djayim.com
Pagi yang masih dingin, gelap dan berat melambat. Kegelisahaan membuat menjadi tak nyaman, grungsang.
“Istirahat
atau tidur dulu Pak. Saya bikinkan kopi ya Pak?"
“Ya. Tidak
usah.”
Pagi masih
terlalu dingin untuk dinikmati. Bahkan suara nafaspun masih terdengar jelas dan
dingin merambat dari jari-jari kaki.
“Ini yang
terakhir, Bu. Apapun yang terjadi, kita harus bertahan.”
Istrinya
diam. Sudah berapa puluh kali suaminya bilang, ‘ini yang terakhir’. Dan, Ia
bersyukur jika memang benar. Dan, sanggupkah bertahan untuk lapar yang lama?
“Kota terlalu
keras untuk kita, bu. Keyakinan kita salah. Semua yang di kampung habis, tak
tersisa. Sekarang harga diri kita juga sudah habis tak tersisa. Meski tak ada
yang tahu, tapi aku malu. Malu sekali.” Istrinya diam, melepas nafas lewat hidung,
melepas sesak pikiran dan bergegas ke kamar mandi. Dua anaknya sudah mulai
bangun untuk siap-siap berangkat sekolah. Semua sudah disiapkan seperti setiap
pagi.
Ia memasang kepala
konektor gas elpiji warna hijau sambil berkali-kali mengusapnya. Benda itu
menjadi sangat menarik, pun selalu agak berlama-lama jika kompor sudah siap
dipakai. Ada cerita yang tercatat rapi diingatannya. Dari rencana awal mengambil
sampai ke ruang dapur, dipasang disambungkan dengan kompor, dinyalakan.
Baginya, api dari tabung gas yang diperolehnya dengan susah payah,
mengendap-endap dan mencongkel pagar atau pintu, terasa sangat mengasyikan. Biru
apinya selalu memberi rasa pemuas sebuah petualangan. Lidah apinya
menjilat-jilat bercengkerama. Dan, tabung gas yang ditata rapi ditabuhnya pada
saat-saat tertentu. Setiap tabung mengeluarkan suara berbeda yang diurutkan
seperti urutan tangga nada.
Awalnya, sebuah
keterpaksaan. Ketika malam, tak ada uang dan tak ada sesuatu apapun untuk makan
esok pagi, sebagai seorang kepala rumah tangga, Karba gelisah. Memkasa untuk
tidur pun, tak bisa. Ketika malam sudah sangat dingin dan adzan subuh belum
berkumandang, Karba keluar rumah tanpa pamit. Ia mencari rumah atau warung yang
bisa diambil barangnya. Semua berjalan begitu saja dengan dibimbing rasa nekat
yang tak normal. Ia berhasil masuk. Mungkin menimbulkan suara atau tidak, Ia
tak tahu. Ia kaget ketika ternyata sudah ada dalam rumah. Seluruh rasa
ketakutan menyatu, memeras badan dan mengucurkan keringat. Sempat berpikir
untuk pulang. Tapi, barang-barang yang ada di depannya terasa sangat sayang
jika tak dibawa. Tak perlu waktu lama, Ia segera keluar bergegas pulang. Ketika
istrinya menjelang bangun pagi untuk bersiap masak, Karba sudah di rumah, minum
dan duduk menyandarkan sepenuhnya badan di kursi dapur.
“Ini dari
mana, Pak?” tanya istrinya setengah membentak. “Bapak mencuri?”
“Terpaksa.
Nanti jika sudah ada gantinya, akan saya kembalikan.”
“Maksudnya?”
“Sudahlah.
Saya capai. Saya mau tidur. Semoga tak terjadi apa-apa?
“Tadi ada
yang tahu, Pak?”
Karba diam,
pergi tidur dan terus berusaha membuang gelisah. Semua yang dilakukan di ujung
malam kembali tergelar dalam ingatannya. Sebuah keberanian yang terlalu berani
dengan resiko sangat fatal jika ada yang mengetahui. Sampai saat ini, sampai
detik ini, aman. Entah di detik
berikutnya. Semua suara yang didengar, seperti suara orang-orang yang
berbondong-bondong memburunya. Decakan suara cicak pun, begitu mengagetkannya.
Ketika hari sudah
siang, Karba terbangun dari tidur yang tak sepenuhnya. Terhuyung keluar rumah,
memasang kuping. Ada bisik-bisik tetangga tentang maling yang membawa tabung
gas, beras, minyak, sayur dan rokok. Karba memicingkan telinganya, sambil terus
berdo’a agar tak ada satupun orang yang curiga. Sepanjang hari itu, Ia gelisah.
Seluruh langit dan angin tak bersahabat, mencerca dan mencibirnya. Semua orang
yang menyapa seperti curiga. Sampai memasuki gelapnya malam dengan sinar lampu
mulai menerangi, perasaan gundahnya agak berkurang dan bisa tertidur di ranjang
dengan tak sepenuhnya.
Malam
berikutnya, Karba keluar rumah mengajak tetangga untuk berjaga lingkungan. Banyak
orang yang ikut dan Ia dengan dua orang temannya bertahan sampai pagi dan tidur
sejenak di pos ronda er-te. Malam berikut-berikutnya hanya bertiga sampai
kemudian hanya Karba yang bertahan berjaga malam keliling wilayah. Kondisi
aman, tak ada lagi yang kemalingan. Sepertinya, ronda berkeliling lingkungan
tak ada gunanya.
Karba
menyasar rumah yang jauh dari tempat tinggalnya. Keberaniannya dan keahliannya semakin
bertambah setelah dengan mudah membobol rumah di desa sebelah dengan tanpa
jejak terendus. Ia terus belajar, mengamati. Ia menjadi lihai, tenang, terencana dan pintar
menyembunyikan semua yang akan dan telah dilakukan. Waktu dan tempat sasaran diperhitungkan
dengan instingnya yang terus terasah. Kondisi sosial Ia hapal di setiap wilayah
sasaran. Ia aktor yang baik.
Di rumah,
karba membuat tempat hasil curain. Ditatanya tabung gas dengan formasi garis diagonal.
Barang-barang lain yang sempat dibawanya ditata sebagai penghias. Ia tatap
setiap pagi. Diusap dan dielus-elus satu persatu. Ia hafal setiap tabung
berasal. Dengan memegangnya, akan membawa ingatannya pada peristiwa yang
direncanakan yang kadang sesuai rencana, tak jarang pula tak sesuai yang
direncanakan, dan Ia selalu selamat. Tabung-tabung gas itu bercerita tentang
semua perjalanannya, dari bahan plat besi, masuk pabrik, diolah, dicat, diisi,
didistribusikan, sampai ke dapur, beberapa kali dicuri, di jual lagi, di catat
juga bagaimana Karba memindahkannya pada tempat yang sekarang, berjejer saling
bercerita, dan cerita itu ternyata bisa dijual.
Karba
berpindah tempat. Tumpukan tabung gas terus menumpuk dan menjadi sulit untuk terus
disembuyikan. Kadang juga, pada malam-malam yang sepi, mereka saling senggol
menimbulkan suara irama aneh. Diperlukan lahan yang aman dan luas. Diperlukan
orang-orang sekitar yang percaya dengan kebaikannya. Beberapa temannya
dihubungi, dimintai pendapat. Pada sebuah lokasi dengan rerimbunan pohon
memayungi gedung yang belum cukup tampak tua, Ia memutuskan untuk menyewa. Ia
berani saja harga sewa yang ditawarkan meski tak tahu bagaimana cara
mendapatkan uang. Jalan menuju gedung dengan tanaman perdu yang rapat tertata
selalu memberi inspirasi bagi Karba. Selalu ada ide baru yang Ia sendiri kadang
kaget.
Teman-teman
Karba ikut membantu memindahkan tabung-tabung gas ‘milik’ Karba. Sering kali
tabung-tabung itu saling bercengkerama, bercanda, tertawa terbahak-bahak
membicarakan baju mahal yang membungkus badan keriput dengan muka halus
dilapisi bedak yang bisa tampak tersenyum. Hanya Karba yang bisa mendengar, dan
teman-teman Karba akan diam memaklumi jika melihatnya sedang tersenyum-senyum
atau berroman muka seperti sedang berdialog dengan tabung gas. Mereka
menganggap Karba sedikit gila dan itu tak bisa diganggu. Mereka hanya berharap
dan berdoa, Karba segera sembuh.
Dari
tabung-tabung itulah Karba mendapat petunjuk. Tabung-tabung itu merekam semua
rumah yang pernah disinggahi. Jika ditanya, mereka tak pernah berbohong dan tak
ada yang ditutupi. Sebuah tabung yang mas sedikit terisi dan terakhir ditata,
berteriak seperti marah, “kenapa saya ditaruh di sini lagi, tempat yang jorok
dan pesing!”
“Ini tempat
yang bagus, lantainya keramik, tak ada debu, luas dan atapnya tinggi,” ucap
Karba agak sedikit kesal.
“Kau mau tahu
apa yang terjadi di sini sebelum kau di sini?”
Karba diam,
dilihatnya sekilas dengan tatapan penuh seluruh ruangan gedung. Banyak
pintu-pintu dan sebuah taman kecil tengah bangunan yang di atasnya dibiarkan
sinar matahari masuk bebas. “Saya akan senang mendengar ceritamu. Sampaikan
sepenuhnya.”
Tabung yang
agak lusuh dengan cat lecet di sekujur tubuh itu pun segera bercerita dengan
tanpa ekspresi, datar, seperti tanpa koma dan tak belibet. Karba merekam dalam
ingatannya dengan kata-kata kunci. Selesai bercerita, tabung itu diam, wajar,
tak merasa puas tak juga punya keinginan.
Karba
mengumpulkan barang-barang yang diperlukan, sore itu juga langsung menemui si
pemilik gedung di rumahnya yang tak jauh. Ia diterima di teras depan. Rumahnya
besar dikelilingi taman yang luas dengan tanaman-tanaman bunga dan pohon-pohon
estetis dalam posisi yang tepat dan nikmat dipandang. Dianggap mau bayar sewa,
Karba diterima dengan baik dan ramah. Seorang perempuan cantik sederhana
menyajikan dua cangkir teh hangat dan sepiring kue yang Karba tak tahu namanya.
Karba
berbasa-basa asyik. Ia menjadi pintar bercerita dengan menyambungkan hal-hal
yang diingat dan kadang muncul seketika. Sampai kemudian bercerita tentang
gedung itu. Segala yang telah terjadi, lengkap kronologinya dan berkait dengan
berita yang ramai di luar. Tuan pemilik gedung kaget, terdiam, terperangah dan
tak bisa menghentikan cerita Karba. Karba tanpa beban terus bercerita seperti
seorang kakek mendongengi cucu kesayangan.
“Maaf, Pak
Karba mau pakai berapa tahun gedung itu?”
“Maaf Bapak,
saya tak punya uang yang cukup untuk menyewa gedung itu dengan waktu yang
lama.”
“Nggak papa.
Pakai saja gedung itu. Saya titip, tolong dirawat dan diam.”
“Tapi, maaf
Bapak, saya perlu pagar yang kuat supaya tabung-tabung tidak kabur.
Tabung-tabung itu telah singgah di banyak rumah. Mereka begitu gampang
bercerita tanpa ada beban. Saya telah mendengarnya, dan tak hanya saya yang
bisa mendengar karena tak sengaja saya telah membuatnya bisa bercerita.”
“Kok bisa …?
Semua orang bisa mendengar jika tabung-tabung itu bercerita? Tapi, kan, tidak
semua orang bisa mendengar ceritanya?”
“Betul Bapak.
Tapi, teman-teman saya bisa mendengarnya meski tidak sepaham saya.”
“Ok. Jaga
jangan sampai bayak orang yang bisa mendengar cerita dari tabung-tabung itu.”
Ia menghela nafas agak dalam, seperti berpikir sejenak, diam. “Berapa biaya
yang diperlukan untuk bikin pagar yang kuat. Pagar yang kuat, jangan
asal-asalan.”
“Saya tidak
paham tentang biaya Pak. Saya minta secukupnya dulu, nanti kalau perlu lagi
saya minta lagi.”
“Oke. Siap.
Dan, ingat pesan saya, jangan sampai tabung-tabung itu kabur dan bercerita ke sembarang orang. Kau tahu dari
rumah siapa saja yang telah disinggahi tabung-tabung itu?”
“Tahu Pak.
Dan jika saya sebut satu persatu nama-nama itu, pasti Bapak tahu, bahkan hampir
semua orang juga pasti tahu.”
Karba pulang,
kembali ke gedung, menemui teman-temannya dan merencanakan pembuatan pagar.
Sampai malam, dilanjut dengan rencana mereka untuk memanfaatkan tabung-tabung
yang bisa bercerita tentang seluruh dapur dan rumah yang telah disinggahi.
Mereka catat
cerita para tabung pada kertas-kertas putih yang dikemas dan ditata pada
rak-rak yang tidak semua orang tahu cara mengambilnya. Hari berikutnya mereka
datangi satu persatu para pemilik rumah yang diceritakan tabung-tabung itu.
Anehnya, para tabung itu menjadi semakin semangat saat bercerita. Mereka
menunggu giliran dengan tak sabar, tapi masih mau diatur, untuk bercerita,
menunjukkan bukti, memberikan saksi.
Karba pegang
kendali. Teman-temannya dimanfaatkan sedemikian rapi sehingga tak ada yang
punya niat untuk berkhianat. Jika ada yang mencoba menyusun kekuatan baru,
segera disingkirkan, dihilangkan jejaknya seperti tak pernah ada. Karba
dilindungi banyak orang. Orang-orang yang rumahnya pernah disinggahi
tabung-tabung yang bercerita, bersedia membayar orang untuk menjaga Karba. Tak
ada yang berani melukainya, apalagi mencoba membunuhnya. Sedikit saja Karba
merasa tidak nyaman, Ia bisa melepaskan sandi yang bisa membuat semua tabung
yang diamankan di gedung, yang sudah jadi miliknya, bercerita bebas ke langit
lepas; lewat televisi, lewat handphone, lewat mulut, lewat jalan-jalan yang tak
terduga.
Sekarang,
semua orang memanggilnya Tuan Karba. Keluarganya diboyong ke sebuah rumah besar
yang telah dibangun oleh banyak orang disebelah gedung tempat menjaga dan
merawat tabung-tabung. Mereka harus dijaga dan dirawat. Jika tak nyaman, bisa
saja berbicara lewat corong-corong toa di pucuk menara masjid.
djayim 22:53 17052025