San Djayim
Ketika saya melihat poster-poster atau banner bergambar foto seseorang yang memperkenalkan dirinya, secara eksplisit maupun implisit, untuk siap dipilih menjadi Bupati atau Wakil Bupati, Kabupaten Banyumas tahun 2013-2018, saya jadi berpikir, apa yang diharapkan mereka dengan menjadi Bupati? Jika mereka ditanya satu persatu, tentu jawabannya satu sama lain akan mirip-mirip; ingin mendarmabaktikan tenaga dan pikiran untuk kesejahteraan dan kemajuan Banyumas. Kira-kira garis besarnya begitu, tentu dengan nada, cara bicara dan susunan kalimat yang berbeda. Takkan mungkin ada calon bupati atau yang mencalonkan dirinya jadi bupati berterus terang kalau keinginannya jadi bupati karena akan menjadi kebanggaan keluarga, akan dihormati, duitnya banyak, prestise, gengsi, dan sebagainya yang berkaitan dengan kebanggaan dan penghasilan. Pun jika ada yang berani jujur begitu, lebih banyak kemungkinan ditinggal oleh pemilih dibandingkan dengan orang yang bisa menyembunyikan keinginannya dengan berbasa-basi dengan bahasa intelek dan basa politik yang kalimatnya bercabang multi tafsir.
Panggung dunia politik kita yang sekarang bisa dibaca dan ditonton kapan dan dimana saja memberi kita ruang berpikir dan berwawasan yang semakin luas, membuat kita gampang menebak bahwa mereka yang terjun ke dunia politik adalah mereka yang sedang merebut kekuasaan untuk kemakmuran dirinya pribadi dan golongannya. Walau terkadang pendapat semacam itu bisa dikata apriori, itulah fakta yang terjadi dan telah dibaca oleh rakyat yang punya suara dan punya hak pilih. Kalau ada diantara mereka para politikus yang ngotot mengumandangkan tentang idealisme untuk benar-benar ingin berbakti kepada ruang wilayah dimana Ia tinggal, bisa-bisa itu menjadi bumerang dan akan menurunkan tingkat popularitas. Berdasar pengalaman, rakyat sudah tidak bisa gampang dibohongi dengan retorika dan kata-kata manis, penampilan santun, bicar bijak yang dibungkus sedemikian rupa dalam kemasan yang dibikin berbeda-beda.
Incumbent Bupati Banyumas sekarang, Marjoko, dulu berhasil membuai rakyat Banyumas dengan slogan kampanyenya, “membangun dengan investasi”, kalimat singkat itu telah membikin rakyat Banyumas seolah akan segera dibangun banyak pabrik akan menyerap beribu tenaga kerja dan tentu akan membuat pendapatan perkapita meningkat, kesejahteraan bertambah dan berharap pula pembangunan infrastrukutur, terutama jalan, dapat segera dibangun dan dirawat rapi diseluruh pelosok kabupaten. Slogan itu merupakan kecerdikan Marjoko yang membaca keberhasilan tetangga, Kabupaten Purbalingga, menarik investor untuk berbondong-bondong datang berinvestasi. Dan endingnya Marjoko berhasil terpilih oleh rakyat Banyumas untuk menjadi Bupati mengalahkan pesaingnya yang diusung oleh partai-partai besar dibanding PKB yang menjadi kendarannya. Perkara di kurun waktu pemerintahannya apakah memang benar bisa membuat investor datang berduyun-duyun untuk berinvestasi, itu urusan lain. Toh kita tidak bisa membandingkan hasil karyanya dengan kalimat, jika saja bupatinya bukan Marjoko, karena di dalam kurun waktu yang sama dan di dalam wilayah yang sama tidak mungkin ada dua kepala wilayah. Entah model kampanye apa lagi yang akan dihembuskan oleh Marjoko yang kabarnya akan diusung oleh Partai Golkar, untuk menghadapi Pilihan Bupati yang sudah direncanakan oleh KPU Kabupaten Banyumas tanggal 17 Februari 2013.
Nampaknya belum ada calon Bupati dalam iklan pengenalannya untuk siap dipilih menjadi Bupati menyertakan program atau sebaris kalimat yang akan membuat para pemilih tertarik. Seorang yang tidak dikenal secara luas, memerlukan moment yang tepat dan keberuntungan untuk memunculkan kapasitas dirinya sehingga kemudian banyak orang yang mempercayainya dan menganggapnya layak untuk menjadi pimpinan. Keberhasilan Jokowi beriklan dengan mobil SMK-nya, merupakan kampanye paling efektif, efesien dan tepat. Ditambah tampangnya yang tidak ngotot, ngalah dan innocent. Mungkin Ia sendiri tak merencanakan atau tak menyangka mobil SMK-nya itu membuatnya menjadi lebih terkenal. Tentu akan menjadi unproduktif jika ada orang yang mau meniru cara Jokowi. Hanya dia yang punya kesempatan seperti itu.
Media televisi menjadi media yang paling banyak dilihat dan paling banyak menyita waktu. Budaya kita yang belum gemar membaca membuat televisi berpengaruh besar pada subyektifitas seseorang terhadap tokoh yang sering muncul. Kemunculan berkali-kali seseorang di televisi yang disengaja atau dipaksakan karena ada maksud akan mencalonkan diri jadi kepala wilayah atau ingin menang dalam panggung demokrasi politik, hanya sekedar mengingatkan saja dan tidak berpengaruh besar terhadap pilihan hati yang lebih tersentuh dengan cara-cara kampanye yang (seperti) tak disengaja telah membuat banyak orang terpana dan merasa cocok. Bahkan bisa saja seorang yang tiba-tiba memunculkan dirinya dan menciptakan dirinya sedmikian rupa menjadi tokoh yang patut dipilih dalam pangung politik, bisa menimbulkan su’udzon politik dan akhirnya cemooh yang didapat.
Wakil Bupati Muhammad Husen tampaknya akan maju menjadi Bupati. Poster-posternya sudah terpampang di mana-mana, berebut tempat strategis dengan calon lain yang terus bermunculan. Entah lewat gerbong partai apa Ia akan berangkat kesana. Selain alasan klasik politis, (ingin berbakti……. dan sebagainya) tentu ada alasan pribadi dan atau misi pribadi. Pasti tidak enak punya kekuasaan yang tak sepenuhnya bisa berkuasa. Menjadi wakil sepertinya hanya sebagai pelengkap penderita dan seolah tak ada wakil pun tak apa-apa dan semua bisa berjalan seperti biasanya. Segala ide dan ego harus diselaraskan dulu dengan Bupati sebagai pemegang kendali nomor satu. Seorang wakil bupati tentu ketenarannya kalah dibandingkan dengan bupati, tapi tentu Ia lebih terkenal dari calon lain. Jika ia punya niat untuk menjadi orang nomor satu di Banyumas, Ia bisa saja memanfaatkan jabatannya selama menjabat untuk “berkampanye”, dengan catatan tidak boleh sampai ketahuan sedang berkampanye terselubung, karena itu akan menjadi bumerang yang dahsyat. Pencitraan diri secara halus dengan mendekat dan merapat pada rakyat lapisan bawah bisa mendapat simpati yang kemudian berubah menjadi dukungan disaat diperlukan. Sebisa mungkin jangan sampai ada kesan feodalisme muncul di setiap kegiatan.
Tokoh-tokoh lain juga mulai bermunculan. Ada poster dengan nama orang yang dulu juga pernah mencalonkan diri jadi bupati dan tak mendapatkan kendaraan, ada nama-nama yang mungkin sebagian banyak orang baru tahu tampangnya. Semua berebut perhatian untuk pada saatnya mengajak untuk memilihnya jika sampai pada tahap menjadi Calon Bupati. Mereka tentu sedang berpikir bagaimana beriklan tentang dirinya agar efektif dan efesien.
Ketika saya melihat poster-poster atau banner bergambar foto seseorang yang memperkenalkan dirinya, secara eksplisit maupun implisit, untuk siap dipilih menjadi Bupati atau Wakil Bupati, Kabupaten Banyumas tahun 2013-2018, saya jadi berpikir, apa yang diharapkan mereka dengan menjadi Bupati? Jika mereka ditanya satu persatu, tentu jawabannya satu sama lain akan mirip-mirip; ingin mendarmabaktikan tenaga dan pikiran untuk kesejahteraan dan kemajuan Banyumas. Kira-kira garis besarnya begitu, tentu dengan nada, cara bicara dan susunan kalimat yang berbeda. Takkan mungkin ada calon bupati atau yang mencalonkan dirinya jadi bupati berterus terang kalau keinginannya jadi bupati karena akan menjadi kebanggaan keluarga, akan dihormati, duitnya banyak, prestise, gengsi, dan sebagainya yang berkaitan dengan kebanggaan dan penghasilan. Pun jika ada yang berani jujur begitu, lebih banyak kemungkinan ditinggal oleh pemilih dibandingkan dengan orang yang bisa menyembunyikan keinginannya dengan berbasa-basi dengan bahasa intelek dan basa politik yang kalimatnya bercabang multi tafsir.
Panggung dunia politik kita yang sekarang bisa dibaca dan ditonton kapan dan dimana saja memberi kita ruang berpikir dan berwawasan yang semakin luas, membuat kita gampang menebak bahwa mereka yang terjun ke dunia politik adalah mereka yang sedang merebut kekuasaan untuk kemakmuran dirinya pribadi dan golongannya. Walau terkadang pendapat semacam itu bisa dikata apriori, itulah fakta yang terjadi dan telah dibaca oleh rakyat yang punya suara dan punya hak pilih. Kalau ada diantara mereka para politikus yang ngotot mengumandangkan tentang idealisme untuk benar-benar ingin berbakti kepada ruang wilayah dimana Ia tinggal, bisa-bisa itu menjadi bumerang dan akan menurunkan tingkat popularitas. Berdasar pengalaman, rakyat sudah tidak bisa gampang dibohongi dengan retorika dan kata-kata manis, penampilan santun, bicar bijak yang dibungkus sedemikian rupa dalam kemasan yang dibikin berbeda-beda.
Incumbent Bupati Banyumas sekarang, Marjoko, dulu berhasil membuai rakyat Banyumas dengan slogan kampanyenya, “membangun dengan investasi”, kalimat singkat itu telah membikin rakyat Banyumas seolah akan segera dibangun banyak pabrik akan menyerap beribu tenaga kerja dan tentu akan membuat pendapatan perkapita meningkat, kesejahteraan bertambah dan berharap pula pembangunan infrastrukutur, terutama jalan, dapat segera dibangun dan dirawat rapi diseluruh pelosok kabupaten. Slogan itu merupakan kecerdikan Marjoko yang membaca keberhasilan tetangga, Kabupaten Purbalingga, menarik investor untuk berbondong-bondong datang berinvestasi. Dan endingnya Marjoko berhasil terpilih oleh rakyat Banyumas untuk menjadi Bupati mengalahkan pesaingnya yang diusung oleh partai-partai besar dibanding PKB yang menjadi kendarannya. Perkara di kurun waktu pemerintahannya apakah memang benar bisa membuat investor datang berduyun-duyun untuk berinvestasi, itu urusan lain. Toh kita tidak bisa membandingkan hasil karyanya dengan kalimat, jika saja bupatinya bukan Marjoko, karena di dalam kurun waktu yang sama dan di dalam wilayah yang sama tidak mungkin ada dua kepala wilayah. Entah model kampanye apa lagi yang akan dihembuskan oleh Marjoko yang kabarnya akan diusung oleh Partai Golkar, untuk menghadapi Pilihan Bupati yang sudah direncanakan oleh KPU Kabupaten Banyumas tanggal 17 Februari 2013.
Nampaknya belum ada calon Bupati dalam iklan pengenalannya untuk siap dipilih menjadi Bupati menyertakan program atau sebaris kalimat yang akan membuat para pemilih tertarik. Seorang yang tidak dikenal secara luas, memerlukan moment yang tepat dan keberuntungan untuk memunculkan kapasitas dirinya sehingga kemudian banyak orang yang mempercayainya dan menganggapnya layak untuk menjadi pimpinan. Keberhasilan Jokowi beriklan dengan mobil SMK-nya, merupakan kampanye paling efektif, efesien dan tepat. Ditambah tampangnya yang tidak ngotot, ngalah dan innocent. Mungkin Ia sendiri tak merencanakan atau tak menyangka mobil SMK-nya itu membuatnya menjadi lebih terkenal. Tentu akan menjadi unproduktif jika ada orang yang mau meniru cara Jokowi. Hanya dia yang punya kesempatan seperti itu.
Media televisi menjadi media yang paling banyak dilihat dan paling banyak menyita waktu. Budaya kita yang belum gemar membaca membuat televisi berpengaruh besar pada subyektifitas seseorang terhadap tokoh yang sering muncul. Kemunculan berkali-kali seseorang di televisi yang disengaja atau dipaksakan karena ada maksud akan mencalonkan diri jadi kepala wilayah atau ingin menang dalam panggung demokrasi politik, hanya sekedar mengingatkan saja dan tidak berpengaruh besar terhadap pilihan hati yang lebih tersentuh dengan cara-cara kampanye yang (seperti) tak disengaja telah membuat banyak orang terpana dan merasa cocok. Bahkan bisa saja seorang yang tiba-tiba memunculkan dirinya dan menciptakan dirinya sedmikian rupa menjadi tokoh yang patut dipilih dalam pangung politik, bisa menimbulkan su’udzon politik dan akhirnya cemooh yang didapat.
Wakil Bupati Muhammad Husen tampaknya akan maju menjadi Bupati. Poster-posternya sudah terpampang di mana-mana, berebut tempat strategis dengan calon lain yang terus bermunculan. Entah lewat gerbong partai apa Ia akan berangkat kesana. Selain alasan klasik politis, (ingin berbakti……. dan sebagainya) tentu ada alasan pribadi dan atau misi pribadi. Pasti tidak enak punya kekuasaan yang tak sepenuhnya bisa berkuasa. Menjadi wakil sepertinya hanya sebagai pelengkap penderita dan seolah tak ada wakil pun tak apa-apa dan semua bisa berjalan seperti biasanya. Segala ide dan ego harus diselaraskan dulu dengan Bupati sebagai pemegang kendali nomor satu. Seorang wakil bupati tentu ketenarannya kalah dibandingkan dengan bupati, tapi tentu Ia lebih terkenal dari calon lain. Jika ia punya niat untuk menjadi orang nomor satu di Banyumas, Ia bisa saja memanfaatkan jabatannya selama menjabat untuk “berkampanye”, dengan catatan tidak boleh sampai ketahuan sedang berkampanye terselubung, karena itu akan menjadi bumerang yang dahsyat. Pencitraan diri secara halus dengan mendekat dan merapat pada rakyat lapisan bawah bisa mendapat simpati yang kemudian berubah menjadi dukungan disaat diperlukan. Sebisa mungkin jangan sampai ada kesan feodalisme muncul di setiap kegiatan.
Tokoh-tokoh lain juga mulai bermunculan. Ada poster dengan nama orang yang dulu juga pernah mencalonkan diri jadi bupati dan tak mendapatkan kendaraan, ada nama-nama yang mungkin sebagian banyak orang baru tahu tampangnya. Semua berebut perhatian untuk pada saatnya mengajak untuk memilihnya jika sampai pada tahap menjadi Calon Bupati. Mereka tentu sedang berpikir bagaimana beriklan tentang dirinya agar efektif dan efesien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar