Saat aku bermain badminton kok yang jatuh didepanku yang aku ragu apakah
itu mengenai garis atau keluar, aku menjadi tak segera menjawab ketika di tanya
lawan main apakah masuk atau tidak. Demi untuk kemenangan, seharusnya aku
mengatakan Kok itu keluar. Tapi kemudian saat lawan mainku dengan main-main
menyumpahku, aku jadi ragu untuk menjawab yang tegas untuk meyakinkannya.
Karena bagiku, sebuah ucapan yang disebut sumpah, tak sekedar berbicara untuk
meyakinkan pihak lain agar tidak ragu untuk mempercayainya. Sumpah itu menjadi
berkaitan dengan tanggungjawab saya terhadap Tuhan dan hati nurani. Padahal,
sumpah itu tak membawa dampak apa-apa terhadap kehidupan saya atau lawan main
saya. Dan jika aku mengataka dengan tegas agar lawan mainku tak ragu, juga tak
tak pengaruh banyak, paling hanya akan terjadi selisih satu poin. Itu bukan
sebuah masalah
besar. Dan kenapa aku menjadi begitu ragu untuk mengatakan Kok itu keluar tidak
menyentuh garis. Saya malah berpikir mendingan mengalah daripada harus kalah
batin.
Saat Anas Urbaningrum saat masih menjadi ketum Partai Demokrat, berani
berkoar, ‘gantung aku di Monas jika aku menerima uang terkait proyek Hambalang’,
aku sangat yakin kalau Anas memang tak ikut-ikutan makan kue proyek Hambalang.
Keyakinanku didasari oleh analogi terhadap apa yang aku alami. Menurutku, jika pun kemudian tidak terbukti secara hukum kalau kita
bohong, jika kita nyata-nyata berbohong, hati kita akan protes pada diri kita
sendiri tak mau memaklumi sebuah kebohongan. Hati nurani sangat peka dan mengerti
tentang kejujuran dan kebohongan.
Kebohongan sering
dilakukan dengan disadari dan direncanakan kemungkinan yang akan terjadi jika
kebongongan sudah dilakukan. Kadang orang terpaksa berbohong demi untuk
menutupi sesuatu yang ketika belum saatnya orang lain tahu atau kebohongan
dilakukan dengan sadar dan direncana karena jika jujur akan ada imbas yang
tidak baik bahkan bisa menjadikan situasi menjadi tidak kondusif. Jika
kebohongan dilakukan demi untuk menutupi sebuah kebusukan yang kebusukan itu
dilakukan dengan sadar dan direncana, tentu itu hal yang sangat menjijikan.
Sebuah kebohongan yang direncanakan, tentu sudah disiapkan segala cara untuk menutupi kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi jika ada sedikit yang terkuak tentang kebohongan itu, kemudian
menjadi telanjang dan terang. Strategi untuk terus membungkus kebohongan dan
segala alat bukti dilakukan dan disiapkan agar tak ada lagi orang curiga dan
percaya betul bahwa si pelaku tidak pernah melakukan kebohongan.
Jika Anas memang
benar-benar tidak ikut terlibat berkorupsi pada proyek Hambalang, wajar saja
jika Ia berani ngomong berani digantung di Monas. Jika yang ngomong begitu
seorang bocah TK atau kelas satu SD, tentu serta merta kita akan percaya, sebab seorang bocah yang
masih sangat lugu belum bisa berbohong. Perlu kecerdasan untuk berbuat bohong.
Menjadi lain kalau yang ngomong adalah seorang politikus. Bahkan publik
kemudian menunggu apa sebenarnya yang terjadi. Kita telah sulit percaya kepada
sumpahnya seorang yang berkecimpung di politik dan kekuasaan. Begitu banyak
hal-hal yang di luar dugaan kita, ternyata muncul dan makin membesar seperti
gunung es ditengah lautan kutub.
Sebagai orang yang
pernah menjadi Ketua umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), saya agak percaya
dengan sumpahnya. Saya yakin Anas punya pondasi yang kuat tentang keimanan dan
punya komitmen untuk jujur. Tapi, melihat ia adalah seorang politikus yang
mengharuskan untuk bertindak bukan hanya demi kepentingan dirinya, tapi Ia juga
harus bertindak agar semua aman dan keadaan bisa terkendali. Idealisme yang
baik dari seseorang bisa dengan gampang berubah, apalagi jika keadaan sekitar
secara terus menerus membombardir yang
menyebabkan idealismenya berubah arah. Idealisme memang
bisa saja berubah arah, bahkan bisa berbalik seratus delapan puluh derajat.
Tak bisa menebak,
apakah Anas memang tidak ikut berkorupsi pada proyek Hambalang atau tidak. Tak
tahu juga tujuan Anas bersumpah. Apakah memang benar bahwa Ia tak ikut-ikutan,
atau Ia sengaja agar publik terbius oleh kata-katanya dan percaya padahal Ia
sebenarnya ikut terlibat. Tak tahulah, kita juga tak bernai gampang menebak,
karena jika pun benar Ia terlibat, tentu sudah dipersiapkan cara untuk lepas
dari jerat hukum.
Tak bersumpah pun, jika kita benar, akan tetap benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar