Rapimnas Partai Golkar 2016 |
Sah-sah saja jika kemudian ada
partai lain yang mengusung kader Partai Golkar menjadi calon presiden pada
pilpres 2019. Unsur kepatutan bukan halangan untuk memilih sosok yang di
jagokan. Peraturan bisa dipakai di saat terpojok untuk menjawab sebuah keadaan
yang membikin terdesak. Demokrasi telah membawa bagaimana sebuah partai politik
mampu memepesona rakyat. Pada tataran rakyat sudah terpesona, keadaan tersebut
harus dijaga sampai saat hari pemilihan umum dilaksanakan. Menjaga agar kondisi
dan keadaan partai, dan calon yang dijagokan bukan sesuatu yang mudah. Lawan politik
dan orang yang luar politik yang berkepentingan lain, selalu membuat keadaan
menjadi terpojok. Media massa berperan penting menjaga angin bertiup ke arah
mana.
Kader Golkar, tak ada yang kapabel?
Semua peserta kompitisi pasti menginginkan
kemenangan. Kemenangan bisa berupa material dan immaterial. Bisa kemenangan
mendapat posisi tapi tak mendapatkan kursi, bisa kemenangan berupa kekuasaan
yang dianugerahkan oleh si pemenang sebagai imbal balik pengorbanan yang telah
diberikan dalam perebutan kekuasaan. Golkar mungkin sadar diri, jika saat ini
tidak ada kadernya yang mampu mengalahkan Jokowi. Bisa dikatakan minder dan
kalah kelas dalam elektabilitas. Dan, keputusan mendukung Jokowi di pilpres
2019, tentu ada maksud tertentu. PDIP sebagai kandangnya Jokowi, selama ini
selalu menyatakan diri sebagai partainya wong
cilik, dan itu berhasil menarik simpati banyak orang. Wong cilik ini
sebagai analogi orang-orang yang terpinggirkan, orang-orang di desa,
orang-orang miskin, orang-orang yang tertindas dan perlu bantuan, orang-orang
yang tak bisa menikmati gemerlapnya dunia modern dan bahkan orang-orang miskin
karena pemalas pun merasa bagian dari wong cilik. Orang-orang yang merasa
begitu, jumlahnya sangat banyak. Dan PDIP cerdik memanfaat perasaan para wong
cilik.
Golkar merasa harus merebut hati
wong cilik itu. Jumlah masa wong cilik sangat potensial untuk meraup suara saat
pemilu nanti. Ia harus menjadi sperti PDIP agar rakyat terpesona. Agar wong
cilik yang terpinggirkan pada saat jayanya Golkar terlipur dan merasa Golkar
telah menjadi partainya wong cilik. Ini akan berpotensi memperoleh suara besar
dalam pemilihan legislatif. Pada saat Golkar memperoleh kursi DPR dominan, maka
dari situ kekuasaan bisa bicara.
Meski Golkar saat ini mendukung
Jokowi menjadi calon presiden di pilpres 2019, kemudian nanti pada saat
menjelang pemilu dukungan itu berubah, tak ada aturan yang melarangnya. Itu bisa
saja terjadi. Kader Golkar banyak sekali yang mampu dan kapabel.
Jangan menilai sebuah hari
sebelum datang maghribnya. Seorang Jokowi sekarang ini, bolehlah di katakan (
elektabilitasnya ) tak ada saingan untuk dicalonkan sebagai presiden. Untuk saat
ini, dengan keadaan seperti sekarang ini. Apa Ia bisa akan tetap begitu sampai
saat yang dbutuhkan? Jika saat yang dibutuhkan itu ternyata Jokowi sudah turun
jauh dan muncul calon kuat lain, apa Golkar akan tetap berkeputusan seperti
sekarag ini. Apalagi jika ‘calon lain’ yang mucul dari kader Golkar. Dan Golkar
bisa saja berpaling jika keadaan ‘berpaling’ lebih menguntungkan. Jika kondisi
demikian benar-benar terjadi, Golkar menjadi memperoleh keberuntungan ganda. Keuntungan
dianggap sebagai partainya wong cilik seperti PDIP, dan keuntungan mempunyai
calon yang bisa di andalkan untung duduk di kursi RI 1.
Politik, seperti syair yang dibacakan oleh seorang
penyair tak membawa teks dan lupa syairnya.