Karena anak perempuanku yang
berumur delapan tahun lah aku menonton film Rudy Habibie. Iklan di tivi telah
membuat anakku seperti ‘harus’ menontonnya. Entah apa yang ada di benakknya
kenapa mengharuskan menononton. Saya tak juga menanyakan apa sebab Ia tertarik
dan ingin sekali menonton. Bagiku, kali ini menebak sendiri apa yang ada di benaknya
membuat saya terbawa ke masa kecil saya dulu tentang sebuah penasaran. Tentu
penasaran saya dulu dengan penasaran anakku berbeda. Perbedaan waktu,
informasi, tontonan, lingkungan, tren, menjadikan sebuah keinginantahuan anak
berbeda dari jaman yang berbeda.
Saya tertarik dengan film Rudy
Habibie karena faktor Hanung Bramantyo sebagai sutradaranya dan film sebelumnya
Habibie dan Ainun. Tokoh BJ Habibi yang kecerdasan, keimanannya, sangat saya
kagumi dan kecintaannya pada Indonesia yang luar biasa. Dalam film tersebut
juga tergambarkan bagaimana kecintaan Habibi pada Indonesia. Hanung sepertinya
sudah menjadi jaminan, bagi saya, tentang kualitas dari film yang digarapnya.
Menikmati sebuah adegan dan bagaimana sang aktor bersikap pada sebuah kejadian
dari sebuah cerita yang dibangun untuk disampaikan dengan arahan sutradara
sekelas Hanung menjadi keasyikan tersendiri. Seting yang dibangun kadang
meleset dari pemikiran saya, tapi malah menghasilkan sebuah ‘keterkejutan’ pada
pemikiran di lain ruang.
Ada dua tema yang disampaikan
pada film ini. Pertama tentang cinta Habibi dan Illona, dan keyakinan Habibi
untuk membangun industri dirgantara di Indonesia. Habibi yang sangat yakin
dengan cita-citanya, idealismenya yang kuat menjadi tampak terkesan ‘egois’, tak
menggubris pendapat sebagian kawan-kawan mahasiswa lain di Jerman yang terkesan
sekedar main-main dalam study.
Dalam film itu kita dibawa pada
romantisme asmara, cinta, cemburu, cita-cita, di sekitar tokoh Rudy Habibie dan
perjuangannya sebagai seorang mahasiswa jenius, non beasiswa. Tokoh Baharudin
Jusuf Habibie menjadi magnet yang kuat untuk menyedot calon penonton datang ke
gedung-gedung bioskop. Atau mereka yang menunggu untuk bisa menonton gratisan
dengan copy paste atau download di
situs-situs tertentu.
Kebangkitan film Indonesia
nampaknya sudah mulai dalam satu dasa warsa belakangan ini. Setelah tertidur karena
tergusur oleh tontonan televisi yang berupa-rupa warna dan tak memerlukan uang
untuk beli tiket dan waktu keluar rumah. Para awak televisi mengambil kesempatan
itu dengan menggelontorkan hiburan ‘yang penting ramai’ tanpa memperhatikan
mutu dan segala sebab akibat dari hasil produksinya. Segala tren yang sedang di
gandrungi segera di adopsi dan di tayangkan sesegera mungkin.
Tahun 80an, film Indonesia begitu
merajai. Gedung bioskop tak pernah sepi dan layar tancap hampir setiap malam
minggu atau di hajatan-hajatan, tayang di pelosok-pelosok negeri. Meski masih
dengan teknologi audio visual yang masih sederhana jika dibandingkan dengan
kondisi sekarang, nyatanya penonton selalu ada dan penuh. Harus di ingat, jika
faktor pilihan alternatif hiburan yang menggiring mereka nonton film.
Satu hal yang menarik, film Warko
DKI ( Dono Kasino Indro), produk tahun 80an sd awal 90an, sekarang masih sering
di tayangkan di televis, dan uniknya, meski sudah di tonton / menonton
berkali-kali masih saja timbul rasa ingin untuk menonoton lagi dan menikmati
lawakan segar yang tak pernah membosankan.
Sebuah hiburan yang membangkitkan
imajinasi yang mendengkur karena rutinitas yang monoton.
Satu hal yang menarik, film Warko DKI ( Dono Kasino Indro), produk tahun 80an sd awal 90an, sekarang masih sering di tayangkan di televis, dan uniknya, meski sudah di tonton / menonton berkali-kali masih saja timbul rasa ingin untuk menonoton lagi... hihihi.. tul betul betul
BalasHapus