Membeli roti bakar ( yang
sebenarnya digoreng, tidak dibakar )
“Mas, sudah pernah masuk ke sana?”
“Sudah. Sampeyan belum?” Nada dialek
sundanya kentara.
“Belum. Saya kurang tertarik
kemeriahan dan keramaian. Sudah berapa lantai yang di buka. Nampaknya belum
selesai membangunnya, kok sudah di buka ya mas. Rencana berapa lantai?”
“Nggak tahu mas, saya datang di
lantai dasar, mau berapa lantai juga nggak tahu. Ya.. mungkin kalau nunggu
selesai semua, lama menghasilkan uangnya, kan harus bayar cicilan utang mas.”
“Utang? Masa orang kaya raya
punya utang?”
“Ya iyalah. Kalau modal sendiri
semua kan sayang. Masa’ nggak memanfaatkan bank yang siap meminjamkan uang. Kasihan
juga tukang bank kalau tak ada yang utang.
“Apa saja isinya mas?"
“Orang dagang, sales, calon
pembeli, pernak pernik warna warni, barang dagangan dan tawaran harga discount.
Beda tempat, beda bungkus, beda penjaga, barang yang sama menjadi berbeda
harga. Orang-orang kaya itu mengharap orang-orang miskin membuat orang kaya
semakin lebih kaya dengan berbelanja, dengan menikmati fasilitas, dengan
memanjakannya. Jerat untuk berbelanja itu, hiasannya menyilaukan mata. Membuat bangga
rakus berbelanja. Membeli barang-barang yang sebagian besar segera menjadi
sampah sesampai di rumah.”
“Saya dengar akan ada hotelnya
juga.”
“Katanya begitu, mungkin di
lantai atas. Ada gedung bioskopnya juga, ada tempat mainan anak-anak juga, ada
cafe, ada banyak tempat untuk membelanjakan uang. Banyak tempat untuk
bergengsi, berselfi untuk dipamerkan di media sosial...”
“Enak ya mas..”
“Enak bagi yang banyak duit.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar