Solehan Djayim
Sebuah perbedaan itu suatu hal yang sangat lazim di dunia. Bermilyar orang yang hidup di dunia, tak ada satupun dua orang yang sama persis satu sama lain. Selera setiap orang juga berbeda-beda. Dari selera bermusik, cara bersikap, berkarya dalam menulis, berbeda dalam memandang sebuah karya seni, berbeda dalam menfsirkan sebuah cerita. Semua perbedaan itu tidak jadi masalah dan berjalan beriringan saling melengkapi, saling memaklumi dan tak dipersoalkan sebagai hal yang perlu diseragmkan agar tak terjadi perbedaan. Karena perbedaan semacam itu suatu yang alami dan tak ada orang atau kelompok tertentu yang perlu mempersoalkan. Media massa yang biasanya gencar mengangkat sebuah perbedaan agar menjadi berita hangat, kontroversi dan ramai, dalam perbedaan semacam ini tak ada yang ‘layak jual’. Ini sebuah keadan yang tak mampu membakar hati, meskipun dikemas dengan cara apapun.
Perbedaan warna kulit sering menjadi isu yang sensitif. Orang berkulit hitam, kebanyakan berasal dari benua Afrika, di pergaulan internasional sering dipandang lebih rendah oleh sebagiann orang eropa yang kebetulan mempunyai warna kulit putih. Berabad-abad orang kulit hitam di Amerika menjadi golongan kedua dan menjadi budak bagi orang-orang kulit putih, sampai kemudian orang-orang kulit hitam bisa berhasil memperjuangkan kelompok mereka untuk menjadikan mempunyai hak-hak yang sama dengan orang-orang berkulit berwarna lainnya. Isu rasis berdasarkan warna kulit juga terjadi di negara-negar eropa. Di dunia sepak bola, tifosi Itali, sampai sekarang sering melontarkan isu rasis di stadion-stadion saat pemain berkulit hitam turun di lapangan. Mereka sering mengeluarkan nada suara mengejek untuk para pemain sepak bola yang berkulit hitam. Meski sering di tegur oleh badan sepak boal tertinggi dunia (FIFA), para penggemar dan pendukung sepak boal di negara itu, tetap saja sering berlaku demikian. Mereka yang berkulit putih mungkin karena belum pernah mengalami tiba-tiba kulitnya berubah menjadi hitam layaknya orang berkulit hitam dari afrika atau tiba-tiba anak mereka lahir dengan warna kulit hitam dan face Afrika. Mungkin Allah perlu menegur mereka dengan cara demikian.
Perbedaan akan sangat sensitif jika perbedaan itu menyangkut sebuah keyakinan. Jika hanya sekedar keyakinan tentang selera makan atau selera seni, itu hal yang biasa dan sangat dimaklumi. Tapi jika keyakinan itu tentang kepercayaan terhadap sebuah agama, akan jadi persoalan besar jika terjadi perbedaan. Gesekan-gesekan kecil akan segera membara. Apalagi jika itu perbedaan antar agama. Jika ada yang merasa dilecehkan tentang keagamaannya, ada yang merasa terhina atas sebuah sikap orang lain yang berbeda agama, akan segera menjadi bara yang membara yang setiap saat bisa menghanguskan antar pemeluk agama. Semua pihak akan merasa paling benar dan merasa harus dan wajib untuk turun ikut membela agamanya. Jika kemudian muncul provokator yang keberadaan tidak disadari kedua belah pihak, maka semakin besar pergesekan yang terjadi dan bisa dengan gampang menjadi pertumpahan darah. Korban jiwa berjatuhan. Perang etnik antar suku dayak dan suku madura di Kalimantan dan perang antar agama, Kristen dan Islam di Ambon, bukti nyata kalau keyakinan bisa membuat seseorang atau sekelompok orang mempunyai energi tambahan dan keberanian yang luar bisa untuk menghancurkan dan membunuh orang lain yang berbeda keyakinan. Masing-masing mereka mempunyai rasa terpanggil untuk membela agamanya atau kelompoknya dan merasa menjadi pahlawan jika bisa menghancurkan kelompok lain. Semakin besar Ia bisa menghancurkan atau membunuh lawan, semakin besar rasa kepahlawanannya.
Orang-orang ‘super hero’ akan terus maju membabat semua yang menghalanginya, semua yang menurut mereka harus dihancurkan demi untuk membersihkan kepercayaannya dari ‘polusi’ kepercayaan lain yang tidak sama dengan kepercayaannya. Beruntunglah, masih saja ada orang-orang yang mau peduli untuk tidak membiarkan sebuah perang kepercayaan terus menimbulkan korban jiwa yang terus bertambah. Dan jika sudah berhasil didamaikan antar pihak yang bertikai, menjaga keadaan agar selalu terjaga kedamain dan kondusif, pun butuh sekali ketelatenan dan kehati-hatian dan bertindak, berbicara dan berperilaku.
Di dalam agama Islam, antar pemeluk agama Islam, perbedaan cara beribadah, sering menjadi sebuah konflik-konflik kecil yang potensial sekali menjadi besar. Masing-masing pihak merasa paling benar dan yang di luar kelompoknya adalah keliru. Perbedaan pijakan mengambil hadist dan juga perbedaan penafiran menjadi titik awal konflik. Ada sebagaian diantara mereka kemudian berkelompok dan meneglompokan diri dengan orang-orang yang se-kepercayaan dan sealiran. Bahkan ada yang kemudian mengeklusifkan diri dari kelompok lain, dan beruntung banyak diantara mereka tidak mau mengganggu dan memepersoalkan kelompok lain di luar mereka. Meski kadang ada segelintir orang yang muncul memepersoalkan perbedaan diantara mereka tapi kemudian kita bisa bersyukurlah karena kemudian segera dapat di padamkan.
Perbedaan yang baru-baru ini muncul adalah perbedaan mengenai jatuhnya Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriah. Hari yang menjadi tanda berakhirnya Puasa Ramadlan ini bebrapa kali terjadi perbedaan. Bahkan ada kelompok-kelompok Islam tertentu yang mengakhiri Puasa Ramadlan berbeda dua tiga hari dengan yang ditentukan Pemerintah. Pada kelompok-kelompok Islam tertentu yang jumlahnya kecil, seperti Na’syabandiyah, kelompok Islam di jawa yang berpentang Lebaran di hari tertentu atau di beberapa tempat yang tidak terlihat oleh kamera media massa. Dalam sidang Isbat yang dipimpin oleh Menteri agama Suryadarma Ali, ada beda pijakan dasar dalam pengambilan bergulirnya bulan memasuki bulan Syawal. Muhammadiyah mengambil keputusan bahwa 1 Syawal 1432 Hijriyah jatuh pada Hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011, sedangkan yang lain menentukan pada hari Rabu 31 agustus 2011. Muhammdiyah bahkan sudah menentukannya jauh-jauh hari sebelumnya. Alhamdulillah perbedaan semacam ini tidak menjadi masalah dan dipermasalahkan oleh umat Islam. Umat Islam sudah dewasa untuk menyikapi hal-hal semacam itu. Meski kali ini banyak ibu-ibu rumah tangga yang kecewa karena sudah mempersiapkan masakan untuk lebaran hari Selasa, ternyata lebarannya hari Rabu. Para ibu bisa dimaklumi, karena mereka melihat kalender yang kebanyakan menentukan tanggal merah sebagai tanda hari lebaran dan libur bersama di tanggal 30 dan 31 Agustus. Biasanya tanggal pertama sebagai tanda jatuhnya hari lebaran. Maka banyak opor yang terlanjur dimasak untuk persediakan di hari lebaran menjadi lauk di Sahur terakhir. Dan berbelanja lagi untuk keperluan hari lebaran esok harinya. Juga banyak terjadi benturan jadwal pertemuan karena ada jadwal pertemuan yang berdasarkan kalender Hijriyah, seperti pertemuan keluarga, dengan jadwal reuni sekolah atau temu kangen lainnya yang berdasarkan kalender Masehi.
Tanpa bermaksud membela kelompok yang memanfaatkan kemajuan teknologi dan belajar dari BMG atau disiplin ilmu meterologi lain yang bisa memprediksi datang gerhana Bulan, dan gerhana Matahari, dengan tepat bulan, tanggal, jam, menit dan detik-nya, mestinya kita umat Islam bisa memanfaatkan kemajuan teknologi itu. Saya kira memanfaatkan teknologi sebagai hasil manusia-manusia yang berpikir, tidak diharamkan dalam Agama Islam. Dan penentuan jatuh 1 Syawal tidak harus menunggu keputusan Menteri Agama bersidang sampai jam setengah sepuluh malam di Waktu Indonesia Bagian Barat. Dan tentu di Waktu Indonesia Bagian Timur menjadi dua jam lebih malam.
Kalau kita sama-sama mau memperbaiki dan menyikapi dengan baik-baik tanpa merasa paling benar dan paling berpengaruh, mestinya masing-masing kelompok yang sedikit ada beda dalam berpandangan, sedikit beda dalam berpijak pada hadits, sedikit bebeda dalam kecenderungan aliran, bisa duduk bersama untuk menetukan cara yang bisa di sepakati bersama untuk menetukan jatuhnya 1 Syawal atau pun menetukan jatuhnya Hari Lebaran Haji yang juga kadang terjadi perbedaan. Jika sudah di sepakati cara menetukannya, maka seminggu atau minimal lima hari sebelum hari H, Menteri Agama bisa mentukan kapan jatuhnya hari lebaran itu. Saya yakin pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, bisa memfasilitasi dengan baik dan tanpa menimbulkan permasalahan. Atau akan dibiarkan hal semacam itu, perbedaan penetuan hari H Lebaran, menjadi sebuah teka-teki di setiap tahun? Kita tunggu Lebaran tahun depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar