Bisa saja hal yang tak
terduga terjadi dalam politik dan tak perlu terkejut. Saya membayangkan jika
saja kemudian ada partai yang sudah begitu konfiden mengusung dan memamerkan
Calon Presiden-nya, disaat waktu pendaftaran sampai habis waktu, tidak ada
satupun partai yang mau diajak berkoalisi.
Hasil dari pemilihan
legislatif telah membuat keadaan tak satupun partai yang berhak mengusung calon
presidennya secara sendiri. Segala peraturan dan perangkat yang ada telah
membuat keadaan menjadi seperti itu. Katanya, itu hasil dari sebuah musyawarah
permufakatan dari para wakil rakyat yang diberi hak untuk bermufakat untuk
memutuskan, yang kemudian lahir menjadi sebuah peraturan atau undang-undang
atau apapun sejenisnya yang bersifat mengikat bagi yang berada di dalamnya.
Jokowi dari PDI-P,
Prabowo dari Gerindra atau ARB dari Golkar yang telah memproklamirkan diri jadi
calon presiden dari partainya masing-masing yang menempati tiga besar perolehan
suara dari Pileg tetap saja harus berbaik-baik pada partai lain agar bisa
mendaftarkan calon presidennya. Kalau partai-partai menengah dan kecil bersatu
padu dan meninggalkan partai tiga besar, seangkuh apapun tiga partai besar itu
harus berkoalisi agar bisa mendaftarkan calon presidennya.
Semisal dari
perkembangan lobi-lobi antar partai telah benar benar hanya ada empat kubu,
yaitu kubu partai selain partai tiga besar yang telah menyatu dan tiga kubu
dari partai tiga besar, maka hanya akan terjadi dua pasang Capres-Cawapres.
Dari partai tiga besar hanya bisa mengajukan satu pasang calon, karena mereka
jelas tak bisa mengajukan masing-masing partai satu pasang. Jika dua diantara
partai tiga besar berkoalisi, salah satu dari mereka tetap harus ‘ngalah’ ikut
bergabung jika tidak ingin sama sekali tidak ikut dalam hajatan poitik Pilpres.
Jika kemudian lagi,
tiga partai besar yang telah berkoalisi, sama-sama ingin mengusung Capres-nya
jika hanya jadi Capres dan bukan Cawapres sampai batas waktu pendaftaran hampir
habis, maka nilai tawar dari partai-partai menengah dan partai kecil menjadi
tinggi. Si partai menengah atau kecil bisa saja menawarkan, ‘mari berkoalisi
dengan kami asal Capres-nya dari kami, jika tidak, kami tak mengusung Capres atau
Cawapre pun tak masalah.’
Menjadi mengasyikan
untuk ditonton jika terjadi skenario seperti itu.
Siapa, atau, adakah
tokoh yang mumpuni untuk menyatukan partai menengah ke bawah sehingga kelompok
partai itu menjadi pemain utama dalam Pilpres 9 Juli nanti. Jika ada maka akan
lahir sebuah keadaan baru : bahwa tidak selamanya yang kuat itu yang berkuasa
dan berperan.
Memungkinkan juga jika
salah satu dari partai tiga besar di boikot oleh partai lain sehingga Ia hanya
menjadi penonton dalam Pilpres. Maka partainya pasti akan menjadi partai
oposisi dan menyuruh seluruh caleg-nya menjadi oposan yang militan.
Mungkin saja di dunia
politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar