Nampaknya Jawir memulai lagi
sesuatu yang baik, Ia pergi berangkat mengaji. Ia yang biasanya hanya mengkritik dengan tidak mau melakoni
dan jarang memberi solusi. Ia berangkat mengikuti pengajian peringatan tahun
baru Islam, satu Muharram. Jika tahun baru Masehi disambut dengan gegap gempita
dan berbagai gebyar, maka tahun baru Hijriyah mesti disambut dengan nilai
Islami yang membangun rohani agar terus semakin dekat dengan Allah SWT, gumam
Jawir sambil komat-kamit sendiri sembari berjalan berangkat ke pengajian. Ia
berangkat awal, baru ada orang kurang dari sepuluh termasuk panitia.
Jawir menikmati suasana Islami
yang menghadirkan irama Qasidah, kalimat-kalimat islami dan sambutan yang
dibangun untuk menciptakan ketentraman batin.
Tapi, ketika pemceramah sedang
berapi-api berbicara dan pengunjung terpana, Jawir berdiri meninggalkan
kursinya yang berada dibarisan tengah, membiarkannya kosong. Pak Kyai berhenti
berbicara sebentar, sembilan puluh tujuh persen mata pengunjung mengarah
padanya. Jawir pergi ‘minggat’ dengan mulut terus ngedumel dan tak ada orang yang tahu apa yang dibicarakan dalam
hati.
Sebagian orang maklum, karena
tahu kelakuannya yang suka bikin sensasi murahan.
Malam hari, di warung kopi Yu
Juri, Jawir langsung memuntahkan semua protesnya yang ditunjukkan entah pada
siapa.
“Saya ini Islam KTP, tapi saya
tidak suka kalau pengajian macam itu tadi. Nggak asik. Nggak bikin adem di
hati.”
“Kamu tadi minggat dari pengajian
bro? Malas? Kyai-nya nggak lucu, apa karena ceramahnya biasa-biasa saja itu-itu
saja.” Basuta memotong dengan nada canda. Ia berharap kata-kata Jawir tak
ncrocos sekehendak hati yang bisa membakar amarah orang lain karena bicara
agama.
“Iya. Saya nggak suka.”
“Yang nggak suka kan Cuma kamu.”
Mondol menimpali. “Kalau kamu yang nggak suka nggak bakalan ngaruh sama yang
lain. Kaya pendekar agama saja kamu, sorot matamu menakutkan!”
“Eh Wir, yang namanya pengajian
ya begitu-itu saja. Sama dari tahun ke tahun. Nanti kalau berbeda dikata aliran
sesat. Yang penting kan pahalanya besar, jika kamu datang dengan ikhlas dan
niat mengaji tanpa ria.” Kata Basuta.
“Ya itu saya tahu Bas, saya
tahu,” suara Jawir meninggi.
“Terus, kenapa kamu harus kesal
begitu?”
“Yang saya nggak suka, kenapa
kyai itu harus menebar kebencian pada sesama umat islam.”
“Menebar kebencian yang
bagaimana? Saya nggak merasakan itu.”
“Kamu ikut ngaji ngaak tadi?”
“Nggak!”
“Gini, hanya karena berbeda cara
beribadah, cara berperilaku, cara berpakaian, sesama umat Islam saling
mengejek, memprovokasi dan merasa kelompok mereka yang paling benar. Apa ini
benar?”
“Benar menurut mereka. Emang
masalah buat lo?”
Kojar yang sedari tadi cuma
melongo ikut nimbrung, “dicuekin aja Wir, kan enak buat kamu. Atau kamu usul
saja ke Pak Jokowi agar bikin mentri baru, mentri urusan toleransi. Mentri
Tolerare.”
“Ini kan cara belanda dulu
memecah belah kita, devide et impera, kenapa kita mesti tetap terus tak sadar.
Merasa paling baik diantara yang lain, merasa yang lain salah, tidak benar,
menyimpang, menodai dsb, dsb, .. Keyakinan itu ada karena yakin, kalau sudah
yakin apa mesti dilukai karena berbeda. Yang lebih menyedihkan, ini sesama umat
Islam. Islam yang katanya agama penuh rahmat. Lha, ini, yang dipercaya untuk
ngomong di podium tanpa merasa bersalah, memaki-maki sesama pemeluk Islam
dengan tanpa ragu dan tanpa merasa bersalah, cekikan mengejek umat Islam yang
lain karena berbeda cara. Saya benci itu.”
“Banci apa benci Wir, yang jelas
ngomongnya.” Tarjo nyletuk sambil menghembuskan asap rokoknya ke atas dan
memandanginya penuh seksama. Jawir melongos.
“Eh, Wir itu kan cara berpikir
mereka, dan itu juga keyakinannya. Kamu juga harus menghormatinya, meghormati
perbedaan berpikir dan berpendapat.”
“Tidak sudi! Wong jelas itu menebar kebencian, menebar benih permusuhan. Memuakkan.”
“Kalau yang ditebari benih
permusuhan membiarkan benih itu mati dengan dibiarkan, kan tak ada permusuhan
Wir, permusuhan itu ada karena ada dua kubu yang saling melawan.”
“Besok-besok nggak usah berangkat
ngaji lagi Wir, nanti nggak kesel begitu.” Bodong yang sering dipanggil
Plontos, karena selalu gundul, ikut ambil bagian bicara.
“Gini aja Wir,” ujar Basuta,
“Mulai sekarang kamu jadi kader ‘pembunuh benih kebencian’. Berkampanye
membunuh benih kebencian yang ditebar oleh siapa-pun!”
Jawir terdiam. Ada yang ingin
diucapkan lagi tapi merasa tidak ada yang ikut terbakar emosinya, Ia memilih
membetulkan krah bajunya.
Juni
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar