Kualitas hubungan
sosial antara penduduk kota dengan penduduk desa
pasti berbeda. Ini dipengaruhi oleh kesibukan individu, jumlah
penduduk dan kepentingan. Seorang penduduk di desa bisa mengenal sembilan puluh
persen orang perorang penduduk sedesanya. Seorang kepala desa atau aparatur
desa bisa hafal hampir seluruh kepala keluarga dan anggota keluarganya lengkap
dengan tempat tinggalnya. Ini
dikarenakan jumlah penduduk di desa yang belum begitu padat, sering terjadi
singgungan sosial, mutu pergaulan yang baik, masih dalam satu kerabat besar dan
rasa persaudaraan yang terus menerus di jaga. Jika ada seorang penduduk desa
yang sukses atau menjadi pejabat di sebuah instansi, bisa dipastikan seluruh
penduduk desa tahu. Jika ada seseorang penduduk desa terkena kecelakaan, sakit
atau mendapat keberuntungan, tanpa disiarkan lewat televisi, radio ataupun
situs jejaring sosial pun, masyarakat seluruh desa akan segera tahu. Komunikasi
dari mulut ke mulut dan kepedulian sosial, memungkinkan untuk itu.
Jika ada seorang warga desanya mencalonkan diri menjadi DPR, tentu
seluruh warga desa tahu. Mereka segera membaca track record-nya. Jika tak ada
pilihan lain, artinya tidak penduduk lain sedesa yang mencalonkan diri menjad
DPR, boleh jadi sebagian besar penduduk yang sedesa akan memilih calon
tersebut. Kadang dukungan suara itu tidak didasarkan pada penilaian obyektif
tentang kemampuan calon tersebut. Dukungan itu bisa saja berdasarkan
solidaritas wilayah, persaudaraan atau mendukung daripada mendukung penduduk
desa lain yang sama-sama tak jelas kualitasnya. Cukuplah satu dua gambar di
pasang di tepi jalan, pemberitahuan pencalonan diri menjadi calon anggota DPR,
menjadi efektif dan komunikatif. Akan tetapi, jumlah penduduk yang sedikit,
jumlah suara yang didulang tentu tidak maksimal.
Keadaan itu tentu berbeda dengan di kota. Rasa sosialitas persaudaraan
dan ikatan emosional yang nilai-nilainya berbeda dengan di desa menjadi sebuah
tantangan yang berbeda bagi para calon DPR yang ingin dapatkan suara minimal
yang disyaratkan agar bisa duduk di kursi DPR. Bisa saja para calon memasang
baliho bergambar dirinya dengan catatan visi misinya di setiap sudut dan
disetiap gang dan jalan yang strategis. Tapi ketika mereka melihat wajah itu
hanya ketika menjelang pemilu, tentu menjadikan gambar-gambar yang terpasang
tetap menjadi sebuah sosok yang asing dan tak penting. Perlu kerja keras dan
cara-cara yang cerdas agar para empunya suara tertarik untuk memilihnya.
Kualitas sosial yang agak longgar dan rasa persaudaraan telah pudar, membuat
orang cenderung materialistis. Secara tak sadar ada perhitungan matematis
terhadap waktu yang terpakai dan jasa yang diberikan untuk memberi dukungan
terhadap seseorang. Para epunya suara sudah menebak terlebih dulu, bahwa ada
keinginan memperoleh keuntungan bagi para calon DPR jika terpilih. Mengantarkan
seseorang memperoleh keuntungan materialis, maka tak tabu jika mengharap
imbalan materilis. Kekaburan nilai-nilai sosial dan persaudaraan telah bergeser
ke arah itu, karena perjalanan sejarah telah mengarahkan ke arah itu.
Kepedulian masyarakat perkotaan terhadap politik juga terus menipis.
Politik menjadi hal yang tidak penting dan menjadikan ekonomi sebagai hal yang
lebih penting dari politik. Dengan ekonomi yang mapan, semua bisa dibeli dan
‘dimainkan’. Mencari uang sebanyak-banyaknya menjadi kegiatan rutin yang
menyita waktu begitu banyak. Untuk menarik simpati dan dukungan bagi seorang
calon DPR di perkotaan, menjadi perjuangan yang tidak seringan di wilayah
perdesaan. Perlu modal yang lebih banyak, perlu kecerdasan membaca kemauan,
perlu kesabaran menghadapi reaksi warga dan perlu kejelian membaca situasi.
Su’udzon terhadap politik telah merasuki begitu banyak warga dan membuat
menjadi hampir-hampir melupakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar