Ini merupakan keterkejutan bagi saya. Sebuah lomba drum band Taman Kanak-Kanak,
dengan model penilaiannya dengan pengumpulan poin. Poin tersebut ‘dijual’ dengan harga satu poin
seribu Rupiah. Waktu seseorang yang diberi mandat untuk menyampaikan hal
tersebut, saya langsung menyatakan ketidaksetujuannya. Dia menjawab dengan
roman muka yang aku tak bisa tebak, “Saya hanya diberi tugas Pak, saya hanya
bisa menyampaikan, ini suratnya.” Rekanku menimpali, “Kalau mau protes jangan
di sini, sama panitianya sana,” sambil terus melanjutkan pekerjaannya
memijat-mijat tombol di keyboard. Sambil menyodorkan uang sebagai bentuk hormat
yang lebih cenderung ke kasihan, “Tolong sampaikan pada yang berkompeten, aku
tidak setuju model-model seperti ini.” Entah pesanku disampaikan atau tidak,
yang penting aku sudah mengeluarkan unek-unek.
Bagi penyandang Event Organiser atau panitia, ini mungkin merupakan sebuah
cara mengumpulkan dana yang efektif. Para sponsorship mungkin tak tertarik
memberikan dananya untuk sebuah event kecil yang gaungnya tak terbaca luas. Dana
dari pendaftaran para peserta tak seberapa, sementara acara yang sudah kadung
disusun harus berjalan demi mewujudkan sebuah ide. Tak perlulah berpikir
tentang hasil akhir dan imbas yang tertanam dalam imij para bocah-bocah lugu
yang akan ‘bertarung’ dan mempertontonkan kebolehannya dalam bermain drum band.
Bocah-bocah lugu itu harus menelan sebuah pelajaran awal bahwa, uang menjadi
peran penting untuk memenang sesuatu. Bukan sebuah kreatifitas, seni yang
diciptakan untuk keindahan dan kekompakan membangun kebersamaan menciptakan keindahan
untuk indera mata dan telinga.
Ide ini jelas mengadopsi acara kompetisi di tivi yang berusaha terus
menerus mengumpulkan SMS untuk menambah point, sebagai bentuk dukungan pada kompetitor
yang sedang bertanding dan sebagai ‘nilai’ tambah lolos tidaknya ke jenjang
yang lebih tinggi. Tentu ada keuntungan yang didapat dari pengiriman SMS itu.
Saya tak tahu pasti, apakah point dari SMS itu memang berpengaruh besar dan
absolut atau nilai sesungguhnya ada pada Juri. Grafik pengiriman SMS bisa saja
dimainkan agar para pendukung kompetitor berusaha mengirim SMS sebanyak mungkin
agar jagonya tidak turun panggung. Kemudian muculah gerakan kirim SMS dengan
berSMS ke kolega memohon dukungan, sampai bikin baner yang dipajang di tempat
strategis. Siapa yang mampu membeli pulsa sebanyak mungkin dan memberikan
dukungan lewat SMS sebanyak mungkin, maka jagoanya bisa tetap eksis, itu yang tertanam dalam benak mereka. Saya bersyukur
jika yang menentukan sesungguhnya adalah nilai Juri yang memang profesional dan
bukan dari banyak-banyakan SMS yang obyektifitasnya mungkin saja terlupakan,
meski tidak sepenuhnya.
‘Mungkin’ panitia sudah tahu kapasitas para peserta yang akan ikut
lomba. Panitia bingung memilih mana yang terbaik, karena menurut pengamatan
sebelum lomba, semua sama nilainya jika dikalkulasi dari semua kriteria yang
akan diterapkan dan dengan cara pengumpulan point (koin) inilah yang akan
menjadi pembeda mana yang menang dan mana yang kalah. Maka lahirlah sebuah
kesan, siapa yang punya duit itu pemenang yang tidak punya duit itu pecundang. Semoga
saja para anak-anak TK tak mengerti bagaimana sebuah obyektifitas dalam sebuah
pertaningan tersingkir oleh uang. Semoga, guru-guru TK tak lupa untuk
memberikan pengertian bahwa, uang yang banyak bukan segalanya untuk memenangkan
sebuah pertandingan. Obyektifitas dan kreatifitas tetap mendapatkan ruang.
Semoga…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar