Label

Selasa, 15 Juli 2025

KARBA



djayim.com

Pagi yang masih dingin, gelap dan berat melambat. Kegelisahaan membuat menjadi tak nyaman, grungsang.

“Istirahat atau tidur dulu Pak. Saya bikinkan kopi ya Pak?"

“Ya. Tidak usah.”

Pagi masih terlalu dingin untuk dinikmati. Bahkan suara nafaspun masih terdengar jelas dan dingin merambat dari jari-jari kaki.

“Ini yang terakhir, Bu. Apapun yang terjadi, kita harus bertahan.”

Istrinya diam. Sudah berapa puluh kali suaminya bilang, ‘ini yang terakhir’. Dan, Ia bersyukur jika memang benar. Dan, sanggupkah bertahan untuk lapar yang lama?

“Kota terlalu keras untuk kita, bu. Keyakinan kita salah. Semua yang di kampung habis, tak tersisa. Sekarang harga diri kita juga sudah habis tak tersisa. Meski tak ada yang tahu, tapi aku malu. Malu sekali.” Istrinya diam, melepas nafas lewat hidung, melepas sesak pikiran dan bergegas ke kamar mandi. Dua anaknya sudah mulai bangun untuk siap-siap berangkat sekolah. Semua sudah disiapkan seperti setiap pagi.

Ia memasang kepala konektor gas elpiji warna hijau sambil berkali-kali mengusapnya. Benda itu menjadi sangat menarik, pun selalu agak berlama-lama jika kompor sudah siap dipakai. Ada cerita yang tercatat rapi diingatannya. Dari rencana awal mengambil sampai ke ruang dapur, dipasang disambungkan dengan kompor, dinyalakan. Baginya, api dari tabung gas yang diperolehnya dengan susah payah, mengendap-endap dan mencongkel pagar atau pintu, terasa sangat mengasyikan. Biru apinya selalu memberi rasa pemuas sebuah petualangan. Lidah apinya menjilat-jilat bercengkerama. Dan, tabung gas yang ditata rapi ditabuhnya pada saat-saat tertentu. Setiap tabung mengeluarkan suara berbeda yang diurutkan seperti urutan tangga nada.

Awalnya, sebuah keterpaksaan. Ketika malam, tak ada uang dan tak ada sesuatu apapun untuk makan esok pagi, sebagai seorang kepala rumah tangga, Karba gelisah. Memkasa untuk tidur pun, tak bisa. Ketika malam sudah sangat dingin dan adzan subuh belum berkumandang, Karba keluar rumah tanpa pamit. Ia mencari rumah atau warung yang bisa diambil barangnya. Semua berjalan begitu saja dengan dibimbing rasa nekat yang tak normal. Ia berhasil masuk. Mungkin menimbulkan suara atau tidak, Ia tak tahu. Ia kaget ketika ternyata sudah ada dalam rumah. Seluruh rasa ketakutan menyatu, memeras badan dan mengucurkan keringat. Sempat berpikir untuk pulang. Tapi, barang-barang yang ada di depannya terasa sangat sayang jika tak dibawa. Tak perlu waktu lama, Ia segera keluar bergegas pulang. Ketika istrinya menjelang bangun pagi untuk bersiap masak, Karba sudah di rumah, minum dan duduk menyandarkan sepenuhnya badan di kursi dapur.

“Ini dari mana, Pak?” tanya istrinya setengah membentak. “Bapak mencuri?”

“Terpaksa. Nanti jika sudah ada gantinya, akan saya kembalikan.”

“Maksudnya?”

“Sudahlah. Saya capai. Saya mau tidur. Semoga tak terjadi apa-apa?

“Tadi ada yang tahu, Pak?”

Karba diam, pergi tidur dan terus berusaha membuang gelisah. Semua yang dilakukan di ujung malam kembali tergelar dalam ingatannya. Sebuah keberanian yang terlalu berani dengan resiko sangat fatal jika ada yang mengetahui. Sampai saat ini, sampai detik ini, aman. Entah di detik  berikutnya. Semua suara yang didengar, seperti suara orang-orang yang berbondong-bondong memburunya. Decakan suara cicak pun, begitu mengagetkannya.

Ketika hari sudah siang, Karba terbangun dari tidur yang tak sepenuhnya. Terhuyung keluar rumah, memasang kuping. Ada bisik-bisik tetangga tentang maling yang membawa tabung gas, beras, minyak, sayur dan rokok. Karba memicingkan telinganya, sambil terus berdo’a agar tak ada satupun orang yang curiga. Sepanjang hari itu, Ia gelisah. Seluruh langit dan angin tak bersahabat, mencerca dan mencibirnya. Semua orang yang menyapa seperti curiga. Sampai memasuki gelapnya malam dengan sinar lampu mulai menerangi, perasaan gundahnya agak berkurang dan bisa tertidur di ranjang dengan tak sepenuhnya.

Malam berikutnya, Karba keluar rumah mengajak tetangga untuk berjaga lingkungan. Banyak orang yang ikut dan Ia dengan dua orang temannya bertahan sampai pagi dan tidur sejenak di pos ronda er-te. Malam berikut-berikutnya hanya bertiga sampai kemudian hanya Karba yang bertahan berjaga malam keliling wilayah. Kondisi aman, tak ada lagi yang kemalingan. Sepertinya, ronda berkeliling lingkungan tak ada gunanya.

Karba menyasar rumah yang jauh dari tempat tinggalnya. Keberaniannya dan keahliannya semakin bertambah setelah dengan mudah membobol rumah di desa sebelah dengan tanpa jejak terendus. Ia terus belajar, mengamati.  Ia menjadi lihai, tenang, terencana dan pintar menyembunyikan semua yang akan dan telah dilakukan. Waktu dan tempat sasaran diperhitungkan dengan instingnya yang terus terasah. Kondisi sosial Ia hapal di setiap wilayah sasaran. Ia aktor yang baik.

Di rumah, karba membuat tempat hasil curain. Ditatanya tabung gas dengan formasi garis diagonal. Barang-barang lain yang sempat dibawanya ditata sebagai penghias. Ia tatap setiap pagi. Diusap dan dielus-elus satu persatu. Ia hafal setiap tabung berasal. Dengan memegangnya, akan membawa ingatannya pada peristiwa yang direncanakan yang kadang sesuai rencana, tak jarang pula tak sesuai yang direncanakan, dan Ia selalu selamat. Tabung-tabung gas itu bercerita tentang semua perjalanannya, dari bahan plat besi, masuk pabrik, diolah, dicat, diisi, didistribusikan, sampai ke dapur, beberapa kali dicuri, di jual lagi, di catat juga bagaimana Karba memindahkannya pada tempat yang sekarang, berjejer saling bercerita, dan cerita itu ternyata bisa dijual.

Karba berpindah tempat. Tumpukan tabung gas terus menumpuk dan menjadi sulit untuk terus disembuyikan. Kadang juga, pada malam-malam yang sepi, mereka saling senggol menimbulkan suara irama aneh. Diperlukan lahan yang aman dan luas. Diperlukan orang-orang sekitar yang percaya dengan kebaikannya. Beberapa temannya dihubungi, dimintai pendapat. Pada sebuah lokasi dengan rerimbunan pohon memayungi gedung yang belum cukup tampak tua, Ia memutuskan untuk menyewa. Ia berani saja harga sewa yang ditawarkan meski tak tahu bagaimana cara mendapatkan uang. Jalan menuju gedung dengan tanaman perdu yang rapat tertata selalu memberi inspirasi bagi Karba. Selalu ada ide baru yang Ia sendiri kadang kaget.

Teman-teman Karba ikut membantu memindahkan tabung-tabung gas ‘milik’ Karba. Sering kali tabung-tabung itu saling bercengkerama, bercanda, tertawa terbahak-bahak membicarakan baju mahal yang membungkus badan keriput dengan muka halus dilapisi bedak yang bisa tampak tersenyum. Hanya Karba yang bisa mendengar, dan teman-teman Karba akan diam memaklumi jika melihatnya sedang tersenyum-senyum atau berroman muka seperti sedang berdialog dengan tabung gas. Mereka menganggap Karba sedikit gila dan itu tak bisa diganggu. Mereka hanya berharap dan berdoa, Karba segera sembuh.

Dari tabung-tabung itulah Karba mendapat petunjuk. Tabung-tabung itu merekam semua rumah yang pernah disinggahi. Jika ditanya, mereka tak pernah berbohong dan tak ada yang ditutupi. Sebuah tabung yang mas sedikit terisi dan terakhir ditata, berteriak seperti marah, “kenapa saya ditaruh di sini lagi, tempat yang jorok dan pesing!”

“Ini tempat yang bagus, lantainya keramik, tak ada debu, luas dan atapnya tinggi,” ucap Karba agak sedikit kesal.

“Kau mau tahu apa yang terjadi di sini sebelum kau di sini?”

Karba diam, dilihatnya sekilas dengan tatapan penuh seluruh ruangan gedung. Banyak pintu-pintu dan sebuah taman kecil tengah bangunan yang di atasnya dibiarkan sinar matahari masuk bebas. “Saya akan senang mendengar ceritamu. Sampaikan sepenuhnya.”

Tabung yang agak lusuh dengan cat lecet di sekujur tubuh itu pun segera bercerita dengan tanpa ekspresi, datar, seperti tanpa koma dan tak belibet. Karba merekam dalam ingatannya dengan kata-kata kunci. Selesai bercerita, tabung itu diam, wajar, tak merasa puas tak juga punya keinginan.

Karba mengumpulkan barang-barang yang diperlukan, sore itu juga langsung menemui si pemilik gedung di rumahnya yang tak jauh. Ia diterima di teras depan. Rumahnya besar dikelilingi taman yang luas dengan tanaman-tanaman bunga dan pohon-pohon estetis dalam posisi yang tepat dan nikmat dipandang. Dianggap mau bayar sewa, Karba diterima dengan baik dan ramah. Seorang perempuan cantik sederhana menyajikan dua cangkir teh hangat dan sepiring kue yang Karba tak tahu namanya.

Karba berbasa-basa asyik. Ia menjadi pintar bercerita dengan menyambungkan hal-hal yang diingat dan kadang muncul seketika. Sampai kemudian bercerita tentang gedung itu. Segala yang telah terjadi, lengkap kronologinya dan berkait dengan berita yang ramai di luar. Tuan pemilik gedung kaget, terdiam, terperangah dan tak bisa menghentikan cerita Karba. Karba tanpa beban terus bercerita seperti seorang kakek mendongengi cucu kesayangan.

“Maaf, Pak Karba mau pakai berapa tahun gedung itu?”

“Maaf Bapak, saya tak punya uang yang cukup untuk menyewa gedung itu dengan waktu yang lama.”

“Nggak papa. Pakai saja gedung itu. Saya titip, tolong dirawat dan diam.”

“Tapi, maaf Bapak, saya perlu pagar yang kuat supaya tabung-tabung tidak kabur. Tabung-tabung itu telah singgah di banyak rumah. Mereka begitu gampang bercerita tanpa ada beban. Saya telah mendengarnya, dan tak hanya saya yang bisa mendengar karena tak sengaja saya telah membuatnya bisa bercerita.”

“Kok bisa …? Semua orang bisa mendengar jika tabung-tabung itu bercerita? Tapi, kan, tidak semua orang bisa mendengar ceritanya?”

“Betul Bapak. Tapi, teman-teman saya bisa mendengarnya meski tidak sepaham saya.”

“Ok. Jaga jangan sampai bayak orang yang bisa mendengar cerita dari tabung-tabung itu.” Ia menghela nafas agak dalam, seperti berpikir sejenak, diam. “Berapa biaya yang diperlukan untuk bikin pagar yang kuat. Pagar yang kuat, jangan asal-asalan.”

“Saya tidak paham tentang biaya Pak. Saya minta secukupnya dulu, nanti kalau perlu lagi saya minta lagi.”

“Oke. Siap. Dan, ingat pesan saya, jangan sampai tabung-tabung itu kabur dan  bercerita ke sembarang orang. Kau tahu dari rumah siapa saja yang telah disinggahi tabung-tabung itu?”

“Tahu Pak. Dan jika saya sebut satu persatu nama-nama itu, pasti Bapak tahu, bahkan hampir semua orang juga pasti tahu.”

Karba pulang, kembali ke gedung, menemui teman-temannya dan merencanakan pembuatan pagar. Sampai malam, dilanjut dengan rencana mereka untuk memanfaatkan tabung-tabung yang bisa bercerita tentang seluruh dapur dan rumah yang telah disinggahi.

Mereka catat cerita para tabung pada kertas-kertas putih yang dikemas dan ditata pada rak-rak yang tidak semua orang tahu cara mengambilnya. Hari berikutnya mereka datangi satu persatu para pemilik rumah yang diceritakan tabung-tabung itu. Anehnya, para tabung itu menjadi semakin semangat saat bercerita. Mereka menunggu giliran dengan tak sabar, tapi masih mau diatur, untuk bercerita, menunjukkan bukti, memberikan saksi.

Karba pegang kendali. Teman-temannya dimanfaatkan sedemikian rapi sehingga tak ada yang punya niat untuk berkhianat. Jika ada yang mencoba menyusun kekuatan baru, segera disingkirkan, dihilangkan jejaknya seperti tak pernah ada. Karba dilindungi banyak orang. Orang-orang yang rumahnya pernah disinggahi tabung-tabung yang bercerita, bersedia membayar orang untuk menjaga Karba. Tak ada yang berani melukainya, apalagi mencoba membunuhnya. Sedikit saja Karba merasa tidak nyaman, Ia bisa melepaskan sandi yang bisa membuat semua tabung yang diamankan di gedung, yang sudah jadi miliknya, bercerita bebas ke langit lepas; lewat televisi, lewat handphone, lewat mulut, lewat jalan-jalan yang tak terduga.

Sekarang, semua orang memanggilnya Tuan Karba. Keluarganya diboyong ke sebuah rumah besar yang telah dibangun oleh banyak orang disebelah gedung tempat menjaga dan merawat tabung-tabung. Mereka harus dijaga dan dirawat. Jika tak nyaman, bisa saja berbicara lewat corong-corong toa di pucuk menara masjid.

                                                                                                                                                                                                        djayim 22:53 17052025 

Jumat, 27 Juni 2025

TIANG BETON NOMOR SEMBILAN

soleh djayim

Wanita itu belum juga memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.  Ia tak tahu telah berapa lama berdiri menunggu dan tak ingin tahu  waktu menunjukan jam berapa. Ia tak akan bisa tidur malam jika belum juga mendapatkan keinginannya.

Lewat lubang ventilasi, Ia itu berusaha melihat langit yang tertutup lantai beton di atas kepalanya. Udara lembab, langit mendung seperti ragu menumpahkan air hujan tetapi rintik gerimis sesekali menetes. Matahari terhalang sinarnya.  Mungkin sudah tengah hari, mungkin sudah sore, mungkin sudah senja. Ia tak mau tahu waktu, ia sengaja tak membawa arloji. Ia lupa lapar dan lupa tak mengisi perut yang meronta karena kosong.  Siapapun tak akan ada yang sudi dengan keadaan itu jika bukan karena sesuatu yang diyakininya bisa menentramkan dan menenangkan hati.

Wajahnya yang mulai mengeriput halus masih membekaskan kecantikan di waktu mudanya. Dengan pakaian yang didominasi warna krem, tas hitam sedang, sandal kulit warna coklat melengkapi keindahan betis yang tampak dari celah belahan rok panjang, tinggi semampai. Ia tampak lelah, tapi matanya memancarkan sebuah harapan besar dan keyakinan.

Diantara lautan mobil yang diparkir, sorot matanya tetap pada satu arah. Telah tiga kali dalam seminggu ini melakukan hal seperti itu. Menunggu dan mengawasi satu tempat yang ia yakin akan lewat seseorang; anaknya.

Karena pemberitaan di beberapa media-lah yang membawanya datang ke tempat ini. Seorang pengusaha muda sukses, cerdas, pintar, gagah dan mengesankan. Begitulah yang selalu muncul di benak wanita itu jika melihatnya di televisi dalam sebuah acara dialog ataupun wawancara. Di Koran-koran, majalah-majalah, tabloid-tabloid, ia sering muncul dengan berbagai pendapat dan pandangan segar dan mengejutkan.

Aku yakin betul pemuda gagah itu anakku, bisik wanita itu setiap kali ia melihat wajahnya di koran, di televisi, majalah atau tabloid. Dia seperti bapaknya dalam gaya bicara, mimiknya, cara memandangnya. Apakah ayahnya tahu? Atau ayahnya tak pernah memperhatikannya. Atau dia anak yang ke berapa dari sekian puluh anaknya yang lahir dari rahim wanita-wanita yang ditaklukannya? Betul! Dia anaku. Meski dia sudah sangat berbeda dengan ketika berumur dua setengah tahun. Sebagai orang yang melahirkan, aku tak ragu sedikit pun, dia anakku. Anakku. Anakku yang semoga seperti yang aku harapkan, tumbuh menjadi seperti yang selalu aku doakan. Anakku, mampukah aku menahan gejolak rindu untuk memelukmu, untuk membelaimu, untuk mendampingimu, memasak makanan kesukaanmu, menyiapkan baju kerjamu, membimbingmu, menimang anakmu; cucuku.

Di sini, dulu, kira-kira sepuluh meter dari tiang beton nomor sembilan dari ujung pintu masuk tempat parkir mobil, aku membiarkan anakku, anak satu-satunya yang lahir dari rahimku, kubiarkan menangis ketakutan. Mulutnya yang mungil terbuka lebar mengeluarkan air liur dan membasahi dagunya yang lancip. Anakku menangis ketakutan dan aku membiarkannya. Aku gemetar. Gigiku gemeretuk beradu seperti mengunyah seluruh yang mengganjal di jiwa. Aku gila! Aku telah melakukan sesuatu yang sangat tak ku mengerti. Aku benci hidupku. Aku benci hidupku. Aku benci masa laluku. Aku benci perasaanku sekarang. Aku ingin membuangnya. Aku ingin memulai hidup tanpa ada kehidupanku sebelumnya. Aku tak mengerti apa itu garis hidup.

Kedua bahu wanita itu terguncang-guncang menahan tangis yang belum seluruhnya tumpah. Tangannya menutupi kedua matanya, mengusap air mata dan kemudian jemarinya mencengkeram udara sepuas hati. Ia terus berperang melawan perasaannya. Sampai Ia lelah. Sampai Ia tak bertenaga. Sampai Ia tak mendengar suara tangis anaknya yang begitu Ia kasihi. Ia telah luluh dan mati jiwa. Ia terduduk lunglai tersampir di lajur beton pembatas mobil parkir. Ia lupa dunia, gelap mata, tuli suara. Ketika sebuah mobil lewat di dekatnya , Ia  terjaga oleh tangis seorang bocah  yang sangat Ia kenal. Lewat jendela anak itu menjulurkan tangannya sambil meronta, mengeraskan suara tangisnya. Wanita itu segera berlari mengejar mobil itu dan  segera  berlari memanggil sopir taksi untuk membuntutinya.

Wanita itu mencatat baik-baik alamat rumah itu dan segera menyuruh sopir untuk terus jalan setelah mobil yang dibuntutinya berbelok ke sebuah rumah. Ia pulang ke rumah yang selama ini ditempati bersama anaknya.

Ia segera membuang seluruh benda yang berhubungan dengan Dian –nama anaknya- agar tak terasa begitu membebani dalam ruang benaknya. Mencari obat tidur. Dengan segelas air putih Ia menggelontor segenggam obat tidur ke perutnya dan menggempaskan tubuhnya yang lelah ke tempat tidur. Ranjang yang lebih sering ditempati berdua bersama Dian daripada dengan laki-laki yang telah membuatnya punya seorang anak. Laki-laki yang empat tahun terakhir telah memberinya babak kehidupan yang dibencinya.

Ia memang bisa punya rumah mungil dan perlengkapanyya dari laki-laki itu. Satu dua tahun pertama, biaya hidup tercukupi dengan jatah uang yang lumayan  besar dan bisa menyisakan untuk ditabung. Kemudian semakin bertambah tahun dan bulan jatah uang yang diterima berkurang dan frekuensinya jarang sampai tidak sama sekali.

Hanya beberapa bulan wanita itu merasakan kehangatan  dan kasih sayang dari bapaknya Dian, selanjutnya adalah kehampaan, sepi, keresahan, ketidakmenentuan, bahkan ancaman bila tidak menuruti kehendak dari laki-laki itu. Wanita itu selalu berusaha untuk lepas  dari cengkeramannya. Ia kerahkan segala macam cara dan tipu daya. Dan lelaki itu seakan memiliki segalanya, selalu tahu apa yang diperbuatnya meski ia itu tak pernah datang menjenguknya. Uang dan kekuasaan telah membikinnya menjadi raja dan mendapatkan segala keinginannya.

Wanita itu putus asa. Ia tak sanggup membiayai hidup dirinya dan Dian dengan caranya mencari uang; membikin warung kecil-kecilan yang kalah persaingan. Ia kesana kemari menemui kenalan lamanya, barangkali bisa memberikan pekerjaan yang bisa memberinya penghasilan cukup. Juga dengan  kesibukannya Ia berharap bisa sedikit melupakan perasaan hati yang terkoyak. Ia mulai merangsang jiwanya untuk bisa punya harapan dan optimis setelah sekian tahun mati membatu. Ia ingin membangun lagi hidupnya dengan jalan baru dengan merintisnya sendiri.

Ia bertemu dengan kawan lamanya yang jadi wartawan. Sahabat karib. Makanya Ia tak sungkan-sungkan menceritakan segala perjalanan hidupnya dan seluruh masalah yang menghimpitnya. Ia tumpahkan segala perasaan yang membatu, mengganjal diseluruh ruang hati. Ia tumpahkan semua sampai Ia kemudain tersentak kaget ketika ternyata dirinya masih bisa menangis.

“Aku punya saran untuk kamu,” kata temannya yang wartawan. “Bapaknya Dian itu kan orang terkenal. Public figure. Kamu temui dia. Katakan bahwa kamu ingin dipenuhi semua kebutuhan hidup, minimal seperti dulu  ketika Ia masih sering berkunjung ke kamu. Kamu katakan, kalau  kamu tetap tidak mau  saya akan memuat skandalnya di Koran. Pasti akan kalang kabut takut reputasinya jatuh.”

“Tapi dia terlalu kuat . Dia bisa berbuat apa saja kalau diancam-ancam begitu. Dia bisa melakukan apa saja dengan kekuasaannya. Tidak! Aku tak mau menerima resiko yang lebih berat lagi.”

Ketika  uang simpanannya sudah benar-benar habis dan hutangnya semkin menumpuk, wanita itu berniat menjual rumah tempat ia tinggal. Dan ternyata tak semudah yang ia inginkan. Sertifikat kepemilikan  tanah dan bangunan  rumah yang Ia tempati atas nama ayahnya Dian. Wanita itu bingung dan hilang akal. Ia nekat mendatangi lelaki yang telah  membawanya ke ruang gelap. Ia mengikuti saran kawannya yang jadi wartawan. Dan dari situ malapetaka datang lagi menimpa hidupnya.

“Di mana anak itu, anakmu?” tanya lelaki itu dengan tidak mengalihkan pandangan matanya pada acara tivi yang ia sukai; tinju. “Anak itu, anakmu akan jadi masalah bagiku. Aku harus melenyapkannya.”

Duaaaarrrr!!! Wanita itu kaget setengah mati. Ia hampir saja roboh kalau saja tak tertahan tangan-tangan kursi. Ia tahu betul kalau lelaki di hadapannya tidak main-main dengan perkataannya. Ia tak berani melanjutkan kata-katanya.

“Jangan. Tolong jangan kau lakukan itu. Aku mohon,”  Ia merengek. Lelaki angkuh itu melirik dengan senyum penuh misteri. Wanita itu merinding ngeri.

Esok paginya wanita itu segera melarikan Dian agar terhindar dari intaian orang-orang ayahnya Dian. Di setiap langkah kakinya ia selalu berpikir bagaimana melakukan sesuatu agar Dian selamat. Di tengah kekalutan, ia teringat teman kuliahnya dulu. Kabar terakhir yang ia dengar, temannya itu sama-sama kerja sekantor dengan suaminya. Sepintas wanita itu teringat masa  ketika ketika ia masih berstatus mahasiswa; aku dulu kembang kampus. Aku cerdas. Banyak teman-temanku dan dosen-dosen yang memuji kepintaranku. Entah apa, siapa, bagaimana dan kapan sehingga datang seorang muda yang gagah, berwibawa, disegani, humoris dan ramah. Ia seorang pengusaha, muda lagi! Jalan dan waktu mana yang mengantarku pada lelaki itu. Lelaki yang telah dengan ramah dan sopan menggelosorkanku pada ruang penderitaan, gelap dan menyakitkan. Lelaki yang membawa kabut hitam berbungkus bunga wangi warna-warni.

Wanita itu mencoba datang ke tempat parkir mobil di sebuah gedung perkantoran. Ia dulu sering mengantar temannya menemui pacarnya  yang sekarang suaminya. Dan merekalah yang menyelamatkan Dian dari lelaki gila itu. Dan mereka tak pernah tahu kalau anak itu lahir dari rahim teman kuliahnya. Yang mereka tahu adalah menemukan seorang bocah mungil dengan tahi lalat kecil di ujung bibir sebelah kanan. Tahi lalat itu juga yang bikin ibu Dian yakin kalau orang muda gagah yang sering muncul di media massa itu anaknya.

Hati wanita itu bergemuruh keras. Orang yang ditunggu-tunggu datang. Ia menggandeng seorang wanita cantik. Gaya berjalan dan gandengan tangannya persis seperti bapaknya. Bisik wanita itu, oh anakku. Kau gagah mengesankan. Di sisi sebuah mobil mewah mereka berhenti. Pemuda gagah itu masuk ke dalam mobil dan sebentar kemudian pintu mobil sebelah kiri terbuka. Wanita itu masuk dengan kemanjaan yang wajar. Segera mobil mewah itu melaju. Wanita itu mendekati tukang parkir. “Bapak kenal orang yang baru saja pergi dengan mobil mewah itu?”

“Ya, saya kenal. Memang ada apa Bu?”

“Wanita itu istrinya?”

“Saya tidak tahu persis. Tapi ia sering sekali ganti-ganti pasangan. Paling lama satu bulan, sudah ganti.”

“Sering?”

“Ya Bu.”

Langit mendung hitam. Jalan pulang terhalang, Ia berjalan tanpa arah.****

                                                                                                            Februari 2004

Sabtu, 26 April 2025

DI LEMBAH LESTANA DAWA

 


Tak ada kelus kesah, setiap orang yang berangkat kerja seperti mau ke wisata baru dan indah.

Tiang-tiang listrik dengan kabel yang masih tersambung, terlilit tumbuhan rambat berdaun-daun hijau, di beberapa tempat dengan bunga warna-warni, juga menara besi bekas tower BTS yang menjadi tempat sarang burung. Menjadi monumen, dan bukan sesuatu yang penting untuk diingat.

“Saya mohon maaf atas kedatangan kami.”

“Kami maafkan. Tapi, tolong jangan ganggu kami.”

“Kami hanya mau minta tolong, tuan.”

“Kami juga mau minta tolong. Tolong janggu ganggu kami,”  diam sejenak sambil bergerak berdiri, “Maaf, saya ada keperluan lain.”

Mbah Gagak membiarkan tamunya di sebuah rumah besar tanpa dinding. Sudah ratusan tamu mendatanginya, memohon dan jawabannya selalu sama meski dengan berbagai rayuan.

Dengan baju kotak-kotak agak gelap, calana jean biru bersepatu kets, tamu itu beranjak pergi. Seperti bingung. Bertemu dengan seorang yang sedang memikul buah segar dan sayuran, “Maaf pak, bisa saya minta tolong untuk membeli buah dan sayuran ini?”

“Nggak usah beli pak, ambil saja secukupnya untuk bapak.”

“Bukan untuk saya saja pak, saya butuh banyak. Jika bapak mau, kami akan bawakan uang yang banyak untuk membeli ini semua.”

“Kami nggak perlu uang pak. Coba cari ditempat lain saja yang butuh uang.”

“Kami sudah keliling banyak tempat, dan kami tidak menemukan buah dan sayur yang banyak seperti di sini. Penduduk di sini akan dapat banyak uang jika mau menjualnya. Dengan uang bapak bisa membeli apa saja yang diinginkan. Dengan uang, bapak akan kaya.”

“Kami di sini sudah kaya raya. Semua keinginan kami sudah ada di sini. Mohon maaf, saya harus segera pergi.” Petani itu bergegas berjalan menyusuri jalan setapak menuju perkampungan di sebuah lembah dengan rimbun pepohonan. Tak ada asap knalpot dan bising suaranya.

Lelaki itu bergeming sendirian. Harapannya untuk bisa membeli padi, buah dan sayuran, menipis, hitungan-hitungan laba yang telah dicatat hilang. Tapi, Ia bukan tipe orang yang gampang menyerah. Pada sebuah batu di bawah pohon Ia duduk melepas lelah dan haus. “Kenapa mereka tidak butuh uang?” pikirnya.

Penduduk di lembah itu bukan orang-orang primitif. Mereka telah melewati masa gegap gempita dunia yang tidak perlu. Semua yang di situ berbahagia, damai, bersahabat dengan alam. Air bening yang mengalir di sela-sela rumah, selalu ramah bergemericik menghidupi ikan-ikan yang berlarian di sela-sela bebatuan berlumut. Mereka melepaskan diri dari penjajahan uang. Mereka tak lagi direpotkan mencari kebahagian di tempat lain.

Dan, bukan hanya di lembah itu. Petani di lokasi lain, pun sudah mulai seperti itu.

“Tuan, apakah tuan tidak kasihan kepada kami. Jika tuan-tuan semua tidak mau menjual makanan kepada kami, kami akan kelaparan dan mati.”

“Kami nggak butuh uang pak. Itu nggak bisa dimakan. Hanya akan menjadi sampah di tempat kami. Kami kasih bibit dan biji-bijian untuk ditanam. Seluruh tanah alam ini akan menghasilkan makanan jika  mau menanam dan merawat. Tinggal ditanam, dirawat dan dipelihara, tak perlu pakai toeri-teori yang njlimet dan harus bayar mahal. Itu akan cukup jika tak serakah.”

Ketika siang yang sejuk, orang-orang kota datang ke lembah Lestana Dawa. Ada banyak truk dan mobil-mobil bagus mengkilap datang beriringan, diparkir di tepi bekas jalan dan lapangan tempat ternak merumput. Wajah-wajah beringas dan otot yang kekar mereka pertontonkan. Mbah Gagak datang menemui.

“Ada yang bisa saya bantu tuan-tuan?”

“Kami akan membeli paksa makanan di sini.” Orang dengan kaos hitam ketat dan celana jean biru langsung menyalak.

“Maaf, kami nggak punya simpanan bahan makanan. Yang kami cari siang ini hanya cukup untuk dimakan sore dan pagi hari.”

“Tapi hari ini, kami harus dapat!”

“Itu kalau ada, kalau nggak ada?”

“Kami akan datangi setiap rumah.”

“Silahkan. Tapi, tak ada orang di rumah. Mereka sedang berada di kebun. Tak ada rumah yang dikunci. Jika ada kerusakan atau kehilangan, saya pastikan kalian tidak bisa pulang. Ini peringatan, bukan mengancam.”

Jalan ke lembah itu tak bisa dilewati kendaraan. Hanya jalan setapak yang banyak terpotong oleh aliran sungai kecil dengan air yang bening dan ikan-ikan berseliweran. Sejauh satu kilometer untuk sampai ke tepian kampung. Mereka berbaris sempoyongan di tepi-tepi jalan. Rasa lapar makin mencekam. Hanya ada air di aliran sungai yang bisa di minum. Niat jahat mereka timbul menyemangati rasa kesal. “akan saya bawa semua makanan yang ada di sana.”

Ketika penghuni lembah berdatangan untuk menyambut, Mbah Gagak menahan, “Kalian kerja saja. Mereka datang tidak dengan niat baik.”

Ada banyak yang tidak sampai ke perkampungan. Mereka masuk ke rumah-rumah yang tidak terkunci. Tak mendapati apa-apa di sana. Hanya bilik tempat tidur, meja kursi tempat minum dan alat masak sederhana. “Penglihatanmu tertutup oleh hatimu, kau tak akan melihat apa-apa,” Mbah Gagak menyampaikan pada seorang yang terus menerus menyemangati rombongannya.

Ketika menjelang sore dan tak bisa menahan lapar, mereka berusaha pulang. Penduduk lembah itu memberi ubi bakar atau ubi rebus dan air yang tersedia dibanyak aliran. Uang yang mereka bawa tak bisa ditukar apapun pada para petani. Kemewahan yang mereka tawarkan sama sekali tak menarik. Kebahagiaan yang mereka tawarkan yang bisa dibeli dengan uang, ditertawakan. “Kami sudah melewati itu, jika kalian mau, mari bahagia dengan cara kami.”

“Tapi, dengan cara hidup seperti ini, kalian tidak bisa melihat tempat lain yang indah dan menakjubkan.” Orang dengan kaos hitam ketat dan celana jean biru masih berusaha meyakinkan.

“Di sini lebih indah dan lebih menakjubkan dari tempat lain dimana pun. Kami tak ingin pergi jauh hanya untuk disuguhi kerusakan-kerusakan dan sampah karena kegiatan manusia berebut uang. Dan, disini kami juga tak bisa makan uang, seperti juga kalian.”

“Kalian tidak ingin menikmati kemewahan? Dengan uang, kita bisa membeli apa saja.”

“Semua yang kami butuhkan, ada di sini. Tak perlu harus pergi jauh berkendaraan.”

Mereka terpaksa pulang, pelan dan kecewa. Segala umpatan keluar dari mulut yang mulai pahit. Di sekitar truk dan mobil diparkir mereka duduk dan tiduran berserakan. Wajah-wajah putus asa masih berusaha ditutupi. Orang dengan kaos hitam ketat dan celana jean biru, berdiri berkeliling berteriak, “Tengah malam nanti, kita ke kampung itu lagi. Kita porak-porandakan, biar mereka tidak tahu dan tidak menyembunyikan bahan makanan yang ada.”

“Tapi kita sudah capai dan lapar boss.”

“Jika kita tetap disini pun, kita akan tambah lapar dan perlahan mati.”

“Kita pulang saja boss.”

“Mobil-mobil kita sudah menipis bahan bakarnya. Tak sampai setengah perjalanan pulang akan habis di tengah belantara. Kita akan habis dimakan binatang buas yang lapar. Lapar seperti kita.”

Pertengahan malam, ketika malam telah sunyi, suara kerik jangrik sudah tak lagi kencang dan burung hantu mulai bersahutan, mereka mengendap-endap menuju lembah Lestana Dawa. Suara derap kaki seperti disembunyikan. Seperti sekawanan hewan yang pindah tempat di malam hari, bergerak perlahan beriringan. Kadang ada bisikan obrolan, mungkin perintah dari pemimpin mereka. Sinar dian dari rumah yang bertebaran tampak bercecer, terpisahkan gelap dibawah langit dengan sedikit bintang.

Sudah sekitar satu jam mereka terus berjalan, bergerak di selimuti kabut yang mulai turun membawa hawa dingin. Sinar dari lobang-lobang rumah tak juga dekat. Jarak itu seperti tetap terjaga. Semakin didatangi, jarak kerlap-kerlip sinar dian tak tampak mendekat. Gelap malam menjadi semakin terbiasa, kaki dan mata sudah mulai terbiasa mencari jejak jalan setapak yang bisa dilewati. Pucuk-pucuk pohon di atasnya yang tak rimbun menjadi pertanda ruang di bawahnya sebagai tempat yang bisa dilewati. Mereka terus berjalan, tertatih-tatih, melambat sampai kemudian berada di tepi sungai dengan air bening yang mengalir gemercik menyapa dengan senyuman sambil berkata, “jangan kotori kami.”

Berhentilah mereka. Duduk istirahat di batu-batu berserakan pada tempat yang tepat seperti sudah dipersiapkan. Kabut masih cukup tebal, membaluri daun dan rumput membekas menjadi embun yang perlahan menetes ikhlas. Semua terdiam, merendamkan kaki dan air membuat mereka segar, bertenaga kembali. Ketika lelah sudah mulai mereda, sinar matahari mulai menembus sela-sela daun menyentuh kabut yang beringsut. Wajah-wajah lelah sudah mulai kembali cerah sedikit memerah. Kicau burung satu persatu mulai bersahutan. Aliran air di sungai seperti bertambah deras berlari-lari, seiring pagi yang semakin cerah. Dari arah jalan yang dilewati semalam, seseorang berjalan datang dari balik rerimbunan. Mendatangi mereka, dan menyapa, “Ikuti saya, jika ingin hidup bahagia.”

Setelah orang terakhir berjingkat dari air tepian sungai, di depan mereka berdiri rerimbunan tanaman rambat dan pohon-pohon yang menempel di dinding gedung. Di dominasi warna hijau dedaunan. Banyak mekar bunga dengan berbagai corak warna. Burung-burung begitu ceria melompat dan beterbangan bolak-balik. Ada banyak kambing, kerbau dan sapi merumput tenang dengan anak-anaknya yang masih centil melompat-lompat girang.

“Di sini banyak yang bisa kita nikmati. Ada umbi-umbian dan buah-buahan yang akan memenuhi kebutuhan makan kita. tak perlu uang. Buang saja uang yang kalian bawa. Tak ada yang butuh di sini.”

Berangkat dari rumah-rumah yang sederhana, penduduk di situ mulai menyambut pagi dengan  bermain-main dengan tanah, bercocok tanam, membasuh muka dengan air jernih dan istirahat di bawah pohon rindang yang daunnya tumbuh hijau sempurna.

“Di sini kita mendapatkan kebahagiaan. Kerakusan yang membuat kebahagiaan kemudian menghilang.”

“Tapi, kita jadi nggak bisa pergi jauh.”

“Untuk apa pergi jauh jika sudah cukup. Jika terus mencari kemudian ketemu, akan ada lagi harus di cari. Dan, akan lagi.”

Matahari sudah meninggi. Kesejukan masih menaungi. Semua berjalan teratur, “kami akan meneruskan perjalanan.”

“Kalian akan kembali lagi di sini.”

Tekad yang kuat membuat lelah dan lapar tak menjadi halangan. Mereka terus berjalan. Bertatih-tatih. Semakin melambat, berhenti beristirahat sejenak, beringsut berjalan lagi, tertatih-tatih, melambat sampai kemudian berada di tepi sungai dengan air bening yang mengalir gemercik menyapa dengan senyuman sambil berkata, “jangan kotori kami.” Mereka duduk istirahat di batu-batu berserakan pada tempat yang tepat seperti sudah dipersiapkan. Dirasa cukup, mereka berjalan lagi. Setelah orang terakhir berjingkat dari air tepian sungai, di depan mereka berdiri rerimbunan tanaman rambat dan pohon-pohon yang menempel di dinding gedung.

Maret 2024

DUA BATU BERGESER


Bagi sebagian banyak orang, berjalan jauh menempuh pematang tanah liat dan becek, menjadi hal yang tidak menyenangkan dan berusaha untuk meghindari. Karena menjadi kebiasaan dan hal yang harus dijalani setiap hari yang membuat Sani merasa tak punya beban. Ia menikmati semua pengaruh iklim pada sekitar tempat tinggalnya. Saat masih sekolah, Ia sama sekali tak malu dan tak mempermasalahkan sepatunya yang basah dan kotor saat musim hujan karena harus melewati pematang yang memisahkan tambak tempat orang tuanya dan sekitar limapuluhan kepala keluarga yang beternak ikan dan udang sebagai penghasilan utama keluarga. Sepeda yang Ia bawa saat musim kemarau, tak bisa leluasa di bawa karena tanah yang lengket menempel dan bekas roda motor membuat jalur sedalam dua puluh lima centi meter sepanjang pematang. Tak ada kesan menyenangkan jika musim penghujan melewati jalan yang juga pematang itu. Pepohonan di kiri kanan yang bersemi dan menghijau menjadi keindahan penyempurna riak air disapu angin.

Alam begitu akrab dan membentuk kesempurnaan sikap pada tanah, air, hewan, tetumbuhan dan seluruh musim. Sani bersahabat dengan ketulusan hati dan bercengkerama setiap saat dengan bahasanya. Bahasa yang tak pernah Ia mengerti dan tak ada yang mengajari. Tak pernah ada kebohongan dan tak pernah ada pengingkaran. Saat menjelang senja, saat sinar mentari jatuh mendatar, Kariman, pemuda anak Pak Hasbi, orang yang dituakan para petani tambak itu, selalu memandangi seluruh gerak Sani dari rumahnya yang berjarak limapuluh meter, sambil sesekali memandangi gagang pancingnya yang diseret ikan. Sani menyadari itu, Ia pun merasa senang dan waktu begitu cepat berlalu memasuki malam. Dalam remang lampu-lampu dari aliran listrik yang menyambung dari perkampungan berjarak tiga kilo meter, Sani dan Kariman merajut jalan ke alam khayalnya, tak tentu ujung, tak tentu arah. Angin lembut yang menyapa mereka berdua menyampaikan pesan cinta pada keduanya. Berbungalah rerumputan di sekitar mereka berjalan.

Kariman jago memancing. Ia juga pintar merawat tambak, paham perilaku udang dan banyak jenis ikan yang diternak di tambak juga di sungai-sungai di sekitarnya sampai agak jauh. Kecerdasan, rasa ingin mengerti, insting menelitinya yang tinggi didukung rasa penasaran yang tak pernah padam menjadikan Ia semakin asyik mengamati setiap apa yang ada di sekitarnya. Ini juga yang membuat Sani menjadi tambah yakin tak ingin jauh-jauh darinya.

Ketika Sani memancing ikan duduk di salah satu batu yang berjejer di bawah pohon Panggang yang rimbun di sungai yang dua kilometer lagi bermuara di laut, Kariman mendatangi dengan dada berdegup dan darah berdesir. Ia ajari cara memasang umpan, melempar pancing, saat yang tepat menghentak joran dan mengajari jenis ikan dari cara bergerak di air. Sani terpesona, terpana, Kariman berbunga bisa membuat Sani tampak bahagia. Hari berikutnya menjadi seperti jadwal yang disepakati bersama, berdua memancing dan menghitung ikan yang didapat saat petang meski tak pernah mengingatnya berapa ikan yang di dapat. Hari berikut dan seterusnya, berdatanganlah orang-orang mancing di sekitar mereka, entah karena Sani, entah karena ikan yang didapat Kariman. Berjejerlah orang-orang berdagang. Lapak-lapak pemancingan tumbuh pesat dan sampah plastik berserakan berpindah tempat ditiup angin. Kesunyian di sore hari saat menjelang petang, hilang. Canda tawa dan teriakan tak kenal waktu menjadi semakin terbiasa.

Kelihaian Kariman memancing membuatnya banyak didatangi orang untuk berguru. Sering juga Ia di ajak untuk memancing bersama di lokasi yang jauh berbeda. Di tempat asing dan baru pun, Ia tetap mampu memperoleh ikan yang lebih banyak dari yang lain. Di air keruh dan air bening pun tetap saja Ia piawai, juga di air yang deras mengalir atau air tenang. Ia sangat tahu memperlakukan pancing pada setiap jenis ikan di dalam air meski tak tampak. Memahami setiap gerakdan kebiasaan calon mangsanya. Tiupan angin dan gerakan air menjadi petunjuk baginya. Dan hebatnya lagi, Ia juga pintar menjala di segala macam air.

Kariman menjadi jarang pulang, sibuk di undang sana-sini, dimintai bantuan oleh banyak orang. Ia banyak mendapatkan teman dan uang. Ketika pulang, Ia masih menyempatkan mancing bersama Sani, duduk bersebelahan di atas batu berjejer di bawah pohon Panggang. Tempat khusus mereka berdua berbiasa.

“Aku merasa kamu berubah Man,” Sani membuka lagi obrolan yang tertunda beberapa menit, tak seperti biasa sebelumnya.

“Kau yang mungkin menjadi perasa sekarang, Ni.”

Tak ada sautan. Hening. Angin sore mengantar sinar mentari yang redup tenggelam di ujung batas bumi.

“Sudah masuk malam, kita pulang. Tak baik malam-malam di luar berdua.”

“Aku ingin berdua di sini bersamamu. Menikmati. Aku ingin bercerita banyak, tentang kita, sekarang sampai nanti.”

Sani terdiam. Senyum Kariman masih ajek, lugu dan sederhana meski ada sedikit garis di tarik ke atas di ujung bibirnya. Kariman tersenyum tenang. Angin yang sedikit basah menyisir ujung-ujung rambutnya dan malam membawanya pada dunia lain yang belum dimengerti Sani. Saat bulan sabit menjelang tenggelam pinggir langit barat, Kariman mulai merayu Sani.

“Kau tak ingin ke kota bersamaku, San? Kau akan melihat keindahan dan kemewahan dunia modern yang di sini nggak ada. Kau mau aku ajak ke sana? Banyak temanku di sana sekarang. Ada yang jadi pejabat tinggi, ada jadi kontraktor, ada yang jadi politisi, ada yang jadi preman, ada yang jadi pengusaha, macam-macam pekerjaan teman-temanku. Kapan kau mau ikut, San?”

Sani terdiam. Tak terpikirkan tentang kehidupan kota dan tak ingin menjawab kapan waktunya.

“Jangan khawatir dengan biaya San. Saya banyak uang  sekarang. Mereka memberiku banyak uang atas jasaku mengajari mereka membaca situasi.”

“Apa yang kau ajarkan?”

“Mereka kurang paham bagaimana memancing, saya ajari mereka karena mereka juga meminta.”

“Memancing ikan?”

“Bukan hanya itu. Itu hanya sebuah awal untuk langkah berikutnya yang kadang tak terduga. Saya dapat banyak uang dari mereka. Aku ingin menikmatinya bersamamu.”

“Itu bukan dunia saya.”

“Kau akan masuk pada dunia itu jika kau mau bersamaku.”

Sani segera bangkit berdiri dan beranjak, “aku pulang. Ibu dan ayah menungguku di rumah.”

Kariman diam melongo. Ia merasa gagal dan mengutuk diri sambil bergegas mengendarai motor melaju ke arah kota dan menyempatkan berhenti, menelpon seseorang, “hallo broo. Tolong jemput saya di tempat yang kemarin ya.” Ia mengembara di dunia yang baru pada belantara bergemerlap, bisik-bisik dan nyanyian yang tidak semua orang paham iramanya.

Setiap Kariman pulang, Ia menggeser batu yang biasa menjadi tempat duduk berdua dengan Sani menjadi lebih dekat dan Sani akan menggeser ke tempat semula jika melihatnya.

“Batu ini akan berada di pinggir halaman rumah wisata yang akan saya bangun di sini.”

“Kau punya banyak uang?”

“Tidak. Saya tidak punya uang, tapi saya punya cara agar mereka mau membiayai. Saya pegang kunci mereka.”

“Kunci?”

“Ya. Mereka takut saya bernyanyi. Mereka akan melakukan untuk itu.”

“Kamu bisa bernyanyi sekarang?”

“Ya. Dan kau mau tahu nyanyian itu?”

Sani menggeleng, “Tidak. Saya tidak suka nyanyian seperti itu.”

Kariman bergerak cepat hilir mudik ke kota. Orang-orang di pinggir jalan yang dilewatinya menyapa akrab sambil menganggukkan kepala. Tak perlu menunggu pemilu, alat-alat berat dan truk pengangkut batu dan semen berdatangan. Ruas jalan baru yang lebar membentang bercabang-cabang. Kabel saluran listrik menggelantung antar tiang yang tertanam  sepanjang pinggir jalan. Malam tak lagi gelap dan suara gangsir menepi jauh menghindari gilasan roda. Dan, dua batu yang dijaga tempatnya oleh Sani, mulai bergeser mendekat, Sani membiarkan, mulai menikmatinya berdua. Dua batu yang dijaga tempatnya kadang bergeser menjauh, Sani tak berdaya dan menangis, mengusap air mata yang sembab, berbaur dengan orang-orang di bawah lampu warna warni yang terus berganti sampai pagi.

Air tempat memancing mengeruh. Gerakan-gerakan riak air tak lagi bisa terbaca ikan apa yang ada di dalamnya. Ular dan Sero berebut memangsa. Di atasnya, orang-orang berteriak-teriak bernyanyi bergembira-gembira. Malam menjadi tidak sunyi. Angin yang biasanya bertiup lembut menjadi kasar dan tajam. Air tambak menyempit, aliran sungai terseok-seok mempopong sampah yang tak pernah berhenti. Lantai beton menghampir terus melebar setiap detik. Uang terus mengalir mengkamuflase kekumuhan dan bau sampah.

Sani telah tergenggam ditangan Kariman terbawa pada ruangnya, dan tak hanya Sani, banyak yang masuk dan tak bisa melepas karena sayapnya telah terikat.

Sesekali Kariman pergi memancing untuk meyakinkan keahliannya dan mengajak anak-anak saudaranya, mengajari cara dan memanfaatkan waktu. Di bawah pohon-pohon yang pangkalnya di cekik lantai beton, mereka bersuka ria, menari dan tertawa tanpa jiwa. Temaram senja hilang makna tertutup sorot lampu jalan dan taman. Malam menjadi selalu hiruk pikuk, entah tertawa apa.

9:34,01/08/2021 

Rabu, 16 April 2025

AIR PUTIH


Lebih tepatnya air bening. Entah mengapa kebanyakan orang menyebut air yang berwarna bening menjadi air putih. Warna air putih lebih cocok jika untuk menyebut air yang warnanya putih seperti air susu. Dan, orang akan maksud jika yang disebut sebagai air putih adalah air bening, warna asli air. Mungkin ketika salah kaprah menyebut air putih sama dengan air bening, karena ada anggapan kalau air putih itu air yang masih murni, putih tidak keruh dan tidak ada campuran lain selain unsur air.

Sekitar tahun 70an sampai 80an, ketika saya ke hutan atau ke kebun sekitar desa, saya tebiasa minum air yang ada, di sungai, di rembesan mata air, di dinding tebing, atau bikin cekungan di tepi sungai supaya air sedikit tersaring. Tak timbul apa-apa setelah minum air mentah itu. Tak ada khawatir, tak ada takut akan muncul penyakit. Air terasa murah, bukan barang langka yang perlu dijaga dan dilestarikan. Air yang melimpah menjadi tidak berharga karena semua bisa mendapatkannya dengan mudah dan gratis.

Kemajuan teknologi dan aktivitas manusia menjadikan air perlahan tercemar. Minum air harus pilih-pilih di tempat yang steril, bersih komponen yang dialiri air. Air mentah jika diminum terasa langsung menimbulkan penyakit. Tubuh kompak menolak, seperti protes pada perilaku tuannya yang minum air sembarangan tidak higienis. Di wilayah perkotaan yang padat penduduk, air menjadi barang mahal. Air yang belum tercemar, yang bening menjadi sulit ditemui karena perilaku manusia dengan segala produk modern yang terus menerus membuat sampah, mencemari bumi.

Ketika air bersih menjadi mahal, pengusaha menangkap peluang. Air yang tadinya dianggap barang yang gampang didapat dan berubah menjadi barang yang eksklusif. Air dikemas dalam satu wadah, ditawarkan dan orang-orang yang tidak mau sembarangan minum sembarang air. Pencemaran air terus berlanjut. Orang-orang seperti tak mau sadar dan mengerti tentang pecemaran air dan lingkungan yang menyebabkan nilai air menjadi semakin tinggi. Air biasa yang keluar dari mata air murni, belum terkontaminasi barang selain unsur air, terus mengalami kenaikan nilai dan harga. Air bening, air biasa tanpa tambahan rasa atau warna lain menjadi pilihan utama bagi yang menjaga kesehatan tubuh. Air hanya perlu kemasan yang menarik dan kecerdikan marketing menggiring orang untuk membeli air bening dengan merk tertentu.

Sebuah benda yang tadinya biasa-biasa saja, berubah menjadi mahal karena perilaku manusia. Bisa saja perilaku tidak baik yang menjadikan air menjadi tidak steril, diorganisir supaya air terus menjadi barang mahal dan langka. Para penjual air bening, yang banyak juga orang menyebut air mineral, akan terus meneguk keuntungan jika semakin banyak air yang tercemar, sementara mereka sudah menguasai sumber air bening. Kampanye tentang pentingnya minum air bening diimbangi ‘harapan’ terus tercemarnya air diperkotaan.

Tak ada orang yang bisa menghindari air. Air akan tetap laku. Jika air sehat yang bisa diminum tinggal sedikit dan orang yang punya air sehat itu menaikan harganya, air akan tetap dibayar. Tak ada yang bisa menggantikan fungsi air. Air akan terus menjadi mahal.

Wnj, 21:27 16042025

Sabtu, 29 Maret 2025

ANCAMAN

Tak ada orang di dunia ini yang suka jika diancam, diteror, ditakut-takuti. Semua ingin merasa nyaman dengan rasa nyaman itu tak ada yang mengusik kapanpun dan di manapun. Semua ingin menciptakan dan merawatnya setiap saat rasa nyaman yang telah didapatnya.

Dan, kenyamanan itu bisa saja ada orang lain yang merasa kurang nyaman jika ada orang nyaman di suatu tempat. Ada yang merasa senang jika menguasainya dan rasa nyaman itu berpindah pada dirinya. Ia akan senang jika berhasil menguasai kenyamanan orang lain.

Berawal dari ingin menguasai dan mengambil kenyamanan orang lain, muncullah pertentangan antar pihak yang ingin menguasai dan mempertahankan. Pamer kekuatan pun muncul. Segala cara untuk menang dilakukan oleh masing-masing pihak. Semua merasa paling berhak untuk menggapai keinginannya. Kenyamanan menjadi terusik dan penikmat kenyamanan merasa terancam. Kenyamanan yang seharusnya menjadi tempat menikmati hidup berubah menjadi “peperangan” merebut nyaman, saling mengancam, saling mempertahankan.

Disisi lain, ancaman diperlukan. Orang yang sudah terbiasa di zona nyaman padahal dia dalam posisi tidak benar, akan merasa benar jika kondisi ‘benar’ yang sesungguhnya disodorkan padanya. Orang yang sudah lama membuat tempat tinggal dan menempatinya di bantaran sungai yang mengganggu kenormalan sungai, atau di tanah negara yang tidak diperuntukkan untuk tempat tinggal; jika diperintahkan untuk pindah, mereka akan merasa diusik, tidak dimanusiakan, merasa diancam dan menghiba untuk dibenarkan kesalahannya yang sudah lama. Seorang pekerja yang terbiasa kerja santai dan sesukanya, jika ditegur dan diancam akan dipecat, ia akan merasa diperlakukan tidak baik dan kesalahannya yang sudah ia lakukan terlupakan. Mereka cenederung memepertahankan diri dengan menganalogikan kondisi lain disekitarnya. Mencari pembenaran diri untuk kesalahannya dengan mencari kesalahan lain disekitarnya atau pada person yang memberi ancaman.

Ancaman diperlukan pada saat kondisi tidak baik jika dibiarkan terus menerus, supaya lahir kenyamanan untuk situasi dan kondisi yang lebih besar.

                                                                                                                                                                                                                                Wnj, 11:36 29032025 

Minggu, 23 Maret 2025

DIJUAL TANAH

Setahu saya, sampai saat ini tidak ada manusia yang bisa menciptakan tanah tempat kita berpijak, mendirikan rumah dan beranak pinak. Tanah terbentuk secara geologis selama jutaan tahun. Tidak ada manusia yang bisa merekayasa menciptakan tanah baru, yang ada hanya memodifikasi tanah yang sudah ada menjadi lebih subur atau lebih tepat untuk kepentingan kegiatan manusia.

Pada jaman kerajaan kuno, tanah dianggap sebagai anugerah dari Tuhan yang harus dihormati dan dikelola bersama untuk kemakmuran bersama. Hukum adat menjadi dasar pengaturan pemanfaatan tanah dengan prinsip kearifan lokal yang berlaku di situ. Kemudian lambat laun bergeser menjadi kepemilikan individu. Dari kepemilikan yang tadinya kolektif berubah menjadi kepemilikan individu, melahirkan konflik sosial. Semua merasa punya hak untuk memiliki sesuai dengan keinginan, lokasi dan posisinya. Maka, timbullah syarat-syarat kepemilikan tanah yang diakui secara bersama dan dianggap sah dan harus diakui oleh penguasa yang berkuasa secara sah dan diakui oleh rakyat.

Hak milik atas tanah, menjadikan orang boleh membangun gedung, menanam pohon atau membuat sesuatu diatasnya. Hak itu diakui oleh masyarakat sekitar dan negara. Jika ada seseorang yang karena kekuatannya mengambil paksa kepemilikan tanah dari orang yang sebelumnya memiliki, kemudian masyarakat sekitar tidak peduli dan negara membiarkan, bisa saja hak milik itu berpindah tangan. Apalagi jika orang kuat itu kemudian dengan cara apapun melengkapi syarat-syarat kelengkapan tanah.

Kepemilikan tanah itu hanya karena kebaikan masyarakat sekitar yang mengakuinya dan negara tidak mempermasalahkan. Jika ada banyak tulisan terpampang, dijual tanah tanpa perantara, sejatinya yang ditawarkan dijual itu hak kepemilikan atas tanah tersebut. Kita tidak bisa memindah tanah tersebut ke tempat lain. Karena tidak bisa dipindah itulah, harga tanah berbeda-beda meski bahan dasar tanah dimanapun sama. Tanah mejadi punya nilai ekonomis tinggi jika di kota besar atau ditempat keramaian yang dianggap menguntungkan jika dibuat usaha ekonomis. Nilai jual tanah ditentukan oleh lokasi yang dipengaruhi oleh banyak tidaknya orang beraktivitas dan membelanjakan uangnya.

Jika semua orang tidak mengakui hak kepemilikan atas tanah dan penguasa tidak bisa mengendalikannya, apakah ada orang yang menuntut punya hak milik atas tanah padahal selain dia tidak ada orang yang mengakui hak kepemilikan atas tanah.   

                                                                                                                                                                                                                                                Djayim, 23032025 22:12 

Kamis, 23 Januari 2025

KEYAKINAN ITU MENAKUTKAN, MEMBANGUN DAN MERUSAK.


Merasa yakin tentang sebuah kebenaran, akan menutup kebenaran dari sumber lain. Semakin tebal rasa keyakinan itu, semakin menutup keyakinan lain yang ada di sekitar atau di dunia lain, yang tidak seperti keyakinannya akan dianggap salah. Dalam sebuah kelompok yang berkeyakinan sama, mereka akan saling bahu membahu melestarikannya, membangun secara fisik dan mental agar kelompoknya semakin kuat dan besar. Melupakan perbedaan kecil jika masih dalam satu lorong besar keyakinannya.

Menjadi permasalah jika keyakinannya berbeda dan menganggap yang ‘salah’ adalah bukan teman dan dikelompokkan seperti musuh, bahkan dianggap pahlawan jika ada yang bisa mengalahkan atau menyingkirkan orang-orang yang tidak se-keyakinan. Mempertahankan keyakinan bahwa ia dan kelompoknya lebih baik dari yang lain kadang dibuktikan dengan kekuatan fisik, kekerasaan, pemaksaan kehendak kelompok lain untuk mengakuinya.

Keyakinan merasa lebih baik dari kelompok lain bisa berupa; agama, ras, golongan, partai politik, kasta, keturunan. Pada pengelompokan kasta dan keturunan, masih banyak yang mengakuinya bahwa terlahir dengan kasta dan keturunan tertentu sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak. Bagi kasta rendahan, mereka hanya bisa berupaya untuk lebih baik dari kasta yang mau tidak mau sudah disematkan pada hidupnya sejak lahir. Mereka bisa lepas dari kutukan itu jika keluar dari adat tersebut. Ia bisa saja punya perekonomian lebih baik atau lebih kaya dari kasta-kasta di atasnya, tapi titel kasta tak bisa dilepaskan jika Ia masih dalam ‘rumah’ adat tersebut.

Rasa harus mempertahankan keyakinan, menjadi tunas sebuah konflik antara keyakinan lain yang berbeda, yang satu sama lain merasa berkeyakinan paling baik dariapada keyakinan kelompok lain. Memasukan pada ruang pikir bahwa perbedaan itu hal biasa karena perbedaan latar belakang dan landasan berpikir yang berbeda-beda setiap orang, sangat sulit dan harus berhati-hati jika ingin berhasil. Rasa selalu ingin membanggakan tentang keyakinannya menutup pintu pikir jika di sisi lain ada juga orang yang berpikir sepertinya dengan berbagai argumen untuk memperkuat rasa bangganya.

Beradunya pikiran tentang lebih baik keyakinannya dari yang lain dan mempertahankannya adalah sebuah kehormatan, melahirkan jiwa pahlawan untuk bertarung secara fisik jika ada yang melukai keyakinannya. Tak jarang timbul terjadinya bentrok fisik dan bentrok verbal antar kelompok yang berbeda keyakinan pada kelompok perguruan beladiri, politik, agama dan adat. Tak terkecuali juga perseteruan karena perbedaan aliran dalam “rumah” satu agama. Saling merasa berkeyakinan paling baik, melahirkan berbagai argumen yang argumen itu ditopang oleh argumen lain untuk memperkuat keyakinannya. Mereka bertengkar diberbagai platform dan pertengkaran itu melahirkan kreatifitas berargumen. Mengelola pertengkeran verbal supaya tidak berlanjut menjadi pertengkaran fisik, memerlukan pembujukkan yang menyejukkan dengan tidak menimbulkan ketersinggungan.

Perang yang sedang dan telah terjadi di dunia, timbul karena keyakinan yang berbeda di masing-masing pihak. Timbul rasa bangga jika dapat mengalahkan orang lain yang telah dijadikan musuh karena perbedaan keyakinan dan tidak mau ikut kehendaknya. Perang dengan penuh tega melupakan rasa manusiawi. Mengalahkan musuh lebih penting dari hal apapun. Keyakinan, akan terus mendukungnya untuk mengalahkan, menghancurkan dan melenyapkan keyakinan lain. Keyakinan menjadi alat penting untuk saling membunuh dan saling mempertahankan.

Wnj, 06:20 23012025


Minggu, 17 November 2024

INDONESIA vs JEPANG 0 : 4


Mengharap Indonesia menang dari Jepang dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia zona Asia group C, sepertinya sebuah mimpi yang harus mengesampingkan kemampuan pemain-pemain Jepang yang sudah tujuh kali ikut masuk dalam ajang Piala Dunia. Piala Dunia bidang sepak bola. Kita seperti sudah yakin arahnya, jika menyebut piala dunia pasti tentang olah raga sepak bola. Berbondong-bondonglah para pendukung Timnas. Mereka berharap, semangatnya para penonton bisa menular kepada para pemain yang berlaga di lapangan. Teriak-teriakan mereka bisa merasuk dalam jiwa para pemain sehingga muncul kekuatan baru yang bisa menghancurkan kekuatan Jepang. Berharap bisa menjadi pemain ke dua belas yang lebih dari dua puluh dua pemain yang sedang bermain. 

Bola memang bundar, dan bola itu bundar yang sering menjadi sebutan bisa saja terjadi hal-hal yang di luar dugaan. Di luar perhitungan statistik dan catatan kemampuan para pemain. Banyak faktor yang untuk memperoleh kemenangan dari sebuah pertanding sepakbola. Faktor-faktor itu diramu sehingga menjadi saling mendukung untuk sebuah kemenangan. Ramuan kekuatan dan strategi dalam pertandingan bisa kalah oleh sebuah keberuntungan yang tak terduga. Keberuntungan itulah yang sering disambungkan dengan istilah bola itu bundar.

Di pertandingan tanggal 15 Nopember 2024, Indonesia membawa ‘bola itu bindar’ untuk melawan Jepang. Para pemain Jepang yang banyak bermain di liga Eropa dan sering bergabung bersama-sama dalam pertandingan, melawan tim Indonesia yang masih belum match karena beberapa pemain masih baru masuk tim dari proses naturalisasi, menjadi tak terbendung meski main di kandang Indonesia. Semangat yang tinggi dan pantang menyerah menjadi tambahan bagi Jepang untuk meraup kemenangan. Dan empat gol tanpa balas sepertinya bukan hasil dari ekstra kerja keras. Mereka membuktikan dominasinya di Asia dan kesiapan masuk piala dunia sudah disusun dengan baik. Jepang bertengger di puncak klasemen dan Indonesia terpuruk di dasar klasemen. Menyedihkan bagi para pecinta sepak bola, meski masih ada opsi peluang untuk lolos.

Indonesia Usia Muda.

Jika menonton para pemain Indonesia dibawah usia 20, kita sepertinya punya harapan besar. Dari jamannya Evan Dimas sampai sekarang pun, Indonesia masih baik di tingkat Asia. Tapi, entah kenapa ketika masuk tim senior, kehebatan mereka ketika masih remaja tidak terbawa. Seperti ada tangga  pemisah yang membuat kehebatannya hilang dan hilang terlalu dini. Mereka juga pasti menyadari, tapi kesadarannya tak cukup untuk menjadi tetap hebat. Atau bisa jadi masa keemasan pemain kita saat dibawah usia dua puluhtahun sedangkan masa emas pemain negara lain ketika sudah diatas usia duapuluh tahun. Atau para pemain kita sudah merasa cukup penghasilan dengan bermain di liga Indonesia sehingga malas untuk terus menerus berlatuh mengasah kemampuan. Berlatih terus menerus yang membosankan.

Dulu, saya orang yang tidak setuju dengan naturalisasi pemain sepakbola. Meski mereka masih ada darah Indonesia, sepertinya lebih bangga jika kita menang dengan para pemain lokal produk dari Indonesia sendiri. Tetapi harapan-harapan untuk memperolah kemenangan dan mnejuarai sebuah even pertandingan, berakhir dengan kecewa. Sampai kemudian saya menjadi setuju dengan naturalisasi pemain dan hasilnya cukup menggembirakan meskipun belum memuaskan. Saya berharap dengan adanya pemain naturalisasi, para pemain asli Indonesia menjadi semangat untuk meningkatkan kemampuannya sehingg bisa bersaing menjadi pilhan mewakili Indonesia.

Harapan selalu ada. Semangat Jepang bisa menjadi contoh untuk dipelajari dan dikembangkan di negara kita dengan landasan budaya dan semangat pantang-menyerahnya Indonesia. Jepang adalah negara yang pernah hancur dan kemudian berjingkat bangun segera bangkit menjadi negara maju yang masih terus menjaga tradisi nenek moyang. Dan dengan karakter semangatnya kita, suatu saat nanti Indonesia akan bisa mengalahkan Jepang di kandangnya lebih dari 4 : 0

Sepakbola Indonesia akan menjadi maju yang akan menjadi lawan berat negara manapun jika benar-benar mempersiapkan seluruh potensi menjadi pemain sepakbola yang berkarakter baik, penuh semangat, pantang menyerah dan ingin selalu menjadi terbaik.

Kenapa perbincangan harus sepakbola?

djayim, 22:48 17.11.2024

Senin, 30 September 2024

BETERNAK KEKUASAAN

Kekuasaan itu mengasyikkan, nikmat dan candu. Memanfaatkan kekuasaan yang sudah diperolehnya menjadi keasyikan tersendiri. Keasyikan yang terus berubah setiap saat dan setiap kesempatan. Keasyikan yang didamba semua orang pemburu kekuasaan. Jika kekuasaan tak mempunyai keasyikan, tak ada orang yang mau berburu dan berebut kekuasaan. Ia candu yang bisa melupakan segalanya. Melupakan norma-norma di sekitarnya. Mempertahankan, memanfaatkan kekuasaan dan memperoleh kemenangan menjadi menjadi keasyikan yang terus menerus dinikmati. Menjadi hobi.

Sebuah kesenangan tak begitu saja di tinggalkan, tak akan di buang. Jika memperolehnya dengan susah payah dan berdarah-darah, kenapa harus mudah melepaskannya demi apapun alasannya. Tak peduli alasan tentang kebaikan-kebaikan yang disarankan para pengamat dan para penonton. Mereka juga ingin berkuasa, ingin kekuasaan berada ditangannya.

Mempertahankan kekuasaan juga sebuah keasyikan. Memperolehnya juga mengasyikan. Dua-duanya bisa berjalan bersama supaya selama hidupnya kekuasaan tetap berada padanya, dan atau berada pada orang-orang di sekelilingnya supaya ia tetap berkuasa meski sudah tidak pada kursi utama kekuasaan. Untuk itu, membangun jaringan kekuasaan harus dibuat sebelum waktu dan aturan membatasi. Dibangun dengan cara apapun, memanfaatkan seluruh alat yang bisa dimanfaatkan.

Kekuasaan diperlukan jaringan. Jaringan kekuasaan tidak cukup satu dua kelompok yang tunduk padanya. Diperlukan banyak sekali orang dan kelompok-kelompok yang mendukungnya. Orang dan kelompok yang juga sedang membangun kekuasaan untuk mencari waktu yang tepat supaya kekuasaan berada pada genggaman tangannya. Mereka beternak jaringan kekuasaan. Saling terkait dan mencari waktu yang tepat untuk merebutnya. Mereka yang tergabung dalam lingkaran penguasa, juga sedang beternak kekuasaan agar menjadi penguasa utama, bukan sekedar ikut menumpang berkuasa. Mereka membangun bersama, bersama anak, sanak family, teman, karib. Mereka terus menerus beternak supaya kekuasaan tetap berada dalam lingkaran saudaranya, dalam lingkaran orang-orang dekatnya. Tak ada dari para peternak kekuasaan yang dengan rela menghibahkan kekuasaan pada orang lain yang ia sendiri menjadi samasekali tak berpengaruh dalam dinamika kekuasaan. Para peternak kekuasaan itu akan beternak terus menerus supaya anak, cucu, cicit dan semua garis keturunannya dapat berkuasa.

Mereka beternak dengan memikat rakyat, dengan bermanis-manis, berjanji, berbohong, merayu, bercitra baik, mengemis, mengelabui. Semua dilakukan. Mengesampingkan norma-norma yang masih dianggap berlaku. Karena kekuasaan itu nikmat. Memperolehnya pun nikmat.

Wnj.23:47 30.09.2024