Pada bulan awal Juni 2016, tepatnya
tanggal sembilan, pas bulan Ramadhan 1437 H, saya pernah ngetwit tentang
seorang pelanggar lalu lintas yang melanggar dengan tanpa beban. Isi twit-nya;
‘seorang agak gemuk, berpeci, pakai jas hitam, bersarung, naik motor plat
merah, menerobos lampu merah tanpa ragu pd sebuah sore di bulan puasa’. Karena
pas lagi bulan Ramadhan, saya pikir, Ia sedang berpuasa, tapi ketika Ia berlaku
melanggar lalulintas dengan tanpa beban, saya jadi bertanya dalam hati, apakah
puasa ‘membekas’ dalam jiwa Islamnya? Pertanyaan usil lainnya; terbiasakah Ia
melanggar aturan. Jika motor plat merahnya adalah fasilitas negara yang
diperuntukkan untuknya, apa Ia tak merasa menanggung beban sebagi aparatur
negara yang sepantasnya memberi contoh yang baik. Dan kemudian saya berpikir
tak perlu banyak harap tentang kedisiplinan, apalagi hanya sekedar menerobos
lampu merah yang pas lalu lintas lagi sepi. Dan membahas tentang pelanggaran
kecil malah akan disebut sebagai orang yang sok-sokan. Nikmati saja cara orang
indonesia berperilaku disiplin.
Dan, twit saya itu kemudian
menampar pikiran ketika berniat menerobos lampu kuning yang kemungkinan jika
saya tetap melintas telah menyala lampu merahnya. Dua orang pengendara sepeda
motor sedikit di depan saya terus melaju
dan jika di ukur secara detail, mereka melanggar lampu merah. Apalagi seorang
yang dibelakang saya, ia begitu bernafsu menerobos lampu merah. Ternyata, bagi
sebagian orang, lampu kuning adalah saat harus mempercepat kendaraan agar tak
terkena jebakan lampu merah. Dan berhenti sejenak di lampu merah adalah hal
yang harus sebisa mungkin dihindari. Perkara nanti setelah sampai tujuan menghabiskan
waktu untuk ngobrol dan ngopi, itu bukan alasan untuk bersabar di lampu merah.
Sebuah ide, pernyataan, perkataan
yang di tulis ternyata menjadi sebuah sejarah yang bisa dibaca di kemudian hari
dan bisa mengingatkan atau menjadi bahan mawas diri jika melakukan sesuatu. Jika
saya tak pernah menulis di twiter tentang seorang pelanggar lalulintas yang
dengan ‘polos’nya melanggar, bisa saja dorongan untuk melanggar lebih besar
ketika dirasa melanggar itu aman-aman saja. Rasa ‘saya orang munafik’ jika
hanya bisa tidak senang pada pelanggar tapi saya sendiri melanggar, telah
berhasil menghentikan saya untuk tidak melanggar, setidaknya pada saat saya
teringat.
Hal seperti ini juga menjadi
ingatan saya ketika saya sangat kesal terhadap para pengendara motor atau mobil
yang membuang sampah di jalan sambil terus melaju, atau siapapun orang yang
membuang sampah sembarangan. Maka, ketika saya berkendaraan, sebisa mungkin
untuk tidak melakukan hal seperti itu.
Dari kasus seperti itu kesadaran berdisiplin,
sangat bisa diawali dengan ketidaksukaan pada hal-hal kecil yang melanggar
aturan, merasa tidak nyaman pada kesemrawutan dan berempati pada semua orang. Juga
tidak tergiur untuk tidak disiplin ketika ada orang yang semrawut malah
mendapatkan keuntungan. Karena, keberuntungan dari hasil kesemrawutan hanya
sementara dan sekedar tipuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar