Sudah lama sekali aku tak mendengar
namaku dipanggil. Bahkan seperti lupa siapa namaku. Tak ada yang mengenalku.
Semua serba tak tentu. Makan sedapatnya tak tentu, tidur dimana mata mengantuk.
Berhenti selelah kaki melangkah. Nomaden, berganti-ganti jalan yang dilewati,
berganti-ganti langit yang memayungi, berganti wajah tertemui. Semua tak
peduli. Semua tak mengerti dan tak mau mengerti. Suara-suara asing silih
berganti membawa hati dan pikiran ke alam yang tak dimengerti. Tak ada rasa
jemu, tak ada rasa senang. Datar dan biasa-biasa saja. Mengalir seperti air di
sebuah sungai besar ketika kemarau. Berjalan seperti angin dini hari yang
lambat, dingin menusuk seluruh persendian. Belantara alam dengan segala fasilitas
manusia yang terus menerus bertambah, terus menerus beragam. Selalu bising
namun lengang di telingaku, selalu ramai lalu lalang tapi sepi di mataku yang
kosong dimasuki sinar yang berpendar-pendar bergonta-ganti warna.
Ini sudah menjelang subuh atau masih
dini hari, aku tak tahu. Tak perlu rasanya untuk mencari tahu waktu. Sama saja.
Di lampu merah tempat biasanya aku mengamen dengan gitar kentrung tak tentu
nada, sangat sepi. Aku hanya perlu sesuatu untuk bisa mengganjal perut agar
bisa tidur dan melepas lelas sekujur kaki. Sebelum para pedagang, para pekerja
keras, menyiapkan dagangannya aku harus sudah cukup tidur. Tidur menjadi sebuah
kenikmatan luar biasa yang gratis tanpa perlu syarat ini itu. Tak ada tanda
atau catatan identitas tentang aku. Aku bisa saja berpura-pura jadi orang gila
agar tak dicurigai oleh orang-orang yang ketakutan kehilangan hartanya. Tapi
untuk berpura pura agar tampak menjadi orang alim perlu waktu agak lama untuk
belajar. Perlu pendalaman batin untuk itu. Dan itu hal yang mengasyikan
menurutku. Semua tantangan adalah hal yang harus ditaklukan dan akan menjadi
permainan yang tak boleh lewat setiap langkah perlangkah. Aku telah begitu
banyak langkah dan jauh berjalan. Serasa semakin menjauh terhadap kedamaian dan
keindahan mendekat pada sang pencipta.
Pagi menjelang siang. Meski kabut
masih pekat menyelimuti langit, suasana pasar sudah mulai ramai. Aku tak cukup
tidur malam ini. Pikiranku terasa lelah menggembara tak tentu arah. Seperti
sudah tahu apa yang harus dikerjakan, kakiku melangkah menopang badan yang
lunglai. Duapuluh meter lurus di depan pintu gerbang masjid, aku berhenti,
duduk pada sebuah bangku di depan warung kopi tempat biasa orang duduk
menyeruput kopi melepas lelah atau sekedar ngobrol bersama. Orang-orang yang
datang ke masjid dengan memakai peci, baju koko dan bertapih sarung, melangkah
tenang berselimut kedamaian memancarkan rasa optimisme di setiap desah nafas.
Suara adzan subuh membawaku ke masa kecil. Ketika menjelang maghrib kami
berlari-lari menuju masjid untuk maghrib berjamaah dan seusai shalat mengaji
dengan dibimbing oleh ustadz Amri yang tampan dan cerdas. Aku sangat kepingin
seperti dia. Semua polah tingkahnya mengesankan. Dimanakah dia sekarang. Aku
ingin mengaji kembali. Masih ingatkah Ia padaku. Jika pun Ia lupa, aku sangat
maklum. Tak ada yang mengenal aku sekarang.
Desaku tempat aku di lahirkan dan menikmati masa kecil, sudah tak lagi
mau menerimaku dengan ikhlas. Saya bukan orang yang cukup baik-baik sekedar
memenuhi syarat minimal hidup dan tinggal di sana. Saya sangat kangen pada
suasananya tapi aku telah berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. Semua yang
membuat saya terkenang telah dibuang secara perlahan, bahkan tentang cinta pun
saya tak lagi mengenalnya. Usahaku untuk membuang rasa yang membuat hati selalu
ingin bertemu dan bersama, dengan seorang gadis di desaku, sekarang telah saya
hapus bersih namanya di hati. Hilanglah apa yang disebut cinta yang diawali
pupusnya harapan untuk memilikinya. Hal yang tak perlu diingat, buang-buang
waktu dan tak bermanfaat. Yang terpenting sekarang, aku harus mendapatkan makanan,
dan para penjaja makanan pagi hari sudah siap di lapaknya masing-masing, bukan
hal yang sulit bagiku untuk mendapatkannya, dan itu hal yang selalu ingin
dihindari, selalu berjanji untuk yang terakhir kali. Keadaan selalu menjadi
alasan.
Pada sebuah proyek pembangunan mall
dua puluh lantai aku melamar untuk menjadi kuli. Tak perlu bersusah payah untuk
bisa diterima. Tak perlu daftar riwayat hidup, tak perlu surat lamaran yang
dilampiri ijazah dan sertifikat ini itu, cukup memperlihatkan niat untuk
bekerja kasar. Saya di terima oleh mandor yang sepertinya aku mengenal
wajahnya. Banyak sekali orang yang berwajah sekilas mirip, saya tak tertarik
untuk menelusurinya, tapi aku ingat sebuah nama, Jarkun. Ini sebuah awal untuk
baik, pikirku, walau sebenarnya saya bisa saja tak perlu kerja keras sepanjang
hari untuk mendapatkan uang. Banyak sekali material proyek yang saya bisa ambil
dan para penjaga tak tahu. Sebuah keahlian yang tak saya suka sebenarnya.
“Darimana mas?” tanya seseorang
ketika menjelang malam di dalam bedeng tempat kami berdesakan tidur seperti
ikan di kolam penampungan. Pertanyaan yang sulit aku jawab. Saya tak punya
alamat yang tetap. Tak ada kepala desa atau lurah yang punya catatan namaku.
Saya jawab sekenanya.
“Dari sini saja.”
“Masa orang sini mau kerja macam
beginian.”
Saya hanya tersenyum, merasa tidak
perlu penjelasan panjang lebar.
“Kemarin kerja dimana mas?”
“Di sana. Proyek perkantoran,”
jawabku sekenanya. Saya membetulkan sarung dan menuju tidur melepas lelah raga
dan berharap tak ada lagi pertanyaan yang tak penting lagi. Semoga nyamuk tak
mengganggu, doaku.
Berbulan-bulan, lupa berapa hari
berapa minggu, bekerja, istirahat, makan, tidur tanpa dengar berita dan tanpa
nonton tivi terasa nikmat tak terganggu. Aku menikmati sehat yang Tuhan berikan
dan lelah yang mengantarku tidur nyenyak.
Seorang pelayan warung makan, tempat
biasa kami makan dan berutang, yang juga anak empunya warung, memperlihatkan
rasa hatinya padaku. Lama saya biarkan, Ia malah tambah penasaran. Pernikahanku
yang pertama yang umurnya dua tahun kurang dua bulan dua hari, membuat aku
bersikap biasa-biasa saja terhadap wanita yang menampakkan cintanya padaku.
Kami nekat kawin lari. Orang tua Liswati, nama istriku dulu, tak merestui. Saya
maklum, saya tak punya kerjaan tetap, hanya berpenghasilan dari kerja
serabutan, kadang berjualan asongan, di pasar, di terminal. Cinta memang buta,
saya sudah membujuk Wati untuk menurut orangtuanya karena saya tak sanggup
membahagiakan secara materi, Ia malah ngotot makin nekat. Ia minta saya
menunjukkan cintaku dengan berani kawin lari. Jadilah kami nikah siri. Saya tak
tahu apakah itu sah menurut agama atau tidak, yang penting saya merasa nyaman
dan aman dengan memegang buku nikah entah palsu atau tidak. Seseorang yang
pandai ngomong bahasa Islami, dengan do’a-do’a berbahasa arab, memakai pakaian
pemuka agama, mengantar kami menjadi suami istri.
Tiga bulan kami menikmati cinta
dengan kesederhanaan. Di kontrakan yang hanya satu kamar, makan seadanya,
pakaian yang itu-itu saja. Semua nikmat, indah, penuh cinta, penuh canda tawa,
dan sering mentertawakan orang-orang yang harus bersusah payah kerja keras
mencari uang untuk membeli kebahagiaan, padahal bisa didapat dengan gampang,
kapan saja, di mana saja, dengan kondisi apa saja. Ah, begitu riang dan
ringannya hidup kami kala itu. Dan waktu menggerus semua itu. Sesuatu yang
sederhana yang dapat kami nikmati menjadi membosankan bagi istriku. Ia ingin
kebahagiaan lain lagi, ingin seperti yang lain, yang lebih, yang belum ada.
Kami mulai berbeda pandangan, berbeda filosofi. Mencoba terus bertahan, menjadi
tak bisa dipertahankan ketika istriku mencari kebahagiaan dengan orang lain,
dengan lelaki lain. Saya cukup melupakannya dan tak perlu repot-repot ke
pengadilan untuk proses perceraian. Sebuh kemudahan dari kawin siri, cukup
membuang buku nikah, membuang cinta. Tak perlu dirasa tentang hati yang lara.
Kini, Saidah bin Kusnam mengajak hatiku
untuk hidup berdua. Dengan pandangan matanya yang sayu hanya padaku, mengharap
sepenuhnya, bahwa dunia akan indah bersamaku. Saya membalas dalam hati, ‘aku
tak bisa meramal tentang keindahaan waktu di masa nanti.’ Ia tak mengerti,
karena memang aku tak memberinya tahu. Bila Ia kusapa dengan sederhana, Ia akan
bergairah sepanjang hari, di matanya terpampang kesuksesan usaha jika
bersamaku. Aku mengerti, teman-teman kerjaku menyemangati, “Ayolah, jangan
bikin nona manis putri pemilik warung langganan kita kecewa. Nanti kita tak
boleh mengutang jika Ia kecewa. Kau akan menjadi menantu kebanggaan Pak Kusnam.
Kau akan dibikinkan warung lagi dan tak perlu kerja jadi kuli seperti sekarang
ini.” Tiga bulan aku biarkan keadaan itu, menggantung hati Saidah pada
awang-awang yang tak terbaca.
Aku memutuskan untuk pergi sebelum
Saidah benar sepenuhnya memutuskan untuk hidup bersamaku. Saya merasa akan
banyak masalah, saya merasakan itu. Ketika malam baru selangkah melewati
puncaknya, saya beringsut pergi. Beberapa pakaian saya bawa dalam tas punggung
yang tidak begitu besar, dan yang lain saya biarkan. Seisi barak tak ada yang
melihatku pergi saya rasa.
Ketika pagi belum sempurna melepas
kabut, saya terbangun di emperan toko di pinggir pasar agak ke ujung timur.
Suara wanita menjerit histeris dan kerumunan warga membawa langkahku ke pusat
suara. Seorang wanita perawan terbunuh. Darah mengucur di perut dan di sela
payudaranya dan dibagian tengkuk kepala. Wajahnya masih utuh, terpejam tak
rapat dengan mulut sedikit terbuka menebar senyum. Saya terlonjak, wajah itu
kenal, sangat kenal, Sidah. Saidah binti Kusnam. Kenapa Ia harus mati di sini?
Kenapa harus di dekat saya? Kenapa ada yang tega membunuh gadis secantik dia?
Ada penyesalan menyembul di ruang
dadaku. Jika saja aku tak pergi, mungkin Saidah tak mengikutiku dan tidak
terbunuh di sini. Mungkin para begundal telah memperkosa dan membunuhnya selagi
Ia hampir menemukanku. Mungkin jika saya tetap di sana dan melindunginya, Ia
tak akan seperti ini. Cepat-cepat saya berlari mengabari Pak Kusnam. Ia
melongo, terhuyung kemudian saya bimbing duduk. Istrinya langsung pingsan jatuh
pada sisi meja menggelosor ke lantai, luluh seperti tak bertulang. Saya ikut
berbelasungkawa dengan ikut sibuk mengurusi jenazah Saidah, seorang yang berani
menyatakan cinta tanpa bertitip kata, dengan sedikit menunduk tersipu penuh
makna.
Aku melanjutkan pergi, seperti biasa,
sesal adalah hal yang dengan gampang aku membuangnya. Begitu banyak hal yang
telah bikin saya bisa begitu. Tapi, Saidah terasa lain. Aku menghampiri tempat
Saidah ditemukan saat malam hampir membungkus senja. Tiba-tiba sekawan polisi
menyergapku. Merasa akan kalah, aku tak melawan dan tak bicara. Ada empat, atau
lima, mungkin enam polisi meringkusku dan mendorong dengan kasar ke dalam mobil
yang kanan kirinya berjendela kawat. “Kamu ditahan! Semua barang bukti yang kami
temukan mengarah padamu. Kau tersangka utama pembunuh Saidah”
“Tidak mungkin Pak, dia mencintai
saya dan saya sangat tidak mungkin melukai orang yang mencintai saya.”
“Semua alat yang dipakai untuk
membunuh Saidah, punya kamu.”
Di kantor Polisi, saya melihat baju,
topi, dan palu sebesar kepal yang biasa saya pakai berlumur darah. Aku diam.
Sesorang telah memakai itu agar tuduhan mengarah ke saya. Saya mencurigai
seseorang sebagai dalangnya dan juga seseorang sebagai esksekutornya. Saya
yakin, persaingan dagang dan cinta yang diabaikan menjadi pemicunya.
Sikapku yang diam, tanpa perlawanan,
tanpa banyak bicara, tenang, membuat penjagaan agak longgar. Tak sulit bagiku
untuk mengelabui mereka dan berlari menghilang. Sekelebatan saya bisa mengambil
kunci borgol yang tergantung dipinggang polisi terdekat dan melesat menghilang
di kegelapan malam dengan lampu-lampu penerang jalan.
Seperti biasa kesukaanku memulai,
sesaat selepas puncak malam, saya telah menemui jejaknya. Ia tampaknya sedang
bergembira terbebas dari kejaran polisi, tertawa-tawa sambil bermain kartu
disebuah pos ronda yang jarang dipakai. Sebilah besi sebesar ibu jari kaki saya
sabetkan di tengkuknya. Ia terjerembab langsung tak bergerak. Tiga temannya
kaget, hendak melawan tapi langsung saya ancam. Mereka mundur, saya pegang
lehernya salah satu, yang dua lari terbirit. Saya pergi dengan langkah seorang
penjudi yang menang, meninggalkan seorang yang berdiri terpaku menatap mayat
yang masih hangat. Saya tak berlari sembunyi. Membiarkan saja seperti tak ada
apa-apa. Batang besi saya lemparkan pada sebuah got sedalam setengah meter
dengan air hitam berbau, satu setengah kilo dari tempat aku mengeksekusi mati.
Mau ditemukan polisi juga tak masalah, tidak ditemukan pun, biasa saja. Masker
yang kukenakan tak cukup untuk mereka mengenaliku. Jika mereka mengenal pun,
bukan persoalan.
Penjara tak jadi soal. Tak ada orang
yang akan menangisi, tak ada orang yang merasa kehilangan, banyak temanku
menunggu di sana. Apa Saidah merasa senang dengan yang saya lakukan, aku tak
mengerti. Saya hanya ingin menghilangkan orang yang tak punya hati.
Di terminal antar kota, aku tidur
pada sebuah bangku tunggu penumpang. Gigitan dan suara nyamuk yang mendesing
terus menganggu. Aku tak lelap tidur, sampai sebuah bis paling awal di hari itu
berangkat. Saya melompat naik, duduk di kursi paling belakang yang masih kosong
dan melanjutkan tidur dan gagal. Mesin bis menderu menerobos udara dingin
berkabut yang lembab. Pepohonan di kanan kiri jalan diam tidur tak menggerakkan
sedikit pun daunnya, membiarkan satu dua kendaraan yang melaju bisu. Sebuah
perjalanan panjang. Tak ada klakson menjerit. Di beberapa tempat di depan
perkantoran atau perumahan, satpam membikin perapian untuk menghangatkan badan.
Tak tahu berapa waktu yang telah
tertempuh, berapa tanjakan, tikungan, berapa kali berhenti mendadak. Sudah
banyak penumpang, lebih dari setengah bis. Pada sebuah jalan yang kanan kirinya
terbentang padang rumput dengan pohon-pohon rindang yang tak begitu rapat, bis
berhenti. Kondektur menghampiriku dan mempersilahkan saya untuk turun.
“Katanya mau turun di sini, Bang?”
Saya bingung, melongo, kaget. Saya
merasa tak pernah minta untuk diturunkan dimana pun. Tak perlu komen, tanpa
merasa terbebani kakiku melangkah turun menapaki tangga pintu bis. Matahari
baru saja terbit. Sinar semburat-kuningnya mewarnai seluruh alam. Bayangan
pohon yang tumbuh jarang di padang rumput menari-nari. Sebatas mata memandang,
ada nampak pemukiman di ujung savana. Masih dengan kaki yang sama, aku
berjalan. Mengikuti bayangku sendiri yang semakin lama semakin tak panjang.
Langit di atas kepalaku selalu berubah warna, meski tetap biru.
Seorang wanita, nampaknya seorang
gadis, berlari kearahku dengan muka yang tertutup rambutnya yang ditiup angin
selatan. Ia langsung memelukku dengan erat.
“Saidah? Kau masih hidup?” yang
ditanya bingung. Tapi Ia bukan Saidah, atau Ia Wati, Cici, Dini, Yayu, Sri,
Eka, Dwi, Ceuceu, Mi, Mao, Na, Janah, Sumi, Sisi, Sasa, Tata, Rindu, Ayu, Nur,
Imah, Yayah, Nita, Nia, Ati, Siti, Susi, Nana, Kanti, Nunu? Bukan. Wajahnya
berubah-rubah. Angin yang terus mengurai rambutnya membuat aku tak bisa dengan
jelas melihat wajahnya yang terus didesakkan di bahu kiri.
“Aku akan membawamu Mas?” Suara yang
pernah aku kenal, entah siapa, mungkin suara tukang sayur yang sering lewat
sambil teriak-teriak menawarkan sayurannya, yang kemudian jatuh cinta padaku
dengan membabi buta dan rela melakukan apa saja demi untuk bercinta denganku.
Tapi, bukan. Aku terdiam dan tak mengerti. Mau dibawa ke mana aku, sedang Ia
sendiri tampak tak beres. Mungkin saya akan dibawa ke alamnya, alam kematian.
“Saya tak tahu arah di sini, seperti
dimana pun begitu. Jika kau bawa aku ke langit yang berbeda. Yang bukan hanya
langit biru dan jingga.”
Angin berhembus tak tentu arah, sinar
Matahari meredup, angin berhenti di sekelilingku. Aku renggangkan pelukannya
agar bisa melihat wajahnya. Wajah yang aku kenal dengan senyum datar di kedua
sudut bibir, tapi aku lupa entah siapa.
“Mari.” bisiknya.
Seketika, angin dari seluruh penjuru
berlari ke arahku. Berdua kami terbang melesat dibawa angin. Langit diatasku
berwarna-warni, berjuta warna. Di bawah, kendaraan berjalan tertib teratur di
jalan-jalan yang kanan kirinya penuh pepohonan. Sungai-sungai mengalirkan
airnya yang jernih leluasa ke laut. Hewan-hewan beristirahat santai di bawah
pepohonan. Rumah-rumah temapt istirahat tertata rapi.
Aku semakin tinggi, langit semakin
indah, di bawah, semakin nampak hijau.
“Kita akan kemana?” tanyaku.
Tak ada jawaban. Tak ada yang
menjawab. Tak ada siapa-siapa.
Juli 2015