Saya sering melihat rumah makan
yang menawarkan menu pedas. Lombok ijo, Sambel Ijo, Sambelayah, Tahu mercon,
mie setan, lombok setan, atau kalimat lain yang merujuk pada rasa pedas. Ketika
membaca penawaran lewat ‘iklan’untuk makan di rumah makan yang membanggakan
sebuah kepedasan, saya merasa terdiskriminasi. Saya belum pernah membaca sebuah
hasil survey yang mebandingkan prosentase orang yang suka pedas dan orang yang
tidak suka pedas. Sebagai orang yang sama sekali tidak suka pedas, saya
langsung menuduh kalau menu pedas yang ditawarkan rumah makan pasti karena
pemilik atau pengelolanya suka rasa pedas. Mungkin saya keliru, tapi itu hal
yang muncul tiap kali saya membaca sebuah tulisan yang membanggakan rasa pedas.
Tersadari juga, banyaknya rumah
atau tempat makan yang membanggakan rasa super pedas dan banyak yang sukses,
itu menjadi acuan untuk menawarkan menu pedas sebagai andalan untuk menarik
calon pembeli. Atau bisa juga, orang yang suka pedas itu kebanyakan orang yang
suka berwisata kuliner. Terbukti juga tak ada satu pun rumah makan yang berani
menonjolkan menu tidak pedas sebagai menu andalannya pada papan nama rumah
makan.
Sebuah penelitian di prancis yang
di pimpin oleh Prof. Laurent Begue, seperti dilansir Daily Mail, menemukan
bahwa pria yang menyukai makanan pedas cenderung memiliki kadar hormon testosteron
yang tinggi cenderung lebih dominan. Seperti diketahui, hormon tersebut
berfungsi membentuk sekaligus menjaga organ seks. Bagi sebagian orang mungkin,
mungkin benar, tapi juga tidak tertutup kemungkinan jika yang tidak suka pedas
pun punya hormon testosteron yang tinggi. Dari penelitian itu pun tidak
disebutkan jika memakan makanan pedas bisa meningkatkan hormon testosteron.
Kenyataannya, para pemilik rumah
makan berhasil mengikat para calon pemakan dengan mengunggulkan ‘rasa pedas’ dan
mengunggulkan ‘rasa tidak pedas’ suatu hal yang tidak mungkin untuk diunggulkan
dalam beriklan. Di masyarakat juga sudah begitu menganggap jika penyuka pedas
dipandang sebagai orang yang sehat, gagah, maskulin, kuat dan hebat. Dan, saya
orang yang menganggap itu sebagai hal yang keliru.
Hal lain yang sering bikin saya
kesal, setiap kali saya makan di warung padang dan memesan jangan di kasih
sambel, tetap saja sajian yang diantar ada sambelnya di tepi nasi. Seolah si
pelayan yakin sekali kalau orang yang masuk ke warung makan padang pasti orang
yang suka sambel.
1 Sept 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar