13 desember 2012.
Ironis. Sesuatu yang jelas sekali kita tahu, kalau melanggar aturan,
apapun aturan itu baik tertulis ataupun tidak tertulis, adalah sesuatu yang
salah dan semestinya dihindari. Tapi, sering sekali kita dengan sadar, dengan
pura-pura tidak sadar, dengan merasa tanpa dosa melakukan pelanggaran. Parahnya
itu bisa dilakukan berkali-kali dalam sehari. Sebuah kebiasaan turun temurun yang
menjadi sulit untuk mengikisnya dan kemudian menjadi kebudayaan. Budaya yang
perlu dibuang.
Saya kira sebagian besar pengendara kendaraan bermotor tahu arti marka
jalan sebuah garis ditengah jalan dengan tanpa terputus. Kita diharuskan untuk
tidak melewati garis itu untuk tidak masuk ke jalur yang berlawanan. Dan apakah
kita akan tetap pada jalur kita saat dari arah berlawanan tidak ada kendaraan
yang lewat. Saya bisa memastikan kalau sebagian besar pengendara akan
menyeberang untuk segera mendahului yang lain, termasuk juga saya. Sebuah hal
yang memilukan sebenarnya untuk ikut melanggar. Ada terbersit dipikiran, jika
tak ikut melangar tidak cepat sampai. Sepertinya sayang sekali kalau tak
memanfaatkan kesempatan untuk melanggar, apalagi kalau tak ada Polisi yang
bertugas untuk mengawasi dan menangkap si pelanggar. Ada banyak ruas jalan yang
pengendara tak berani melanggar karena tahu sering ada Polisi yang siap
menangkap. Ketidakberanian ini pun bukan karena berasal dari hati untuk tidak
melanggar, tetapi karena lebih takut berurusan dengan Polisi yang ujungnya uang
untuk denda. Diperempatan jalan, kita juga harus pikir-pikir untuk berhenti
saat lampu kuning menyala, karena sangat bisa kendaraan lain nyruduk memanfaatkan
sekian detik lampu kuning sebelum terbit lampu merah. Aturannya, lampu kuning
berarti berhenti. Boro-boro lampu kuning, lampu merah pun kalau tahu baru byar sekian detik masih diterobos. Menyalip dari sebelah kiri, segera masuk ke ruang kosong di depannya,
parkir di sembarang tempat, sebuah pemandangan yang yang sering kita lihat.
Maka kemacetan pun terjadi setiap hari, terutama di kota-kota besar. Ini sebagian contoh di jalan.
Di tempat lain, di tempat pengurusan dokumen, pengurusan surat-surat
ijin, pengajuan proposal, dan lain sebagainya, menjadi sebuah kebiasaan untuk melewat
pintu belakang agar lebih cepat selesai ketimbang lewat jalur legal formal yang
menjadi lama karena mendahulukan para pengetuk pintu belakang. Bahkan di
tempat-tempat umum semacam bank yang sudah memakai antrian komputerisasi, masih
bisa lewat pintu belakang dengan memesan dulu nomor antrian jika punya orang dalam
yang kebetulan bisa di mintai bantuannya.
Melanggar aturan
sepertinya menjadi sebuah petualangan yang harus ditaklukan dan merasa nyaman
dan bangga jika selamat tanpa ter-kenabatu-nya. Rasa malu dengan melanggar
aturan tak terbersit di hati, karena melanggar adalah sebuah kebiasaan yang
terus menerus terjadi di sekekeliling kita. Kita akan senang jika mendengar
tentang sebuah kedisiplinan yang tegas yang diterapkan pada sebuah institusi.
Atau cerita tentang pola disiplin warga pada negara-negara maju, seperti
Jepang, Korea, Amerika. Hanya sekedar senang mendegar sebuah cerita tentang
disiplin, karena begitu disiplin diterapkan pada kita, maka kita akan segera
merasa tidak nyaman dan tersiksa. Maka si pemimpin yang menerapkan disiplin di
cap kurang toleransi, keras, kaku, tidak kompromistis.
Sering juga kita menghujat
petugas yang tak mau diajak main pintu belakang. Aneh, orang yang tak mau
melanggar malah di cap tak bisa diajak kerja sama. Kesalahan yang terjadi terus
menerus dan dilakukan dengan sadar secara routine akan menjadi sebuah kebiasaan
yang dengan tidak sadar dianggap sebuah kebenaran. Kebenaran dan ketidakbenaran
sangat subyektif yang merupakan hasil dari pola pikir yang dipengaruhi oleh
kebiasaan yang terjadi di sekeliling kita.
Karena tidak
melanggar tidak cepat sampai, maka melanggar menjadi sebuah petulangan. Menyedihkan??..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar