Kata Demokrasi ini berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang
terbentuk dari (dêmos) "rakyat" dan (kratos)
"kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk
menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah
satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari (aristocratie)
"kekuasaan elit"(sumber: wikipedia).
Salah satu syarat sebuah negara adalah rakyat, dan rakyat pasti jumlah lebih
banyak daripada penguasa yang disebut pemerintah. Untuk melanggengkan dan
mengamankan kekuasaanya, pemerintah biasanya menggunakan alat; mliliter,
Polisi, peraturan-peraturan yang
mengikat (hukum), hirarki pemerintahan sampai ke tingkat wilayah terkecil
(desa), agar segala kebijakan dan keputusan pemerintah pusat yang mewaklili
negara bisa efektif berjalan sampai ke rakyat.
Rakyat yang jumlahnya
lebih besar tentu tidak ingin segala gerak gerik dan tindakannya selalu
dibatasi oleh peraturan-peraturan yang dibuat sepihak oleh sang penguasa. Hal ini
yang kemudian muncul sebuah kegiatan yang disebut demokrasi. Sebuah kekuasaan yang
dibentuk oleh suara rakyat terbanyak. Masing rakyat mempunyai hak suara yang
sama, tidak mengenal kasta atau apapun sejenisnya membedakan dalam strata
sosial. Ini tentu menjadi keuntungan bagi kebanyakan rakyat yang berkeinginan
bahwa suaranya sekali waktu bisa di dengar
meski hanya mereka ‘dibutuhkan’ hanya pada saat pemilu legislatif,
pilpres dan pilkada.
Untuk memperoleh
kekuasaan itu, para calon penguasa berlomba dengan berbagai cara utnuk menarik
simpati para empunya suara agar pada pemilihan umum nanti mendukungnya. Pendekatan
sosial, pendekatan senasib sepenanggungan, bertindak empati dan menampakan diri
bahwa dirinyalah yang akan membawa rakyat menjadi sejahtera, adil makmur dalam
kehidupan yang aman dan menyenangkan. Suatu rancangn rencana pun disusun untuk
menyakinkan para pemilik suara.
Dan, maka siapa pun
mereka yang bisa mengupulkan suara rakyat terbanyak, merekalah yang berkuasa,
baik di pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah. Tak
perlu orang yang pintar atau jenius untuk memenangkan sebuah pemilihan umum. Yang
diperlukan adalah bagaimana Ia bisa membuat seseorang memilih dia. Seseorang yang
mempunyai latar belakang kurang baik dalam adat istiadat atau norma-norma yang
berlaku, asal ia mendapat suara terbanyak, ia akan menikmati sebuah kekuasaan. Katakanlah,
seseorang yang malima-nya baik, asal
secara de yure ia tidak terbukti
bersalah dan sanggup mengumpulkan suara yang terbanyak karena pergaulannya yang
luas, maka ia berhak memenangkan pemilu. Tak perlu dipertanyakan apakah nanti
sanggup untuk menjadi wakil rakyat yang mampu menampung aspirasi rakyat, atau
apakah ia bisa berinovatif dan kreatif untuk menyejahterakan rakyat seperti
janji-janjinya saat pemilu.
Ketika rakyat telah tingkat
kepercayaannya menurun pada wakil rakyat (DPR), saat pemilu tiba, rakyat sudah
tak lagi mendengarkan janji-janji para calon legislatif. Sebagian rakyat sudah
tak mau membuka telinga, membuka mata, bahwa masih banyak caleg yang kredibel
dan tak sejelek yang mereka kira. Tetapi, fakta-fakta yang ada terjadi membuat
rakyat menjadi mutung (ngambek) dan
memilih bersikap; kau berani memberi apa
pada kami maka akan kami pilih kami. Pada dunia politik ini di sebut money politic, dan rakyat tak peduli. Janji-janji
pada masa kampanye tak digubris dibiarkan lewat tak didengar. Para rakyat tak
ingin tertipu lagi.
Negara menjadi
pertaruhan dalam sebuah sistem yang disebut demokrasi. Siapa saja yang bisa membuat
rakyat memilihnya dalam sebuah pemilu (legislatif, presiden dan kepala daerah).
Tak perlu seorang ahli tata negara, ahli ekonomi, ahli hukum atau ahli-ahli
lain untuk bisa menduduki kursi kekuasaan. Peraturan-peraturan yang membatasi
seseorang untuk ikut menjadi caleg, capres, cakada, bisa saja nanti
diperlonggar atau dipersempit tergantung pada kebutuhan dan keinginan mereka
yang sedang berkuasa. Mereka atas nama wakil rakyat bisa saja melegalkan
sesuatu yang seblumnya dianggap melanggar hukum dengan cara mengganti peraturan
atau undang-undang yang telah ada.
Demokrasi itu sebuah
pertaruhan. Arah negeri ini tergantung pada mereka yang berkuasa dari hasil
sebuah pertaruhan yang disebut demokrasi yang sedang digadang-gadang oleh Negara
Indonesia untuk menyejahterakan seluruh
rakyat dari sabang sampai merauke.
Jika orang yang
baik-baik kepeduliannya terhadap pemilu kurang dan mereka enggan ke TPS untuk
memberikan suaranya pada calon penguasa yang
baik-baik dan kredibel, dan kalah oleh orang-orang yang siap mendukung siapa
saja yang penting mau membayar, bisa saja mereka yang ambisius kekuasaan untuk memperoleh uang, menjadi penguasa. Atau jika
orang-orang yang baik-baik, pintar, kredibel, sudah tak ada lagi yang mau
terjun ke dunia politik, (karena politik itu kotor), maka merekalah yang tidak baik-baik dan tidak kredibel akan
menjadi penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar