali keputusan
pimpinan partai yang sudah hampir tak mungkin untuk dirubah sambil terus
berharap partainya tak berkurang jumlah suaranya dalam pemilu mendatang.
Tak perlu dipertanyakan tentang idealisme dalam politik dan
dalam pengendalian sebuah partai. Semua bertujuan pada sebuah pencapaian
kekuasaan. Kekuasaan dan materi menjadi pertimbangan dalam menentukan arah
partai. Untuk alasan, bukan sebuah hal sulit untuk mencari argumen dalam setiap
keputusan. Bahasa kasarnya, ‘pelacur pun punya argumen.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar